Jakarta, ICMES: Surat kabar New York Times (NYT) mempertanyakan kemampuan Arab Saudi melawan Iran karena negara kerajaan itu tak sanggup mengalahkan milisi Houthi (Ansarullah) di Yaman.
Pemerintah Damaskus menegaskan bahwa agresi Israel terhadap wilayah Suriah merupakan upaya Israel memperpanjang perang di Suriah dan pelanggaran secara terbuka terhadap resolusi Dewan Keamanan nomor 350 tahun 1974 mengenai demiliterisasi.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam kunjungan mendadak dan singkatnya ke Irak, yaitu hanya selama tiga jam membela keputusan yang diambilnya seminggu yang lalu untuk menarik pasukan AS dari Suriah.
Pejabat tinggi keamanan Teheran telah mengkonfirmasi bahwa Iran telah mengadakan pembicaraan dengan kelompok Taliban di Afghanistan serta berkoordinasi dengan pemerintah Kabul untuk membantu mengatasi ketidak amanan yang merajalela di Afghanistan.
Berita selengkapnya:
New York Times: Tak Sanggup Hadapi Houthi, Bagaimana Saudi Hendak Hadapi Iran
Surat kabar New York Times (NYT) mempertanyakan kemampuan Arab Saudi melawan Iran karena negara kerajaan itu tak sanggup mengalahkan milisi Houthi (Ansarullah) di Yaman.
Seperti dikutip Rai al-Youm, Rabu (26/12/2018), Nicholas Christof dalam artikelnya di NYT menekankan bahwa AS memiliki pengaruh terhadap Arab Saudi, tapi tidak sebaliknya, dan AS perlu menggunakan pengaruhnya itu untuk mengakhiri perang di Yaman, karena Saudi mengesankan AS seolah terlibat dalam kelaparan yang terjadi Yaman.
Christof yang belum lama ini berkunjung ke Saudi menyebut Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman (MBS) “represif, brutal dan tidak kompeten secara ekonomi, namun cukup diterima di tengah para pemuda Saudi.”
“Sulit menemukan diri Anda di negara polisi, mewawancarai orang-orang dan bertanya kepada mereka apa pendapat mereka tentang para pemimpin mereka yang memimpin perang di Yaman, membuat anak-anak kelaparan dan menyiksa kaum wanita,” tulis Nicholas.
Penulis AS yang pernah menyebut MBS “gergaji tulang” itu mengutip pernyataan seorang pengusaha wanita Saudi, Nahed Qattan, yang mengaku berterima kasihnya kepada MBS, karena dapat mengemudi mobil dan dapat diwawancara media berkat kebijakan MBS.
Namun Christof melanjutkan,“Ketika saya menanyakan kepadanya mengenai adanya penyiksaan dan pemenjaraan perempuan serta penindasan, dia (Nahed Qattan) terdiam,” imbuh Christof.
Christof semula tidak menyangka akan mendapatkan visa ke Arab Saudi karena telah mengritik MBS, tapi dia kemudian dapat berkunjung ke Saudi bersama delegasi PBB untuk Yaman, dan selama beberapa hari di Saudi dia melakukan wawancarai dengan banyak orang.
Nicholas mengapresiasi sikap Senat AS yang menyatakan MBS bertanggungjawab atas kasus pembunuhan wartawan Saudi Jamal Khashoggi.
Dia mencatat bahwa para pejabat senior Saudi juga percaya bahwa MBS bertanggung jawab atas pembunuhan Khashoggi, tetapi mereka menekankan pentingnya hubungan dengan Saudi bagi AS sehingga Washington perlu menyokong Riyadh. (raialyoum)
Damaskus Sebut Agresi Israel Bertujuan Memperpanjang Perang Suriah
Pemerintah Damaskus menegaskan bahwa agresi Israel terhadap wilayah Suriah merupakan upaya Israel memperpanjang perang di Suriah dan pelanggaran secara terbuka terhadap resolusi Dewan Keamanan nomor 350 tahun 1974 mengenai demiliterisasi.
Sebagaimana dilaporkan SANA, Rabu (26/12/2018), penegasan itu dinyatakan Kementerian Luar Negeri Suriah dalam dua surat yang ditujukan kepada Sekjen PBB dan Ketua Dewan Keamanan PBB mengenai agresi Israel terhadap kota Damaskus dan pinggirannya pada Selasa lalu.
Kementerian itu menyatakan bahwa agresi itu sengaja dilakukan Israel demi beberapa tujuan, yaitu; mengulur masa krisis dan perang Suriah melawan terorisme; memberi dukungan mental kepada kawanan teroris yang tersisa; melarikan diri dari masalah internal yang berkembang di Israel sendiri ; dan berbagai faktor lain yang sudah diketahui khalayak internasional.
Kementerian Luar Negeri Suriah menambahkan,”Republik Arab Suriah menegaskan bahwa tindakan Israel melanjutkan pendekatan agresif dan berbahaya itu tidak mungkin terjadi tanpa dukungan nir- batas dan terus menerus serta imunitas yang diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara lain yang dikenal di Dewan Keamanan kepada Israel dari pertanggungjawaban, sehingga memungkinkan Israel untuk melanjutkan terorisme dan mengancam perdamaian dan keamanan di kawasan dan dunia .”
