Jakarta, ICMES: Kelompok pejuang Ansarullah (Houthi) menyatakan pasukan pertahanan udaranya berhasil menjatuhkan helikopter Apache milik pasukan koalisi Arab pimpinan Arab Saudi di kawasan sekitar Hudaydah .
Ansarullah juga menyatakan tidak dapat mengikuti perundingan damai yang dimediasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss, dengan alasan tidak tersedianya pesawat serta jaminan delegasi Ansarullah dapat kembali ke Yaman.
Militer Rusia mengaku bahwa telah melancarkan serangan udara dengan menggunakan empat unit jet tempur dan senjata berpresisi tinggi pada sasaran kelompok teroris Jabhat al-Nusra di Idlib, Suriah.
Angkatan Bersenjata Iran menyatakan negara ini memiliki kondisi geografis yang memungkinkannya menguasai secara penuh Teluk Persia, Selat Hormuz dan bagian utara Laut Oman, dan keistimewaan ini tergunakan dengan baik.
Anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar, Mesir, Dr. Mohammad Emara menyebut pengadilan terhadap da’i ternama Arab Saudi Syeikh Salman Al-Ouda sebagai tragedi yang dilakukan terhadap sosok ulama moderat.
Berita selengkapnya;
Ansarullah Jatuhkan Helikopter Apache Pasukan Koalisi Di Hudaydah
Kelompok pejuang Ansarullah (Houthi) menyatakan pasukan pertahanan udaranya berhasil menjatuhkan helikopter Apache milik pasukan koalisi Arab pimpinan Arab Saudi di kawasan sekitar Hudaydah . Demikian dilaporkan media di Yaman dalam sebuah laporan singkat beberapa jam lalu, Kamis (6/9/2018).
Ketua Dewan Tinggi Revolusi Yaman yang berafiliasi dengan Ansarullah, Mohammad Ali al-Houthi mengingatkan pasukan koalisi ihwal eskalasi dalam beberapa hari mendatang.
Di pihak lain, pasukan koalisi Arab pada Rabu malam menyatakan 26 orang terluka terkena serpihan rudal balistik Ansarullah yang telah dijatuhkan oleh pasukan koalisi d kawasan Najran di bagian selatan Saudi.
Pasukan koalisi mencatat sebanyak 189 rudal balistik telah dilesatkan Ansarullah hingga menyebabkan 112 orang tewas dan ratusan lainnya terluka selama berkobar perang Yaman yang telah berlangsung lebih dari empat tahun. (rt/elnashra)
Ansarullah Nyatakan Tidak Bisa Mengikuti Perundingan Di Jenewa Karena Tak Ada Pesawat
Kelompok pejuang Ansarullah (Houthi) menyatakan tidak dapat meninggalkan Sanaa, ibu kota Yaman, untuk berpartisipasi dalam perundingan damai yang dimediasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss, mulai hari ini, Kamis (6/9/2018), dengan alasan tidak tersedianya pesawat serta jaminan delegasi Ansarullah dapat kembali ke Sanaa.
Dalam statemennya yang dilansir saluran TV al-Masirah milik Ansarullah melalui akun Twitter-nya, Rabu (5/9/2018), kelompok yang didukung Iran ini menyatakan, “PBB tidak sanggup mendapatkan izin dari negara-negara musuh untuk penyediaan pesawat Oman guna membawa utusan serta para korban luka dan orang-orang terlantar.”
Pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi di Yaman menerapkan pembatasan ekstra ketat untuk Bandara Sanaa yang dikuasai Ansarullah dengan hanya membolehkan pendaratan dan penerbangan pesawat-pesawat PBB dan lembaga-lembaga kemanusiaan.
Ansarullah tidak menyebutkan siapa dan berapa jumlah korban luka dan orang terlantar yang hendak disertakan dengan para delegasi dalam pesawat, dan ke negara mana mereka akan dibawa. Kelompok pimpinan Abdel Malik al-Houthi ini juga menyatakan tidak ada jaminan delegasinya akan dapat kembali ke Sanaa segera setelah perundingan.
“Sama sekali tidak ada jaminan untuk kembalinya delegasi nasional usai perundingan Jenewa,” ungkap Ansarallah sembari mengingatkan bahwa pada tahun 2016 delegasinya pernah terlantar di Kerajaan Oman selama tiga bulan setelah perundingan damai di Kuwait.
Di pihak lain, juru bicara pasukan koalisi pimpinan Saudi enggan berkomentar tentang ini saat ditanya oleh kantor berita Perancis, AFP.
PBB rencananya akan memulai perundingan baru antarkelompok yang bertikai di Yaman pada hari ini untuk mengupayakan tercapainya kesefahaman mengenai kerangka perundingan menyudahi perang.
Ansarullah menguasai Sanaa dan beberapa kawasan lain sejak September 2014, sementara pasukan loyalis mantan presiden Yaman Abd Rabbuh Mansour Hadi berusaha merebut kembali berbagai wilayah Yaman yang lepas dari tangan mereka dengan dukungan pasukan koalisi yang dipimpin Saudi sejak Maret 2015. (raialoum)
Jet Tempur Rusia Gempur al-Nusra Di Idlib Dengan Senjata Berpresisi Tinggi
Militer Rusia mengaku bahwa pada Selasa lalu (4/9/2018) telah melancarkan serangan udara dengan menggunakan empat unit jet tempur pada sasaran kelompok teroris Jabhat al-Nusra di Idlib, satu-satunya provinsi di Suriah yang masih dikuasai oleh kawanan teroris dan pemberontak.
