Jakarta, ICMES: Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) mengecam keras pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bahwa tema mengenai al-Quds (Yerussalem) akan dihapus dari agenda perundingan damai Palestina-Israel.
Penasehat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) John Bolton menyatakan negaranya tidak berupaya mengubah pemerintahan Iran, melainkan menginginkan adanya “perubahan besar” dalam perilakunya.
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Idriss Jazairy mengecam sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Iran dan menyebutnya “tidak adil dan berbahaya”.
Ulama ternama asal Mesir yang tinggal di Qatar Syeikh Yusuf Qaradawi di-bully oleh para aktivis media sosial di negara-negara Arab, terutama kawasan Teluk Persia, karena pernyataan terbarunya mengenai ibadah haji secara tidak langsung menyerukan aksi boikot haji.
Berita selengkapnya;
PLO Dan Hamas Kecam Pernyataan Trump Mengenai Penghapusan Al-Quds Dari Perundingan
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan mengecam keras pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bahwa tema mengenai al-Quds (Yerussalem) akan dihapus dari agenda perundingan damai Palestina-Israel.
Dalam pernyataan di negara bagian Virginia, AS, Rabu (21/8/2018), Trump mengatakan, “Kami telah menarik al-Quds dari meja pembahasan demi menghindari pembangkitan masalah pengakuan atas al-Quds sebagai ibu kota. Karena itu saya mengatakan, ‘Biarlah kita menghapusnya dari meja.’”
Dia juga mengklaim bahwa dalam perundingan damai dengan Palestina nanti Israel harus membayar mahal atas tindakan AS memindah Kedubesnya dari Tel Aviv ke al-Quds.
Ahmad al-Tamimi, anggota Dewan Ekskutif PLO dan kepala Kantor HAM dan Masyarakat Sipil PLO dalam sebuah pernyataan resminya, Rabu, menegaskan bahwa pernyataan Trump itu merupakan kelanjutan dari keberpihakan AS kepada Israel dan ilusi pemerintah Washington bahwa prakarsa Deal of The Century akan dapat diterapkan tanpa al-Quds sebagai ibu kota Palestina dalam negosiasi-negosiasi mendatang.
Al-Tamimi mengingatkan, “Al-Quds bersemayam di hati bangsa Palestina serta bangsa-bangsa Arab dan Islam. Kalaupun Trump dapat menghapusnya dari meja perundingan dia tidak akan dapat menghapusnya dari hati mereka.”
Al-Tamimi menegaskan bahwa para pemimpin Palestina, terutama Mahmoud Abbas, menolak mentah-mentah Deal of The Century dan semua kebijakan AS mengenai penyelesaian konflik Palestina-Israel.
“Pemerintah AS tidak akan menemukan satupun orang Palestina menyetujui kebijakannya itu,” pungkas al-Tamimi.
Senada dengan ini, Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) menyebut pernyataan Trump itu “keji dan berbahaya.”
Petinggi Hamas Sami Abu Zuhri melalui halaman Twitternya di hari yang sama berkomentar, “Pernyataan Trump untuk menghapus al-Quds dari meja perundingan adalah pernyataan keji dan berbahaya.”
Dia menambahkan bahwa sebagai reaksi atas sikap Trump otoritas Palestina harus mencabut pengakuannya atas eksistensi Rezim Zionis Israel, menyudahi kerjasama keamanannya dengan Israel, dan memutuskan hubungan dan komunikasi keamanannya dengan AS. (raialyoum/rt)
AS Mengaku Tak Bermaksud Gulingkan Pemerintahan Iran
Penasehat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) John Bolton menyatakan negaranya tidak berupaya mengubah pemerintahan Iran, melainkan menginginkan adanya “perubahan besar” dalam perilakunya.
“Biarlah kami jelas, kebijakan AS tidak mencanangkan pengubahan pemerintahan (Iran), melainkan apa yang kami inginkan ialah perubahan besar dalam perilakunya,” ungkap Bolton dalam jumpa pers di kota Al-Quds (Yerussalem) pada sesi akhir kunjungan tiga harinya ke Israel, Rabu (22/8/2018).
Sebelum menjabat penasehat keamanan nasional dia termasuk orang yang menyerukan penggulingan pemerintahan Islam Iran.
Dia menambahkan bahwa keluarnya AS dari perjanjian nuklir Iran dan diterapkannya kembali embargo terhadapnya telah membuat negara republik Islam ini tertekan hebat.
“Kami melihat adanya pengaruh yang sangat negatif bagi Iran, bahkan saya yakin ini melebihi apa yang kami harap sebelumnya,” katanya.
