Jakarta, ICMES. Juru bicara Hamas Hazem Qassem, Kamis (6/3), menyatakan bahwa ancaman yang dikeluarkan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap Hamas “mempersulit masalah yang terkait dengan perjanjian gencatan senjata dan mendorong pemerintah pendudukan (Israel) untuk bersikap lebih ketat.”

Seorang pejabat senior Yaman menyebut pelabelan Ansarullah oleh Amerika Serikat sebagai teroris “tidak penting,” karena yang lebih penting sekarang adalah Jalur Gaza yang terblokade.
Pemerintah Provinsi Daraa, Suriah, pada hari Kamis (6/3) mengumumkan tewasnya sembilan militan dalam kontak senjata yang meletus selama dua hari terakhir di kota Al-Sanamayn dengan pasukan keamanan.
Berita selengkapnya:
Hamas Tanggapi Peringatan Trump
Juru bicara Hamas Hazem Qassem, Kamis (6/3), menyatakan bahwa ancaman yang dikeluarkan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap Hamas “mempersulit masalah yang terkait dengan perjanjian gencatan senjata dan mendorong pemerintah pendudukan (Israel) untuk bersikap lebih ketat.”
Trump dalam sebuah posting di platform Truth Social pada Rabu malam mengeluarkan apa yang disebutnya sebagai “peringatan terakhir” kepada gerakan Hamas, dengan mengancam akan mengakhiri kekuasaan faksi pejuang ini jika tidak segera membebaskan semua tawanan Israel dan memulangkan tawanan yang telah meninggal.
Qassem dalam siran pers mengatakan, “Ada kesepakatan yang ditandatangani, dan Washington menjadi mediator di dalamnya, dan itu mencakup pembebasan semua tahanan dalam tiga tahap, dan Hamas telah melaksanakan apa yang harus dilakukannya pada tahap pertama, sementara Israel menghindari tahap kedua.”
Qassem menekankan bahwa jika Trump tertarik pada pembebasan tawanan Israel maka harus menekan Perdana Menteri pemerintah pendudukan Benjamin Netanyahu untuk memulai negosiasi pada fase kedua perjanjian Gaza.
“Pemerintah AS diharuskan menekan pendudukan untuk memasuki tahap kedua perundingan, sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian gencatan senjata,” tegasnya.
Qassem memperingatkan bahwa rezim pendudukan Israel akan mengeksploitasi pernyataan Trump “untuk meningkatkan blokade Gaza dan memperketat kebijakan yang melaparkan penduduknya.”
Minggu pagi lalu, tahap pertama perjanjian gencatan senjata di Jalur Gaza berakhir tanpa memasuki perundingan untuk tahap kedua, yang seharusnya dimulai pada hari ke-16 tahap pertama perjanjian (3 Februari).
Namun Netanyahu menghalangi kesepakatan tersebut dengan meminta perpanjangan tahap pertama kesepakatan pertukaran untuk pembebasan sebanyak mungkin tahanan Israel di Gaza, tanpa memberikan imbalan atau melengkapi hak-hak yang dibebankan padanya dalam perjanjian periode sebelumnya. Permintaan ini ditolak oleh faksi-faksi Palestina, yang dipimpin oleh gerakan Hamas.
Hazem Qassem mengatakan bahwa para mediator terus melanjutkan kontak mereka untuk memaksa Israel memulai negosiasi pada tahap kedua perjanjian gencatan senjata Gaza, yang telah ditolak oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
“Para mediator (Mesir, Qatar dan AS) melanjutkan kontak mereka untuk memastikan pelaksanaan tahap-tahap yang tersisa dari perjanjian gencatan senjata, dan untuk mewajibkan pendudukan untuk memulai negosiasi untuk tahap kedua perjanjian tersebut,” terangnya.
Dia juga mentakan, “Hamas menegaskan komitmennya terhadap semua tahapan perjanjian, dan kami berharap kontak para mediator akan menghasilkan penyelesaian implementasi tahapan perjanjian oleh pendudukan Israel.” (alalam/raialyoum)
Kembali Dicap Teroris oleh AS, Ansarullah Yaman: Itu Tak Penting
Seorang pejabat senior Yaman menyebut pelabelan Ansarullah oleh Amerika Serikat sebagai teroris “tidak penting,” karena yang lebih penting sekarang adalah Jalur Gaza yang terblokade.
AS kembali mencantumkan gerakan Ansarullah dalam “daftar teroris”. Menanggapi hal ini, anggota Dewan Politik Tertinggi Ansarullah Mohammed Ali al-Houthi pada hari Kamis (6/3) menekankan bahwa prioritas Yaman sekarang adalah mengirim pasokan penting ke wilayah Palestina yang diblokade.
