Iran Kutuk Pembantaian Massal Pasukan Rezim HTS terhadap Warga Minoritas di Suriah

Teheran, LiputanIslam.com – Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Iran mengutuk aksi pembantaian warga minoritas di Suriah oleh pasukan rezim Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) dipimpin oleh Ahmad al-Shara’ alias Abu Muhammmad al-Julani.

“Dalam beberapa hari terakhir, insiden yang tidak diharapkan telah terjadi di beberapa wilayah Suriah. Kami sangat prihatin dengan laporan tentang ketidakamanan dan kekerasan,” kata juru bicara Esmaeil Baghaei dalam konferensi pers, Senin (10/11).

“Kami mengutuk keras tindakan tersebut. Pembunuhan massal atau tindakan apa pun terhadap warga sipil tidak dapat diterima dan tidak dapat dibenarkan,” tambahnya.

Seperti diketahui, belakangan ini beredar laporan dan rekaman video kekerasan di Suriah barat laut yang bahkan menjatuhkan ribuan korban jiwa.

Jumlah korban tewas dikabarkan meningkat menjadi lebih dari 1.000 orang hanya dalam dua hari, termasuk 745 warga sipil, yang sebagian besar tewas akibat eksekusi, 125 militan yang tergabung dalam rezim   HTS, dan hampir 150 anggota kelompok oposisi, menurut catatan Observatorium Suriah untuk HAM (SOHR) pada hari Minggu.

Bentrokan meletus di wilayah pesisir barat laut negara itu pada hari Kamis, yang sebagian besar dihuni oleh warga minoritas Alawite.

Baghaei mengatakan, “Fakta bahwa komunitas Alawite tertentu telah menjadi sasaran telah melukai hati nurani.”

Dia menyebut perkembangan yang tidak diinginkan itu sebagai “ujian nyata” bagi rezim HTS untuk memenuhi tanggung jawabnya “dalam melindungi kehidupan warga Suriah.”

“Kami telah menyampaikan kekhawatiran kami melalui saluran yang tepat kepada negara-negara yang memiliki pengaruh. Insiden semacam itu hanya akan semakin memperumit situasi politik Suriah,” ungkap Baghaei, menyimpulkan perkembangan yang sedang berlangsung di negara Arab tersebut. (mm/presstv)

Sekjen Hizbullah: Kubu Perlawanan Tidak akan Membiarkan Israel Terus Menebar Kejahatan

Beirut, LiputanIslam.com –Sekjen Hizbullah Lebanon, Sheikh Naim Qassem, mengirim pesan penting kepada Rezim Zionis Israel.

Ditujukan kepada rezim pendudukan tersebut, Syeikh Naim Qassem dalam sebuah wawancara pada hari Minggu (9/3), menegaskan, “Bahkan jika kalian tetap berada di lima titik di Lebanon selatan, berapa lama Anda akan bertahan?! Kubu Perlawanan ini tidak akan membiarkan kalian terus bertahan.”

Dia menekankan bahwa masuknya kubu perlawanan (Hizbullah) ke dalam negosiasi bukan karena kelemahan.

 “Tapi ketika Israel datang dan meminta untuk menghentikan perang, kami bernegosiasi dan kami masih punya kekuatan,” ungkapnya.

Sekjen Hizbullah menjelaskan bahwa pengalaman para pemimpin perlawanan dan pemuda sangat tinggi, dan sasarannya bersifat militer, tepat, dan berkapasitas tinggi.

Menurutnya, semua  itu menunjukkan bahwa kubu perlawanan bisa saja menyerang sasaran nonmiliter, tapi mereka tidak melancarkan pertempuran ke sasaran tersebut, karena keputusan yang diambil adalah menyerang lokasi militer saja, agar tidak memberi dalih bagi musuh untuk menambah kejahatannya.

Syeikh Qassem memastikan kubu perlawanan berada dalam kondisi prima dan terus berlanjut, meski memang terluka dan telah memberikan banyak pengorbanan.

Dia menambahkan, “Apakah ada yang menduga perlawanan akan terus berlanjut tanpa pengorbanan?” Pengorbanan yang besar, ya, namun kami sadar bahwa pengorbanan ini harus dilakukan dalam menghadapi Israel, Amerika serta negara-negara Eropa dengan segala kemampuan mereka, karena mereka telah menggunakan segala kejahatan mereka untuk menghadapi perlawanan di Palestina dan Lebanon.”