Sesuai sikap Israel Bolton menyatakan bahwa perjanjian nuklir Iran dan pencabutan sanksi terhadapnya memungkinkan Teheran mendanai gerakan-gerakan bersenjata di kawasan Timteng. Sikap ini berbeda dengan negara-negara Eropa yang justru masih terlihat berusaha menyelamatkan perjanjian nuklir Iran dan menilainya masih efektif mencegah Iran meraih senjata nuklir.
Mengenai Suriah Bolton mengingatkan Presiden Bashar al-Assad agar tidak melakukan apa yang disebutnya menggunakan senjata kimia di Idlib, provinsi yang menjadi sarang terakhir kelompok-kelompok pemberontak dan teroris di Suriah.
Dia menegaskan bahwa AS “akan bereaksi keras” jika tentara Suriah menggunakan senjata kimia. (raialyoum)
PBB Nyatakan Sanksi AS Terhadap Iran Menyengsarakan Dan Tak Adil
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Idriss Jazairy mengecam sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Iran dan menyebutnya “tidak adil dan berbahaya”.
Dalam pernyataan tertulisnya mengenai dampak negatif sanksi itu, Rabu (22/8/2018), Jazairy mengatakan: “Sanksi yang tidak adil dan berbahaya ini menghancurkan ekonomi dan mata uang Iran, membuat jutaan orang jatuh miskin dan membuat barang impor tidak terjangkau.”
Pada 6 Agustus lalu AS kembali memberlakukan sanksi ekonomi babak pertama yang menyasar terutama sektor perbankan Iran.
Sanksi tersebut dimaksudkan untuk menghalangi akuisisi Teheran terhadap mata uang AS, perdagangan logam mulia, transaksi bank dalam mata uang Iran, kegiatan yang terkait dengan utang negara Iran, dan sektor otomotif Iran.
Jazairy mempertanyakan apakah AS akan menyediakan makanan dan obat-obatan kepada jutaan orang Iran yang tidak mampu lagi membelinya.
“Sistem saat ini menciptakan keraguan dan ambiguitas yang membuat semua itu tidak mungkin bagi Iran untuk mengimpor barang-barang kemanusiaan yang sangat dibutuhkan ini. Ketidakjelasan ini menyebabkan ‘efek menakutkan’ yang mungkin menyebabkan kematian diam-diam di rumah sakit karena obat-obatan habis, sementara media internasional gagal memerhatikannya.”
Pelapor khusus mendesak AS untuk “menunjukkan komitmennya untuk mengizinkan komoditas pertanian, makanan, obat-obatan, dan peralatan medis ke Iran.
“Sanksi harus adil, dan tidak boleh mengarah pada penderitaan orang yang tidak bersalah,” tambah Jazairy. (anadolu)
Syeikh Yusuf Qaradawi Dibully Karena Fatwanya Mengenai Haji
Ulama ternama asal Mesir yang tinggal di Qatar Syeikh Yusuf Qaradawi di-bully oleh para aktivis media sosial di negara-negara Arab, terutama kawasan Teluk Persia, karena pernyataan terbarunya mengenai ibadah haji secara tidak langsung menyerukan aksi boikot haji.
Para aktivis itu menilai Qaradawi yang dijuluki sebagai “Mufti Ikhwanul Muslimin” itu “mempolitisasi agama sebagaimana biasanya”. Menurut mereka, pernyataan terbarunya mengenai ibadah haji sangat kontras dengan fatwa yang pernah dia kemukakan pada tahun 2015 sebelum Qatar diboikot oleh Arab Saud, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir.
Mereka menyebut Qaradawi sedang berusaha membela Qatar, meremehkan boikot terhadap Qatar, dan mendongkrak mental pemerintah Qatar yang tertekan oleh boikot.
Adapun fatwa dan pernyataan Syeikh Yusuf Qardhawi mengenai ibadah haji itu ialah sebagai berikut;
Sebelum Qatar diboikot (15 September 2015):
“Bagi Muslim yang berkemampuan menunaikan haji dan tidak berhalangan maka hendaknya bersegera menunaikannya sebagaimana disebutkan dalam hadis: ‘Bersegeralah kepada haji sebab sesungguhnya seseorang tidak mengetahui apa yang akan menimpanya.”
Setelah Qatar diboikot (18 Agustus 2018):
Allah tidak membutuhkan haji. Allah Maha Kaya tidak memerlukan hamba-hambaNya. Ketika dia mewajibkan kepada mereka suatu kewajiban maka ini adalah supaya mereka menyucikan jiwa mereka sendiri, supaya mereka mendaki jenjang-jenjang tinggi spiritual, kejiwaan, dan moral menuju Tuhannya, dan supaya terwujud berbagai manfaat dalam kehidupan mereka.” (alalam)