Rangkuman Berita Timteng Selasa 6 November 2018

wikileaksJakarta, ICMES: Organisasi Wikileaks memublikasi karikatur bergambar kejahatan Putra Mahkota Arab Saudi Mohamed bin Salman dan Presiden AS Donald Trump.

Abdolnassr Hemmati, gubernur Bank Sentral Iran (CBI), menyuarakan perlawanan negara ini terhadap sanksi Amerika Serikat (AS) dengan memastikan bahwa perdagangan Iran akan tetap berlanjut.

China mengecam sanksi baru Amerika Serikat (AS) terhadap Iran, menyebutnya sebagai “yurisdiksi lengan panjang”, dan berjanji akan melanjutkan perdagangan bilateral dengan Iran.

Seorang pejabat senior Turki mengungkap bahwa Saudi telah mengirim satu pakar ilmu racun dan satu lagi pakar ilmu kimia untuk menyembunyikan barang-barang bukti kasus pembunuhan wartawan Saudi Jamal Khashoggi sebelum polisi Turki menggeledah konsulat Saudi pada bulan lalu.

Berita selengkapnya:

Wikilileaks Publikasi Karikatur Kejahatan Trump Dan Bin Salman

Organisasi Wikileaks memperolok standar ganda Amerika Serikat (AS) dalam memperlakukan negara sekutunya, Arab Saudi, dan negara musuh keduanya, Iran. Organisasi yang bermarkas di Stockholm, Swedia, ini memublikasi karikatur bergambar Putra Mahkota Arab Saudi Mohamed bin Salman dan Presiden AS Donald Trump.

Dalam karikatur ini terlihat Bin Salman menyembelih seorang korban yang digambarkan sebagai Yaman, sedangkan Trump membantu Bin Salman dengan memegang kedua kaki korban itu agar tidak meronta.

Karikatur ini disertai empat catatan kecil sebagai berikut:

  • Wahhabi Saudi melakukan (serangan teror) 11 September (2001), Trump malah menyanksi Iran.
  • Saudi mendanai dan mempersenjatai ISIS, Iran memerangi ISIS, Trump justru menyanksi Iran.
  • Saudi memutilasi jurnalis (Jamal Khashoggi) yang berbasis di DC, AS menyanksi Iran.
  • Saudi membom dan melaparkan Yaman, Trump menyanksi Iran.

Seperti diketahui, di saat Arab Saudi mendapat kecaman luas dari khalayak internasional terkait dengan kasus pembunuhan Khashoggi dan serangan brutalnya terhadap Yaman, AS malah memberlakukan  sanksi baru dengan sasaran sektor minyak dan keuangan Iran sejak Senin (5/11/2018), dan tidak berbuat apapun terhadap Saudi.

Sanksi ini diberlakukan AS setelah negara arogan ini keluar dari kesepakatan nuklir Iran dengan dalih bahwa perjanjian ini cacat dan tidak cukup untuk membatasi sepak terjang Iran di Timur Tengah. (alalam)

Lawan Sanksi AS, Iran Nyatakan Perdagangannya Tetap Jalan

Abdolnassr Hemmati, gubernur Bank Sentral Iran (CBI), menyuarakan perlawanan negara ini terhadap sanksi Amerika Serikat (AS) dengan memastikan bahwa perdagangan Iran akan tetap berlanjut, dan dalam rangka ini semua tindakan yang diperlukan telah ditempuh.

Dia menjelaskan bahwa Teheran bersentuhan langsung dengan para mitranya dalam mencari mekanisme untuk menjaga arus perdagangan tetap hidup dalam menghadapi sanksi AS.

“Kami telah melakukan pembicaraan dengan mitra dagang kami, dan semua tindakan yang diperlukan telah diambil sebagai interaksi Iran untuk melanjutkan,” kata Hemmati.

Dia menambahkan, “Kami sudah menduga adanya sanksi ini sehingga kami memiliki rencana untuk mereka dan seterusnya… mempertimbangkan kemungkinan bank-bank diputuskan dari SWIFT, kami telah mempertimbangkan alternatif untuk menggantikannya.”

Sebelumnya, Menteri Perekonomian Iran Farhad Dejpasand mengatakan bahwa Iran telah menyusun rencana serius untuk melewati apa yang disebutnya  titik krusial dari sanksi itu.

Dejpasand mengatakan rincian rencana itu tidak dapat ditentukan, tetapi menekankan bahwa menggunakan sumber daya domestik adalah tujuan utama.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, Senin (5/11/2018), menyatakan bahwa salah satu sanksi terberat bagi Republik Islam adalah pembatasan perbankan dan larangan ekspor minyak Iran.

Pompeo mengaku pihaknya telah berhasil membujuk lebih dari 20 negara untuk menghentikan atau secara dramatis mengurangi impor minyak mereka dari Iran sehingga negara ini menderita kerugian penjualan sebanyak lebih dari 1 juta barel per hari. (mpresstv)

China Menentang Sanksi Baru AS Terhadap Iran

China mengecam sanksi baru Amerika Serikat (AS) terhadap Iran, menyebutnya sebagai “yurisdiksi lengan panjang”, dan berjanji akan melanjutkan perdagangan bilateral dengan Iran.