Syeikh Qassem juga mengatakan, “Kita menghadapi bahaya yang sangat besar, dan siapa pun yang menghadapi bahaya demikian tidak bertanya apa yang telah Anda lakukan, melainkan bagaimana Anda bisa keluar.”

Dia juga memastikan bahwa Israel menderita banyak kerugian di bidang militer dan ekonomi, serta jumlah serdadu yang tewas, dan bahwa “pemandangan ini menunjukkan perlawanan terus berlanjut.”

 “Ketika kami mengatakan bahwa perlawanan kami sedang berlangsung, itu berarti bahwa perlawanan sedang berlangsung di lapangan. Para pemuda Pasukan Ridwan turun ke prosesi pemakaman untuk mengatakan bahwa kami ada di sini dan ada di gelanggang,” tuturnya,

Dia juga mengatakan, “Kami memang berada dalam fase baru, tapi hal-hal yang konstan tidak berubah. Sebaliknya, metodenya mungkin berubah,  kerja perlawanan tidak berhenti dan tidak dapat berhenti, karena berhenti akan meniadakan eksistensi Lebanon. Apa yang terjadi di Suriah adalah bukti nyata.”

Dia mengingatkan, “Kubu perlawanan telah menghalangi musuh dan mencegahnya maju dan bertahan di tanah kami, dan bahkan di wilayah yang didudukinya, waktunya akan tiba untuk perlawanan, dan hari ini kami bersabar… Saat ini kami membiarkan kesempatan bagi pemerintah Lebanon untuk mengatakan kepada dunia bahwa Israel tidak akan keluar kecuali dengan hantaman.” (mm/raialyoum)

Iran Tegaskan Pantang Bernegosiasi di Bawah Tekanan

Teheran, LiputanIslam.com – Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menepis keras kemungkinan pihaknya terlibat dalam negosiasi di bawah tekanan dan intimidasi.

“Kami tidak akan bernegosiasi di bawah tekanan dan intimidasi. Kami bahkan tidak akan mempertimbangkannya, apa pun subjeknya,” kata Araghchi dalam sebuah posting di akun X miliknya pada hari Senin (10/3).

“Negosiasi berbeda dengan intimidasi dan mengeluarkan perintah,” tambahnya.

Dia menekankan kembali status damai program energi nuklir Iran, dan memastikan bahwa pada dasarnya tidak ada yang namanya “potensi militerisasi.”

Dalam sebuah wawancara dengan Fox News yang direkam pada tanggal 6 Maret, Presiden AS Donald Trump bersumbar bahwa Iran dapat ditangani baik secara militer maupun dengan membuat kesepakatan tentang program nuklir Teheran.

Pada hari Sabtu, Pemimpin Besar Iran Ayatullah Ali Khamenei mengatakan bahwa desakan beberapa kekuatan “berandal” untuk mengadakan pembicaraan dengan Iran tidak bertujuan menyelesaikan masalah, dan Iran tidak akan pernah menerima harapan mereka.

Dalam unggahannya, Araghchi menyebutkan bahwa konsultasi antara Iran dan troika Eropa (Prancis, Jerman, dan Inggris ) dan secara terpisah dengan Rusia dan Tiongkok sedang berlangsung “dengan kedudukan yang setara dan saling menghormati.”

“Tujuannya adalah untuk mengeksplorasi cara-cara membangun lebih banyak kepercayaan dan transparansi pada program energi nuklir kami sebagai imbalan atas pencabutan sanksi yang melanggar hukum,” terangnya.

Iran dan tiga negara Eropa telah mengadakan pembicaraan sejak 2021, tiga tahun setelah Amerika Serikat meninggalkan kesepakatan nuklir 2015, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), dan menerapkan kembali sanksi keras terhadap Iran.

Ketiga negara itu gagal memenuhi janji mereka untuk membawa Washington kembali ke dalam kesepakatan tersebut. Teheran mulai mengurangi komitmennya di bawah JCPOA dalam serangkaian langkah yang telah diumumkan sebelumnya dan  setelah menyaksikan kegagalan pihak lain menjamin kepentingannya berdasarkan perjanjian tersebut. (mm/presstv)