Jakarta, ICMES. Komandan Angkatan Darat Iran Brigjen Kioumars Heidari memastikan reaksi Poros Resistensi akan sengit dan telak rezim jika Zionis Israel memulai perang baru di Lebanon. Di pihak lain, Kepala Staf Militer AS Jenderal Charles Brown mengatakan bahwa Iran kemungkinan tidak akan tinggal diam jika eksistensi Hizbullah terancam.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan pertempuran tentara Israel melawan para pejuang Palestina di kota Rafah, Jalur Gaza selatan, “akan berakhir”, untuk kemudian bersiap hadapi kemungkinan terburuk di front utara.
Media Israel melaporkan bahwa setengah juta orang akan meninggalkan Palestina pendudukan 1948 (Israel) dalam enam bulan pertama perang, sementara imigrasi ke sana jauh lebih sedikit dibandingkan sebelum perang, yaitu sekitar 2.500 imigran per bulan.
Berita selengkapnya:
Jenderal Iran: Respon Poros Resistensi akan Telak Jika Israel Serbu Lebanon
Komandan Angkatan Darat Iran Brigjen Kioumars Heidari memastikan reaksi Poros Resistensi akan sengit dan telak rezim jika Zionis Israel memulai perang baru di Lebanon. Di pihak lain, Kepala Staf Militer AS Jenderal Charles Brown mengatakan bahwa Iran kemungkinan tidak akan tinggal diam jika eksistensi Hizbullah terancam.
Kioumars Heidari menyatakan hal tersebut pada hari Ahad (23/6) menyusul santernya pengakuan Israel akan melancarkan perang besar-besaran terhadap kelompok pejuang Hizbullah yang berbasis di Lebanon.
Heidari mengatakan bahwa serangan bersandi Janji Sejati yang dilancarkan Iran pada 13 April lalu sebagai balasan atas serangan Israel terhadap Konsulat Iran Suriah telah “mengubah kondisi dan perimbangan kekuatan militer di kawasan Asia Barat (Timteng) dan merombak banyak formula lama serta menciptakan situasi baru”.
Menurutnya, Iran sebagai kekuatan baru di kawasan telah berhasil menunjukkan kemampuannya kepada dunia dengan melakukan serangan rudal terhadap sasaran Israel di wilayah pendudukan Palestina.
Pada 1 April, Israel melancarkan serangan udara terhadap bagian konsuler Kedubes Iran di Damaskus, ibu kota Suriah. Serangan ini menggugurkan dua jenderal Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC), Brigjen Mohammad Reza Zahedi dan Jenderal Mohammad Hadi Haji Rahimi, dan lima petugas pendampingnya.
Sebagai pembalasan, IRGC menggempur Israel pada 13 April dengan badai drone dan rudal bersandi Operasi Janji Sejati.
Menyinggung kejahatan Israel di Gaza selama sembilan bulan terakhir, Heidari mengatakan bahwa rezim tersebut telah terjebak pada kubangan mematikan di Jalur Gaza.
“Ancaman rezim terhadap Hizbullah Lebanon bukanlah isu baru,” imbuhnya.
Rezim Israel mulai melancarkan serangan sporadis terhadap Lebanon setelah melancarkan perang genosida yang sedang berlangsung di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023, yang memicu konfrontasi dengan Hizbullah.
Baku tembak antara Israel dan Hizbullah semakin intensif sejak komandan senior Hizbullah Sami Taleb Abdullah gugur diserang Israel. Hizbullah membalas dengan menembakkan ratusan roket ke bagian utara wilayah pendudukan.
Pada hari Selasa, militer Israel mengaku menyetujui rencana serangan terhadap Lebanon, sehingga meningkatkan kekhawatiran bahwa rezim tersebut bisa jadi akan mewujudkan ancamannya untuk mengubah Lebanon menjadi Gaza kedua.
Di pihak lain, Sekjen Hizbullah Sayid Hassan Nasrallah dalam pidato belum lama ini menegaskan bahwa jika Israel mengobarkan perang besar terhadap Lebanon maka kubu resistensi akan berperang “tanpa aturan dan batasan”.
Sementara itu, Kepala Staf Militer Gabungan AS, Jenderal Charles Brown, pada hari Ahad mengatakan bahwa serangan Israel di Lebanon dapat meningkatkan risiko konflik lebih luas yang akan menyeret Iran dan militan sekutunya ke dalamnya, terutama jika keberadaan Hizbullah terancam.
Brown tidak mengungkapkan ekspektasinya mengenai langkah selanjutnya yang bisa diambil Israel, namun dia mengakui hak Israel untuk membela diri.
Brown memperingatkan bahwa melancarkan serangan terhadap Lebanon “dapat meningkatkan kemungkinan konflik yang lebih luas.”
“Hizbullah lebih mampu dibandingkan Hamas dalam hal kemampuan keseluruhan, jumlah rudal dan sejenisnya,” kata Brown kepada wartawan sebelum singgah di Cape Verde dalam perjalanannya untuk berpartisipasi dalam perundingan pertahanan regional di Botswana.