Sanksi yang menarget sektor minyak dan keuangan itu mulai diberlakukan pada Senin (5/11/2018), menyusul keputusan Presiden AS Donald Trump keluar dari kesepakatan nuklir Iran dengan dalih bahwa perjanjian ini cacat dan tidak cukup untuk membatasi sepak terjang Iran di Timur Tengah.

Sanksi tersebut bertujuan untuk secara signifikan memangkas ekspor minyak Iran – yang telah turun sekitar satu juta barel per hari sejak Mei lalu- dan menyingkirkan negara ini dari keuangan internasional.

Juru bicara kementerian luar negeri Hua Chunying pada konferensi pers, Senin, menegaskan, “China menentang sanksi sepihak dan yurisdiksi lengan panjang…  Kami percaya bahwa kerjasama normal China (dengan Iran) dalam hukum internasional adalah sah dan sah, dan ini harus dihormati.”

AS telah memberikan pengecualian untuk sementara waktu kepada delapan negara, termasuk India, Korea Selatan, Jepang dan Turki, untuk terus membeli minyak demi menghindari ketergangguan ekonomi dan pasar global mereka.

Ditanya apakah China juga mendapat pengecualian demikian, Hua mengatakan bahwa Beijing melakukan “kerja sama normal” dengan Tehran tanpa ada kaitan dengan kebijakan AS, melainkan dalam kerangka hukum internasional.

China, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, dan AS adalah enam negara yang telah meneken perjanjian nuklir Iran pada 2015, namun AS telah keluar dari perjanjian ini  pada awal tahun 2018.

Para anggota yang tersisa percaya perjanjian itu bekerja sebagaimana dimaksud dan mencegah Iran dari memperoleh senjata nuklir.

Hua menambahkan, “Dalam keadaan saat ini, kami berharap semua pihak dapat mengingat gambaran yang lebih besar, memenuhi tugas mereka, dan memilih untuk berdiri di sisi kanan sejarah.”

Dia juga menegaskan bahwa China akan terus “menjunjung tinggi sikap obyektif dan bertanggung jawab untuk menjunjung tinggi perjanjian ini.” (channelnewsasia)

Saudi Kirim Pakar Kimia Ke Istanbul Untuk Sembunyikan Barang Bukti Pembunuhan Khashoggi

Seorang pejabat senior Turki mengungkap bahwa Saudi telah mengirim satu pakar ilmu racun dan satu lagi pakar ilmu kimia untuk menyembunyikan barang-barang bukti kasus pembunuhan wartawan Saudi Jamal Khashoggi sebelum polisi Turki menggeledah konsulat Saudi pada bulan lalu.

“Kami yakin dua orang ini datang ke Turki dengan satu tujuan, yaitu menyembunyikan bukti-bukti kejahatan pembunuhan Khashoggi sebelum polisi Turki diperkenankan menginvestigasi gedung (konsulat Saudi),” ungkap pejabat yang meminta identitasnya dirahasiakan itu, Senin (5/11/2018).

Dia mengonfirmasi apa yang dilaporkan surat kabar Sabah yang dekat dengan pemerintah Turki bahwa pakar kimia Ahmad Abdulaziz al-Janubi, dan pakar ilmu racun Yahza al-Zahrani datang dengan kedok “tim penyelidik palsu” dan setiap hari mendatangi konsulat sampai tanggal 17 Oktober, lalu meninggalkan Turki pada 20 Oktober.

Pejabat anonim Turki itu menambahkan, “Pengiriman tim penyembunyian (bukti) sembilan hari setelah kejahatan itu merupakan pertanda pembunuhan Khashoggi diketahui oleh para pejabat Saudi.”

Sabah menyebutkan bahwa Saudi mengirim “tim penyembunyi” yang terdiri atas 11 orang ke Istanbul pada 11 Oktober, atau 9 hari setelah menghilangnya Khashoggi di dalam konsulat Saudi di Istabul.

Saudi baru memperkenankan investigasi polisi Turki terhadap konsulat Saudi pada 15 Oktober, dan Turki memublikasi berbagai rincian mengerikan mengenai pembunuhan Khashoggi yang disebut oleh Presiden Turki Recep tayyip Erdogan sebagai “peristiwa sadis”, “pembunuhan bermotif politik” dan “terencana”.

Pekan lalu Erdogan mengatakan bahwa istruksi pembunuhan ini datang dari “level tertinggi dalam pemerintahan Saudi”, namun menekankan bahwa Raja Saudi, Salman bin Abdulaziz, tidak termasuk orang yang dicurigai.

Media Turki menuding Putra Mahkota Saudi Mohamed bin Salman sebagai dalang yang telah menurunkan instruksi pembunuhan itu.

Pekan lalu, Kejaksaan Istanbul menyatakan bahwa Khashoggi dicekik tak lama setelah memasuki konsulat Saudi, dan kemudian dimutilasi.

Yasin Aktay, pejabat Partai Keadilan dan Pembangunan yang berkuasa di Turki, kepada surat kabar Hurriyet, Jumat lalu, mengatakan, “Kami sekarang melihat bukan hanya perkara mutilasi, melainkan juga upaya mereka lolos dari jenazah korban dengan cara meleburnya.”

Setelah hampir tiga minggu sejak hilangnya Kashoggi Saudi mengakui bahwa kritikus Saudi ini terbunuh, tapi enggan menyebutkan di mana jenazah korban berada. (raialyoum)