Di bagian akhir, kementerian itu menyebutkan,”Republik Arab Suriah kembali menyerukan kepada Dewan Keamanan untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional, dan untuk mengambil langkah tegas dan segera demi mencegah terulangnya agresi Israel ini.”
Seperti pernah diberitakan, tentara Suriah telah menyatakan telah mencegat serangan Israel yang menarget beberapa lokasi di barat Damaskus.
Kementerian Pertahanan Rusia menyatakan sistem pertahanan udara Suriah berhasil mencegat 14 dari 16 rudal Israel.
Di pihak lain, harian Israel Jerusalem Post Rabu pagi mengklaim bahwa delegasi pejabat tinggi Hizbullah Libanon telah menjadi target serangan udara di Suriah. (raialyoum)
Berkunjung Ke Irak, Trump Nyatakan Tidak Akan Tarik Pasukan Dari Irak
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam kunjungan mendadak dan singkatnya ke Irak, yaitu hanya selama tiga jam, Rabu (26/12/2018), membela keputusan yang diambilnya seminggu yang lalu untuk menarik pasukan AS dari Suriah.
Trump menyebut ISIS sudah “dikalahkan”, dan pasukan AS di Irak dapat beraksi lagi jika organisasi teroris itu muncul lagi.
Selama kunjungan singkatnya ke Irak pada Hari Natal bersama istrinya, Melania, Trump menekankan bahwa Washington tidak berniat menarik pasukannya dari Irak.
Kunjungan ini tercatat kunjungan pertama Trump selaku panglima tertinggi angkatan bersenjata AS ke pasukan AS yang ditempatkan di luar negeri, dan ini dilakukan seminggu setelah Jim Matisse mundur dari jabatannya sebagai menteri pertahanan AS dengan latar belakang ketidak puasannya terhadap kebijakan Trump mengenai strategi AS di Timur Tengah.
Kepada pasukan AS di pangkalan Ayn al-Assad, provinsi Anbar, Irak barat, Trump mengatakan bahwa Washington tidak berniat menarik pasukannya dari Irak, dan bahkan AS mungkin akan menjadikan Irak sebagai pangkalan operasinya untuk melawan musuh-musuhnya di kawasan.
“Jika kita melihat apa yang tidak kita sukai tentang organisasi Negara Islam (IS/ISIS/DAESH), kita dapat mengalahkannya dengan cepat dan kuat sehingga mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi,” kata Trump dalam pidatonya kepada tentara AS.
Sebelumnya, Trump mendapat kritikan karena belum pernah mengunjungi pasukan AS di zona tempur. (raialyoum)
Iran Konfirmasi Pembicaraannya Dengan Kelompok Taliban
Pejabat tinggi keamanan Teheran telah mengkonfirmasi bahwa Iran telah mengadakan pembicaraan dengan kelompok Taliban di Afghanistan serta berkoordinasi dengan pemerintah Kabul untuk membantu mengatasi ketidak amanan yang merajalela di Afghanistan.
“Serangkaian kontak dan pembicaraan dengan kelompok Taliban telah dilakukan dengan sepengetahuan pemerintah Afghanistan. Tren itu akan terus berlanjut,” ujar Ali Shamkhani, Sekretaris Dewan Tinggi Keamanan Nasional Iran (SNSC), Rabu (26/12/2018).
Statemen ini dinyatakan Shamkhani dalam kunjungan seharinya ke Afghanistan atas undangan, penasihat keamanan nasional presiden Afghanistan, Hamdullah Mohib.
Dia menekankan perlunya membangun “mekanisme berdasarkan konsultasi terus-menerus” dan “partisipasi aktif negara-negara kawasan dalam proses keamanan” untuk menjamin stabilitas dan pertumbuhan berkelanjutan bagi negara-negara regional.
Shamkhani memuji perjanjian konstruktif tercapai dalam konferensi keamanan satu hari di antara para kepala dan penasihat keamanan Iran, Rusia, Cina, India, dan Afghanistan di Teheran pada September lalu. Dia juga menyuarakan dukungan Iran untuk penyelenggaraan KTT selanjutnya di Afghanistan.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dalam konferensi di Jenewa tentang Afghanistan pada 28 November lalu meminta masyarakat internasional memfasilitasi dialog “inklusif” antara Taliban dan pemerintah Afghanistan demi memulihkan perdamaian di negara yang sudah sangat lama dilanda perang ini.
Dia juga memastikan tak ada solusi militer untuk Afghanistan dan tiba saatnya untuk rekonsiliasi nasional.
Amerika Serikat (AS) memimpin invasi ke Afghanistan pada tahun 2001 dan berujung pada tergulingnya rezim Taliban yang menguasai sebagian besar wilayah Afghanistan saat itu. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, pasukan koalisi pimpinan AS yang terus menduduki Afghanistan gagal memulihkan keamanan. (presstv)