Jakarta, ICMES: Unjuk rasa anti Arab Saudi melanda pusat kota Istanbul, Turki. Massa mengutuk agresi pasukan koalisi Arab pimpinan Saudi ke Yaman.
Presiden Iran Hassan Rouhani menegaskan bahwa pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melebihi para pendahulunya dalam memusuhi Iran.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengancam Hamas dengan serangan dahsyat menyusul pecahnya lagi kekerasan di wilayah perbatasan Jalur Gaza-Israel.
Ultimatum yang telah ditetapkan dalam perjanjian Rusia-Turki terhadap kelompok-kelompok teroris agar meninggalkan zona demiliterisasi di Idlib telah berakhir Ahad, namun tak satupun di antara mereka keluar dari zona itu.
Berita selengkapnya:
Demo Anti Saudi di Turki, Massa Bentangkan Poster Pemimpin Ansarullah Yaman
Unjuk rasa anti Arab Saudi melanda pusat kota Istanbul, Turki, Ahad (14/10/2018). Massa mengutuk agresi pasukan koalisi Arab pimpinan Saudi ke Yaman yang telah menewaskan dan melukai puluhan warga sipil, menghancurkan banyak infrastruktur, dan menyebabkan merebaknya wabah penyakit serta kelaparan di tengah puluhan jutaan penduduk.
Massa menegaskan bahwa apa yang dilakukan Saudi dan sekutunya, terutama Uni Emirat Arab (UEA), terhadap Yaman merupakan kejahatan perang yang didukung Amerika Serikat (AS) secara tanpa batas, sementara khalayak dunia mendiamkannya.
Karena itu, massa menyerukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar menghentikan kejajahatan perang ini.
Dalam aksi ini massa juga memperlihatkan poster raksasa pemimpin gerakan Ansarullah Yaman, Abdel Malik al-Houti, serta menunjukkan spanduk dan plakat bertuliskan seruan-seruan penghentian invasi militer yang sudah berjalan lebih dari tiga tahun terhadap Yaman.
Para pengunjuk rasa juga memajang poster jurnalis ternama Saudi Jamal Khashoggi yang diduga telah dibunuh di gedung konsulat Saudi di Istanbul. Mereka menegaskan bahwa kasus ini membuktikan bahwa Saudi menjalankan praktik terorisme yang menjangkau siapapun yang dapat dijangkau oleh dinasti al-Saud.
Lebih jauh, massa memuji ketangguhan dan resistensi rakyat Yaman terhadap agresi tersebut, dan menyerukan pengiriman bantuan kemanusiaan serta penghentian blokade terhadap Yaman.
Aksi unjuk rassa ini dilakukan oleh penduduk Istanbul di tengah panasnya situasi hubungan Turki dengan Saudi menyusul hilangnya jejak Khashoggi sejak memasuki konsulat Saudi di Istanbul pada 2 Oktober lalu. Massa menegaskan bahwa kejahatan Saudi sudah melampau batas dan tidak pandang bulu sehingga tidak boleh dibiarkan. (alalam)
Rouhani: Kebencian Trump Terhadap Iran Melebihi Para Pendahulunya
Presiden Iran Hassan Rouhani menegaskan bahwa pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melebihi para pendahulunya dalam memusuhi Iran.
“Pemerintahan AS sekarang melebihi pendahulu-pendahulunya dalam kedengkian dan kebencian terhadap Iran, dan pemerintahan ini telah menghimpun para tokoh yang terburuk di bidang ini,” ujar Rouhani dalam pidato menyambut tahun ajaran baru universitas Iran, Ahad (14/10/2018).
Dia menambahkan, “Mereka memulai rencana-rencananya dengan perang mental, lalu perang ekonomi, dan tujuan mereka yang ketiga ialah menghabisi efektivitas sistem pemerintahan Iran. Tujuan final mereka ialah menggulingkan pemerintahan ini dengan cara meniadakan legitimasinya.”
Rouhani kemudian mengingatkan bahwa semua itu dapat diatasi dengan solidaritas dan persatuan.
“Dalam banyak kesempatan kita dapat mengalahkan AS. Contohnya, dalam beberapa bulan terakhir AS kalah di depan Iran, menurut evaluasi dunia,” lanjutnya.
Mengenai pengkhianatan AS terhadao perjanjian nuklir Iran, Rouhani mengatakan, “Di dunia ini hanya segelintir negara yang membenarkan keluarnya AS dari perjanjian nuklir. Mereka yang selama ini sangat berhati-hatipun bahwa menyayangkannya, mereka yang terbiasa blak-blakan telah memastikan bahwa AS telah melakukan kesalahan, dan mereka yang lebih blak-blakan lagi mengatakan bahwa AS telah menyalahi undang-undang.”
