Jakarta, ICMES. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkap daftar nama lebih dari 60 perusahaan raksasa dunia yang terlibat dalam dukungan kepada ambisi pembangunan permukiman Zionis di Tepi Barat dan agresi di Gaza.

Lebih dari 400 bintang dan figur media termasuk Miriam Margolyes, Alexei Sayle, Juliet Stevenson, dan Mike Leigh telah menandatangani surat petisi yang ditujukan kepada manajemen BBC dan menyerukan pemecatan anggota dewan, Robbie Gibb, atas klaim adanya konflik kepentingan terkait Timur Tengah.
Pemimpin gerakan Ansarullah Yaman Sayyid Abdul Malik al-Houthi menilai ketangguhan militer Iran sebagai faktor utama yang telah memaksa rezim Israel menghentikan agresi terbarunya setelah 12 hari.
Berita selengkapnya:
Mencengangkan, Laporan PBB: 60-an Perusahaan Besar Terlibat dalam Genosida di Gaza
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkap daftar nama lebih dari 60 perusahaan raksasa dunia yang terlibat dalam dukungan kepada ambisi pembangunan permukiman Zionis di Tepi Barat dan agresi di Gaza.
Laporan tersebut, yang disiapkan oleh Pelapor Khusus PBB tentang kondisi HAM di wilayah Palestina pendudukan, Francesca Albanese, didasarkan pada lebih dari 200 pengajuan dari berbagai negara, organisasi peduli HAM, akademisi, dan perusahaan.
Laporan itu menyerukan kepada perusahaan-perusahaan tersebut agar menghentikan bisnis dengan Israel dan meminta pertanggungjawaban manajemen eksekutif secara finansial dan hukum atas apa yang mereka anggap diuntungkan oleh agresi Israel di wilayah Palestina.
Dalam daftar itu, nama-nama perusahaan yang paling menonjol berasal dari AS, yaitu Google, Microsoft, IBM, Caterpillar, Lockheed Martin, serta Hyundai dari Korea Selatan. Laporan tersebut menilai mereka berpartisipasi dalam sistem pengawasan yang berkontribusi pada proses penindasan, pembuatan senjata, dan penghancuran properti di wilayah Palestina.
Laporan tersebut memperluas daftar PBB sebelumnya, yang dikeluarkan pada tahun 2023 dan hanya berfokus pada perusahaan-perusahaan yang terkait dengan permukiman, sementara laporan baru tersebut mencakup berbagai aspek yang lebih luas terkait dengan agresi di Gaza.
Albanese menempatkan tuduhan ini dalam konteks deskripsi krisis yang komprehensif, dengan menyatakan; “Sementara kehidupan di Gaza sedang dihabisi dan eskalasi terus berlanjut di Tepi Barat, laporan ini mengungkapkan bahwa apa yang disebut genosida terus berlanjut hanya karena menguntungkan banyak pihak.”
Dia menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan ini “telah dikaitkan secara finansial dengan apartheid dan militerisme Israel,” yang menimbulkan kecurigaan adanya pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Secara lebih rinci, laporan tersebut berfokus pada perusahaan-perusahaan berikut:
Lockheed Martin dan Leonardo: Mereka dianggap bertanggung jawab atas penyediaan senjata yang kemungkinan digunakan di Gaza. Juru bicara Lockheed Martin menekankan bahwa transaksi ini dilakukan dalam konteks apa yang disebutnya sebagai “pemerintah,” dan bahwa pemerintah Washington adalah otoritas hukum utama.
Caterpillar dan Hyundai Heavy Industries: Mereka dituduh menyediakan peralatan berat yang berkontribusi terhadap penghancuran properti Palestina, dalam skenario yang, menurut laporan tersebut, sebagian merusak sektor sipil.
Perusahaan teknologi, seperti Alphabet (pemilik Google), Amazon, Microsoft, dan IBM, disebutkan sebagai pusat sistem pengawasan Israel yang mendukung serangan terhadap warga sipil.
Alphabet sebelumnya menanggapi bahwa kontraknya senilai $1,2 miliar untuk layanan komputasi awan tidak terkait dengan penggunaan militer atau intelijen Israel.
Palantir: Perusahaan ini dilaporkan terkait dengan penggunaan teknologi kecerdasan buatan untuk militer Israel, meskipun tidak ada rincian yang memadai mengenai penerapan praktis dari dukungan ini.
Misi Israel di Jenewa menuding laporan tersebut sebagai cacat hukum dan berisi pernyataan yang memfitnah, dan menganggapnya justru merugikan PBB.
Misi AS untuk PBB di New York mendesak Sekjen António Guterres untuk mengutuk Albanese dan mencopotnya dari jabatannya. Misi itu menganggap laporan Albanese sebagai penargetan sistematis melalui apa yang disebutnya “perang ekonomi” terhadap entitas global yang bermitra dengan Israel.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa Israel terus membenarkan agresi yang sedang berlangsung di Gaza dengan alasan “pembelaan diri” setelah terjadi Intifada Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, meski Israel jelas-jelas melakukan kejahatan kemanusiaan besar-besaran.
Kementerian Kesehatan di Gaza menegaskan bahwa jumlah korban gugur telah melampaui 56.000 orang, yang sebagian besarnya adalah wanita dan anak-anak, dan seluruh Jalur Gaza juga telah hancur menjadi puing-puing akibat kontinyuitas pengeboman di tengah blokade yang mencekik.