Dia menekankan bahwa prioritas ini lebih penting daripada keputusan Washington, yang tidak memiliki legitimasi, terhadap Yaman.
Dua hari sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengumumkan bahwa Washington telah menunjuk kembali Ansarullah Yaman itu sebagai “organisasi teroris asing (FTO).”
“Pemblokiran bantuan ke Gaza dan perusakan perjanjian damai merupakan aksi teror Amerika, sementara dukungan Yaman untuk Gaza melalui operasi maritim adalah tindakan yang sah,” tegas pejabat tinggi Ansarullah itu, karena rezim Israel telah memblokir aliran bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Presiden AS Donald Trump, tiga hari setelah menjabat di Gedung Putih pada bulan Januari bersumbar akan bertindak tegas terhadap gerakan perlawanan Yaman.
Biro Politik gerakan Ansarullah Yaman, mengumumkan bahwa Angkatan Bersenjata Yaman siap untuk melanjutkan operasi perlawanan terhadap kejahatan Zionis, dan mendesak negara-negara Arab untuk mengambil langkah-langkah serius gona mematahkan blokade Gaza dan mendukung Palestina.
Pada hari Rabu, Departemen Keuangan AS juga menjatuhkan sanksi terhadap tujuh pemimpin Ansarullah, dengan tuduhan bahwa mereka telah menyelundupkan “barang-barang militer dan sistem persenjataan ke wilayah-wilayah yang dikuasai Houthi (Ansarullah) di Yaman dan juga menegosiasikan pengadaan senjata Houthi dari Rusia.”
Penetapan tersebut dilakukan sebagai respon atas operasi militer tentara Yaman yang menyasar berbagai wilayah pendudukan Israel, dan serangan terhadap kapal-kapal perang Angkatan Laut AS dan kapal-kapal yang terkait dengan Israel di Laut Merah dan Teluk Aden sejak November 2023. Operasi demikian dilancarkan pasukan Yaman demi warga Palestina korban perang genosida Israel di Jalur Gaza. (presstv)
Kontak Senjata Sengit di Suriah Tewaskan 9 Orang Bersenjata
Pemerintah Provinsi Daraa, Suriah, pada hari Kamis (6/3) mengumumkan tewasnya sembilan militan dalam kontak senjata yang meletus selama dua hari terakhir di kota Al-Sanamayn dengan pasukan keamanan.
Dalam pernyataan di saluran Telegram resminya, Pemerintah Provinsi Daraa menyatakan, “Selasa lalu, kota Al-Sanamayn, sebelah utara Daraa (Suriah selatan), diwarnai bentrokan antara kelompok bersenjata di luar hukum, yang mengakibatkan beberapa orang terluka dan tewas di kedua belah pihak, selain terlukanya warga sipil.”
Pemerintah Provinsi Daraa menjelaskan, “Eskalasi keamanan ini mendorong Pasukan Keamanan Dalam Negeri untuk segera turun tangan. Pasukan keamanan segera menuju ke kota itu, dan menempatkan beberapa pos pemeriksaan, di mana salah satu pos pemeriksaan menjadi sasaran tembakan langsung, yang mengakibatkan cederanya seorang petugas Keamanan Dalam Negeri. Keesokan paginya (Rabu), bala bantuan militer dari Kementerian Pertahanan tiba, disertai dengan keamanan dalam negeri, untuk melakukan penyerbuan terhadap kelompok bersenjata, yang beberapa anggotanya merupakan anggota ISIS.”
Menurutnya, kontak senjata berlangsung selama berjam-jam di kota itu, di mana pasukan Kementerian Pertahanan dan Keamanan Dalam Negeri berhasil menetralisir banyak militan.
Disebutkan bahwa operasi tersebut mengakibatkan tewasnya sembilan militan, selain penangkapan 60 orang untuk penyelidikan, “sementara keamanan dipulihkan di wilayah tersebut.”
Operasi militer tersebut juga mengakibatkan tewasnya empat anggota Pasukan Keamanan Dalam Negeri dan Kementerian Pertahanan dan 2 warga sipil, sementara 27 orang terluka dengan berbagai tingkat cedera, termasuk 8 kasus mulai dari sedang hingga kritis.
Sejak penggulingan pemerintahan Bashar al-Assad, Administrasi Operasi Militer telah membuka pusat-pusat permukiman dengan elemen-elemen rezim yang digulingkan untuk menyerahkan senjata mereka, tetapi penolakan beberapa dari mereka untuk mematuhi inisiatif ini menyebabkan konfrontasi di sejumlah provinsi di negara itu. (raialyoum)