Juru bicara militer Rusia Igor Konashinkov dalam sebuah statemennya yang dirilis Rabu (5/9/2018) menyatakan, “Empat jet tempur yang bertolak dari pangkalan Hmeimim telah melancarkan serangan dengan menggunakan senjata berpresisi tinggi ke sasaran-sasaran teroris Jabhat al-Nusra (Hayat Tahrir al-Sham) di provinsi Idlib.”
Sebelumnya di hari yang sama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan bahwa serangan secara meluas di Idlib berpotensi menimbulkan “pembantaian besar”.
“Pembantaian besar bisa terjadi jika rudal-rudal dijatuhkan ke sana,” katanya kepada wartawan di atas pesawat dalam perjalanan pulang dari kunjungannya ke Kirgizstan.
Pernyataan ini dinyatakan Erdogan ketika Pasukan Arab Suriah (SAA) terus mengerahkan kekuatannya di Idlib sebagai persiapan untuk melancarkan operasi militer besar-besaran untuk menumpas kawanan bersenjata di provinsi ini.
Peringatan serupa juga dilontarkan beberapa hari sebelumnya oleh Presiden AS Donald Trump melalui halaman Twitternya.
“Presiden Suriah Bashar Assad hendaknya tidak menyerang provinsi Idlib secara membabi buta. Rusia dan Iran akan melakukan kesalahan kemanusiaan yang besar dalam tragedi kemanusiaan yang potensial ini,” cuitnya.
Dia menambahkan, “Ratusan ribu orang bisa terbunuh. Jangan biarkan itu terjadi!”
Jet tempur Rusia menggempur beberapa kawasan di Idlib setelah kawanan bersenjata di Idlib menyerang posisi SAA di provinsi Latakia hingga menewaskan tiga anggota SAA. (raialyoum)
Jenderal Iran: Kami Mengusai Penuh Teluk Persia Dan Selat Hormuz
Wakil Komandan Angkatan Bersenjata Iran Bidang Koordinasi Laksamana Habibollah Sayyari menyatakan negaranya memiliki kondisi geografis yang memungkinkannya menguasai secara penuh Teluk Persia, Selat Hormuz dan bagian utara Laut Oman, dan kondisi ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh negara republik Islam ini.
Dalam wawancara kantor berita Fars milik Iran, Rabu (5/9/2018), dia juga menekankan bahwa Selat Hormuz sangat penting bagi karena merupakan salah satu jalur terpenting untuk transportasi minyak dunia.
“Iran sanggup menjaga keamanan Selat Hormuz sendirian dan dengan bantuan negara-negara tetangga tanpa perlu keberadaan pihak asing untuk tujuan ini,” katanya.
Menyinggung pengerahan kapal-kapal perang Amerika Serikat di Teluk Persia, Sayyari mengatakan, “Karena itu pihak lain yang datang ke kawasan ini hendaknya tidak menggunakan masalah sebagai dalih, sebab merekalah yang justru meniadakan keamanan di manapun mereka berada.”
Beberapa hari sebelumnya Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Iran Mohammad Bagheri mengingatkan“negara asing agresor” agar tidak berusaha melanggar hukum internasional di Selat Hormuz. Dia juga memastikan bahwa pasukan Iran sepenuhnya siap menguasai penuh Selat Hormuz dan menindak segala bentuk pelanggaran.
“Negara-negara agresor berambisi memasuki Selat Hormuz dalam beberapa tahun terakhir, namun mereka masih mengindahkan hukum internasional,” lanjutnya. (raialyoum)
Tokoh Al-Azhar Sebut Pengadilan “Ulama Moderat” Syeikh Al-Ouda Di Saudi Sebagai Tragedi
Anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar, Mesir, Dr. Mohammad Emara menyebut da’i ternama Arab Saudi Syeikh Salman Al-Ouda yang sedang diadili oleh otoritas Saudi sebagai salah satu ulama moderat di tengah umat Islam kontemporer.
Menanggapi pengadilan tersebut Emara kepada Rai al-Youm, Rabu (5/9/2018) mengatakan bahwa al-Ouda merupakan salah satu guru yang mengajarkan Islam moderat, dan ini terlihat jelas dari berbagai upaya intelektual, baik dalam bentuk tulisan, ceramah, dan pemikiran yang diajarkan kepada murid-muridnya.
“Saya mengetahui dari Syeikh Al-Ouda bahwa ketika pertama kali ditangkap dia telah membaca seluruh karya Imam Mohammad Abduh. Dengan demikian dia terbuka kepada gerakan pembaharuan dalam kebudayaan Islam modern,” lanjut Emara.
Terakhir Emara menekankan, “ Syeikh al-Ouda tergolong alim ulama yang pemikirannya harus mendapat perhatian, dihormati, dan tidak seharusnya dibuat tragedi terhadap mereka seperti yang kita saksikan sekarang dalam realitas politik kontemporer kita.” (raialyoum)