Laporan tersebut dijadwalkan akan segera disampaikan kepada Dewan HAM PBB, yang terdiri atas 47 negara anggota. Meskipun mandatnya tidak mencakup tindakan yang mengikat secara hukum, namun, seperti yang terjadi di masa lalu, investigasi PBB demikian sering digunakan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan hukum di pengadilan internasional. (alalam)
400-an Figur Ternama Inggris Tuntut Pencopotan Petinggi BBC Karena Berpihak kepada Israel
Lebih dari 400 bintang dan figur media termasuk Miriam Margolyes, Alexei Sayle, Juliet Stevenson, dan Mike Leigh telah menandatangani surat petisi yang ditujukan kepada manajemen BBC dan menyerukan pemecatan anggota dewan, Robbie Gibb, atas klaim adanya konflik kepentingan terkait Timur Tengah.
Para penanda tangan juga mencakup 111 jurnalis BBC sendiri serta Zawe Ashton, Khalid Abdalla, Shola Mos-Shogbamimu, dan sejarawan William Dalrymple, yang menyatakan “kekhawatiran atas keputusan editorial yang tidak transparan dan penyensoran di BBC terkait pelaporan Israel/Palestina”.
Disampaikan pada malam penayangan dokumenter Gaza: Doctors Under Attack di Channel 4, yang dipesan BBC namun ditangguhkan karena dinilai “berisiko menciptakan persepsi keberpihakan”, petisi itu menganggap keputusan penangguhan film tersebut “menunjukkan, sekali lagi, bahwa BBC tidak melaporkan ‘tanpa rasa takut atau pilih kasih’ terkait Israel”.
Petisi itu juga menilai BBC “dilumpuhkan oleh rasa takut atas apa yang dianggap kritis terhadap pemerintah Israel” dan ada “cara yang tidak konsisten dalam penerapan pedoman tersebut terhadap peran Gibb, di Dewan BBC dan komite standar editorial BBC” karena “kami khawatir bahwa seseorang yang memiliki hubungan dekat dengan Jewish Chronicle … memiliki suara dalam keputusan editorial BBC dalam kapasitas apa pun, termasuk keputusan untuk tidak menyiarkan Gaza: Medics Under Fire”.
Gibb, mantan juru bicara Theresa May dan mantan kepala tim politik Westminster BBC, memimpin konsorsium yang membeli Jewish Chronicle pada tahun 2020 dan, hingga Agustus 2024, menjadi direktur Jewish Chronicle Media.
Surat tersebut, yang disusun oleh sekelompok orang dalam BBC, menyatakan: “Bagi banyak dari kami, upaya kami telah digagalkan oleh keputusan tak jelas yang dibuat di tingkat senior BBC tanpa diskusi atau penjelasan. Kegagalan kami berdampak pada khalayak.”
Petisi itu juga menyatakan: “Sebagai sebuah organisasi, kami belum menawarkan analisis signifikan apa pun tentang keterlibatan pemerintah Inggris dalam perang terhadap Palestina. Kami gagal melaporkan penjualan senjata atau implikasi hukumnya. Kisah-kisah ini malah diungkap oleh pesaing BBC.”
Pernyataan tersebut menuduh Gibb memiliki “konflik kepentingan” yang “menyoroti standar ganda bagi pembuat konten BBC yang telah mengalami penyensoran atas nama ‘ketidakberpihakan’.”
Karena kuatir akan akibat buruk, ke-111 jurnalis BBC itu menandatangani petisi tersebut secara anonim. (theguardian)
Pemimpin Ansarullah Yaman: Iran Tetapkan Perimbangan Baru dan Paksa Israel Hentikan Agresi
Pemimpin gerakan Ansarullah Yaman Sayyid Abdul Malik al-Houthi menilai ketangguhan militer Iran sebagai faktor utama yang telah memaksa rezim Israel menghentikan agresi terbarunya setelah 12 hari.
Dalam pidato televisi pada hari Kamis (3/7), Sayyid al-Houthi menekankan bahwa kekuatan Iran terletak pada keteguhan, kesiapan strategis, dan kemauannya menanggapi ancaman secara efektif tanpa memberi konsesi.
“Model Iran selama perang 12 hari mencerminkan hasil dari strategi yang berdasarkan pada petunjuk ilahi, yang difokuskan pada persiapan dan mobilisasi angkatan bersenjata. Meskipun ada perang psikologis yang hebat dan dukungan Barat untuk Israel, respon tegas Iran memaksa musuh Israel untuk menghentikan serangannya,” katanya.
Dia menekankan bahwa kekuatan Iran berasal dari kombinasi kesiapan militer, dukungan rakyat, dan kepemimpinan yang kuat, yang menciptakan pencegah yang membuat agresi Israel lebih lanjut menjadi terlalu mahal.
“Salah satu unsur kekuatan Iran adalah keteguhan pendiriannya. Iran tidak menyerah atau membuat konsesi apa pun; sebaliknya, mereka menanggapi agresi dengan tegas. Salah satu unsur utama kekuatan Iran terletak pada keputusannya untuk menanggapi secara efektif. Efisiensi ini merupakan hasil dari pasukan yang dipersiapkan dengan baik. Meskipun menerima dukungan dari Amerika dan Barat, Israel pada akhirnya terpaksa menghentikan agresinya,” terangya.
Menurutnya, jika agresi berlanjut, Iran siap menanggapi dengan “kekuatan dan ketegasan yang lebih besar dari sebelumnya.”
Sayyid al-Houthi juga mengatakan, “Ini menunjukkan perimbangan tepat yang melindungi Umat Muslim. Perimbangan tanggapan, dengan meningkatkan kekuatan militer dan dukungan rakyat yang luas bagi pasukan dan para pemimpinnya, menghasilkan pencegahan terhadap Zionis dan memaksanya menghentikan agresi.” (presstv)