Rouhani juga menyebutkan bahwa Trump telah memprakarsai rapat Dewan Keamanan PBB untuk menyerang Iran, namun 14 negara anggota lainnya semuanya justru menyokong perjanjian nuklir Iran sehingga dia tidak mendapatkan hasil yang diinginkan serta pulang dari rapat Dewan Keamanan dengan tangan hampa. (alalam)
Israel Ancam Hamas Dengan Serangan Hebat
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengancam Hamas dengan serangan dahsyat menyusul pecahnya lagi kekerasan di wilayah perbatasan Jalur Gaza-Israel.
“Hamas tampak tidak mencerna pesan bahwa jika serangan kekerasan terhadap kami tidak berhenti maka akan dihentikan dengan cara lain yang menyakitkan, sangat menyakitkan,” ancamnya dalam rapat mingguan pemerintahannya, Ahad (14/10/2018).
Dia melanjutkan, “Kami sangat dekat sekali dengan jenis tindakan yang berbeda, tindakan yang akan mencakup pukulan yang sangat kuat. Jika Hamas memiliki akal sehat maka mereka harus menghentikan api dan kerusuhan kekerasan, sekarang.”
Israel menangguhkan pengiriman bahan bakar ke Jalur Gaza menyusul maraknya unjuk rasa dan konfrontasi di dekat pagar perbatasan Israel-Jalur Gaza yang telah menyebabkan terbunuhnya tujuh warga Palestina akibat tembakan pasukan Israel.
Keputusan Israel ini diambil beberapa hari setelah dimulainya penyerahan bahan bakar minyak ke Jalur Gaza dengan tujuan meringankan blokade Israel yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun terhadap Jalur Gaza.
Sesuai kesepakatan penyerahan bakar tersebut Qatar menyanggupi akan membayar US$ 60 juta harga bahan bakar untuk jangka waktu enam bulan suplai terminal listrik satu-satunya di Jalur Gaza.
Sabtu lalu Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman menyatakan bahwa truk-truk tangki bahan bakar tidak akan diberangkatkan lagi jika “kekerasan dan penerbangan bom balon (dari Gaza ke Israel) serta pembakaran ban-ban bekas di dekat kota-kota Israel tidak dihentikan.”
Ahad kemarin dalam wawancara dengan koran Yedioth Ahronoth dia menegaskan bahwa sudah tiba saatnya untuk memperhebat “serangan dahsyat” terhadap Hamas.
Dia menyatakan bahwa Hamas masih bertekad melanjutkan kekerasan agar blokade Israel terhadap Jalur Gaza dihentikan secara total tanpa melalui kesepakatan apapun, terutama mengenai pertukaran tawanan, dan tanpa menghapus ikrarnya untuk menghancukan Israel. (raialyoum)
Ultimatum Berakhir di Idlib, Para Teroris Memilih “Jihad”
Ultimatum yang telah ditetapkan dalam perjanjian Rusia-Turki terhadap kelompok-kelompok teroris agar meninggalkan zona demiliterisasi di Idlib telah berakhir Ahad malam (14/10/2018), namun tak satupun di antara mereka keluar dari zona itu, sebagaimana dinyatakan Observatorium Suriah untuk HAM (SOHR).
Direktur Ekskutif SOHR Rami Abdulrahman kepada AFP mengatakan, “Tidak terpantau penarikan mundur satupun kelompok jihadis dari kawasan demiliterisasi di Idlib dan sekitarnya meskipun ultimatum yang sudah ditetapkan untuk itu sudah berakhir.”
Sumber dari kelompok oposisi Suriah juga membenarkan berakhirnya ultimatum itu pada pertengahan malam Ahad.
Beberapa jam menjelang berakhirnya ultimatum ini, kelompok teroris Hayat Tahrir al-Sham alias Jabhat al-Nusra yang menguasai sebagian besar wilayah provinsi Idlib mengaku pihaknya memilih opsi “jihad dan perang” serta mengingatkan “tipu daya pasukan pendudukan Rusia”.
“Kami tidak akan beralih dari opsi jihad dan perang yang merupakan jalan untuk mewujudkan cita-cita revolusi kami,” tegas kelompok tersebut sembari mengingatkan “tipu daya pendudukan Rusia atau kepercayaan kepada niat dan upaya gegabahnya untuk melemahkan revolusi.”
“Dan ini tak dapat kami terima, bagaimana kondisi dan hasilnya,” lanjut Jabhat al-Nusra. (raialyoum)