Dia juga mengatakan, “Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya melihat Iran lebih cenderung memberikan dukungan lebih besar kepada Hizbullah.” (presstv/raialyoum)
Netanyahu: Israel akan Buka Front di Utara dan Siap Hadapi Risiko Terburuk
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan pertempuran tentara Israel melawan para pejuang Palestina di kota Rafah, Jalur Gaza selatan, “akan berakhir”, untuk kemudian bersiap hadapi kemungkinan terburuk di front utara.
“Fase sengit dalam pertempuran melawan Hamas akan segera berakhir. Ini tidak berarti bahwa perang akan segera berakhir, namun perang dalam fase sengitnya akan segera berakhir di Rafah,” kata Netanyahu dalam wawancara dengan Channel 14 Israel, Ahad (23/6).
Dalam wawancara pertamanya dengan saluran televisi Israel sejak dimulainya perang di Gaza pada tanggal 7 Oktober, Netanyahu menjelaskan, “Setelah fase sengit berakhir, kami akan mengerahkan kembali sebagian pasukan kami ke arah utara, dan kami akan melakukan halitu terutama untuk tujuan pertahanan, tetapi juga untuk memulangkan penduduk.”
Netanyahu mengaku tidak akan menerima perjanjian “sepihak” apa pun, dan mengatakan, “Tujuannya adalah untuk memulihkan para sandera dan menggulingkan rezim Hamas di Gaza.”
Netanyahu menjelaskan bahwa rencana Israel setelah operasi di Rafah bukanlah penghentian perang sepenuhnya.
“Saya melihat berita utama surat kabar mengatakan bahwa tentara Israel akan pergi 2-3 minggu setelah operasi Rafah berakhir untuk menghentikan perang, mempersiapkan kesepakatan mengenai para sandera, dan menuju ke utara,” ujarnya.
Dia menambahkan, “Kami memiliki tujuan perang. Kami membebaskan 136 sandera, dan kami harus menghilangkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas. Ini hanya dapat dilakukan dengan operasi di lapangan. Ini tidak berarti bahwa perang akan segera berakhir, namun perang dalam tahap pertempuran sengit akan berakhir.”
Perdana Menteri Israel menyebutkan bahwa Tel Aviv ingin bekerja sama dengan orang-orang Palestina setempat untuk pembentukan pemerintahan sipil, dan menekankan bahwa mengembalikan pemukiman Yahudi ke Gaza tidaklah realistis.
Ketika ditanya apakah dia cukup kuat untuk mengakhiri pertempuran dan mencapai kemenangan penuh, dia menjawab, “Saya kuat karena rakyat Israel kuat. Kita sedang berperang di tujuh front Hamas, Hizbullah, Houthi (Ansarullah Yaman), dan milisi dari Iran dan Suriah. Penguasa Iran, Khamenei, men-tweet dua kali sehari ; ‘Kami akan menghancurkan Israel’. Saya percaya pada niatnya, tetapi saya juga percaya pada kemampuan kami untuk menghadapi poros kejahatan.”
Netanyahu menambahkan: “Saya belum siap untuk membiarkan situasi seperti ini terjadi di utara, dan kami sedang membuat persiapan, tapi saya tidak bisa menjelaskan secara rinci rencana kami.”
Dia juga mengatakan, “Kami tahu bahwa mereka (Hizbullah) mempunyai tujuan, dan kami terlibat dalam pertahanan yang kuat. Kami bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Menghapus Hizbullah dan menghapusnya secara efektif tidak akan terjadi melalui perjanjian di atas kertas. Kami harus memaksakan masalah ini. Kami harus mengembalikan warga ke rumah mereka, dan kami sedang berupaya untuk mewujudkannya.” (raialyoum)
Setengah Juta Warga Zionis akan akan Mengungsi dalam 6 Bulan Pertama Perang Israel-Hizbullah
Media Israel melaporkan bahwa setengah juta orang akan meninggalkan Palestina pendudukan 1948 (Israel) dalam enam bulan pertama perang, sementara imigrasi ke sana jauh lebih sedikit dibandingkan sebelum perang, yaitu sekitar 2.500 imigran per bulan.
Pada bulan Februari 2024, sekitar 20.000 orang meninggalkan wilayah pendudukan, dan pada bulan Maret sekitar 7.000 orang. Dengan menambahkan jumlah kedatangan dan keberangkatan pada bulan April ke jumlah umum, kesenjangan dalam jumlah pintu keluar mencapai sekitar 550.000 ribu orang, menurut laporan tersebut.
Tren yang terjadi pada masa perang ini bergabung dengan tren yang sudah lazim bahkan sebelum terjadinya perang (amandemen peradilan), mengingat memburuknya kondisi keamanan, sosial, dan ekonomi Israel.
Data Otoritas Imigrasi menunjukkan penurunan tajam jumlah perjalanan dan perjalanan bisnis Israel ke luar negeri sejak pecahnya perang pada 7 Oktober.
Sehubungan dengan pertempuran yang dilancarkan oleh para pejuang Palestina, Israel mencatat peningkatan migrasi balik Yahudi, ketika media Israel berbicara tentang sejumlah besar orang Israel yang telah meninggalkan wilayah Palestina pendudukan sejak awal perang. (raialyoum)
.