Perang Dagang AS-China: Apa yang Sebenarnya Terjadi?

perang dagang as-chinaKetika AS Menggunakan ‘Tangan Besi’

Tahun 2018 diwarnai dengan perang dagang antara AS dan China. Perang ini diakibatkan oleh ambisi Trump untuk meningkatkan kinerja perekonomiannya. Cina adalah mitra dagang AS terbesar (dan begitu pula sebaliknya). China menguasai 21,6 persen pangsa impor AS, sedangkan AS menguasai 8,4 persen pasar impor Cina. Trump berambisi membuat angka ini menjadi seimbang, dengan cara menaikkan tarif impor (barang-barang China yang masuk ke AS dikenai tarif tinggi). China pun membalasnya dengan menerapkan tarif impor tinggi atas barang dari AS.

Namun dalam upayanya memenangkan perang ini, AS sering menggunakan ‘tangan besi’, yaitu memanfaatkan kekuatan hegemoninya di berbagai negara untuk melakukan berbagai aksi unilateral untuk menekan China. Misalnya, pada awal Desember 2018, Chief Financial Officer Huawei, Meng Wanzhou, ditangkap oleh pihak berwajib Kanada. Penangkapan tersebut didasari oleh permintaan pemerintah Amerika Serikat terkait pelanggaran yang dilakukan Huawei, yaitu menjual komputer tertentu ke Iran (yang dikenai embargo oleh AS). AS juga menekan China agar berhenti bekerja sama dagang dengan Iran, dengan alasan nuklir; dan hal ini ditolak China.

Menurut Menteri Luar Negeri China, kerjasama bisnis antara China dan Iran tidak menganggu kepentingan pihak lain sehingga seharusnya dikecualikan dari sanksi AS. Menurutnya, “Ikatan komersial antara China dan Iran sepenuhnya masuk akal dan sejalan dengan resolusi PBB.”

Sebelumnya, pada bulan September, AS memberi sanksi ekonomi kepada China gara-gara China tidak mau tunduk kepada embargo yang diberlakukan AS kepada Rusia. Rusia diembargo atas aksi politiknya terhadap Ukraina dan dituduh mencampuri urusan politik dalam negeri AS. Total, ada 12 perusahaan Rusia yang diembargo AS dengan alasan “bertentangan dengan keamanan nasional atau kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat.”

China tidak memperdulikan sanksi itu dan tetap membeli jer tempur dan perlengkapan “surface-to-air missile” buatan Rusia. Jubir Menlu China, Geng Shuang, menyatakan bahwa China benar-benar marah atas tindakan AS itu dan “mendesak AS agar mengoreksi kesalahannya dan membatalkan sanksinya; bila tidak AS akan menerima konsekuensinya.”

Pepe Escobar, jurnalis dan analis politik internasional asal Brazil, dalam artikel analisisnya menyebutkan bahwa pemberian sanksi itu didahului dengan rilisnya sebuah laporan penting Pentagon tentang basis industri pertahanan Amerika Serikat dan “ketahanan rantai pasokan”. AS secara terang-terangan menuduh China melakukan “ekspansi militer” dan “strategi agresi ekonomi,” terutama karena Beijing merupakan satu-satunya sumber bagi “beberapa produk kimia yang digunakan dalam amunisi dan rudal.”

Dalam laporan itu, Rusia disebutkan hanya satu kali, namun dalam satu paragraf penting; yaitu sebagai “ancaman” di samping China, bagi industri pertahanan AS.

Menurut Escobar, sanksi yang dijatuhkan Departemen Keuangan AS kepada 12 perusahaan Rusia itu dalam praktiknya bermakna: perusahaan Amerika tidak dapat mengekspor produk-produk penggunaan ganda kepada perusahaan manapun di Rusia yang telah mendapat sanksi tersebut.

Dengan demikian, alasan di balik sanksi ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan ‘keamanan nasional’. Ini semua hanyalah kompetisi pasar bebas. Sumber masalah sebenarnya adalah Irkut MC-21 pesawat jet berbadan ramping pertama di dunia dengan kapasitas lebih dari 130 penumpang yang berbasis sayap-komposit.

Pertempuran Dagang Pesawat Jet

AeroComposit adalah perusahaan [Rusia] yang bertanggung jawab dalam mengembangkan sayap komposit ini. Perkiraan total kandungan komposit dari rancangan secara keseluruhan adalah sekitar 40%.

Mesin PD-14 dari pesawat MC 21 -yang tidak dapat digunakan oleh jet tempur- akan diproduksi Aviadvigatel. Sampai sekarang MC 21 masih menggunakan mesin Pratt & Whitney [Perusahaan AS]. PD-14 adalah mesin pertama 100% buatan Rusia, sejak kehancuran Uni Soviet.

Pakar penerbangan yakin bila MC-12 dilengkapi mesin PD-14 maka pesawat ini akan dengan mudah memenangkan persaingan melawan AirbusA320 dan Boeing 737.

Selanjutnya ada mesin PD-35 -dimana Aviadvigatel saat ini mengembangkannya khusus untuk melengkapi pesawat twin jet berbadan lebar yang diproduksi oleh perusahaan patungan ‘China-Rusia Commercial Aircraft International Corp Ltd’ (CRAIC), dan telah diluncurkan di Shanghai pada Mei 2017.

Pakar penerbangan yakin, ini adalah satu-satunya proyek di dunia yang sanggup menantang monopoli beberapa dekade yang dilakukan Boeing dan Airbus.

Apakah sanksi ini akan mencegah Rusia dari menyempurnakan MC-21 dan berinvestasi pada perusahaan penerbangan baru? Sangat sulit. Pengamat militer terkenal, Andrei Martyanov, dengan yakin menyebut sanksi ini sebagai “hal menggelikan”, mengingat bagaimana pembuat avionik (perangkat elektronik penerbangan) dan perangkat pendukung lain dari pesawat jet tempur canggih [Sukhoi] SU-35 dan SU-57, tidak akan mendapat kesulitan untuk mengganti bagian-bagian “Barat” dalam pesawat jet komersilnya.

Upaya AS Memotong ‘Rantai Pasokan Global’

Masih dari artikel Escobar, target utama pemerintahan Trump terkait China sesungguhnya adalah memotong perpanjangan rantai pasokan perusahaan-perusahaan di AS, dan menanamkannya – bersama puluhan ribu pekerjaan – kembali masuk ke AS.

Rantai pasokan global adalah sistem dimana komponen-komponen dalam perakitan sebuah produk diproduksi di berbagai negara agar terjadi efisiensi harga; misalnya pesawat jet Boeing, komponennya dibuat di banyak negara; baru kemudian dirakit utuh di AS. Banyak komponen itu dibuat di China karena biayanya lebih murah.

Reorganisasi secara radikal dari sistem kapitalisme global ini dapat merugikan perusahaan multinasional AS karena bila mereka melepas China, mereka akan kehilangan semua keuntungan yang selama ini didapat. Dan kerugian itu tidak mungkin dapat ditutupi oleh keringanan pajak perusahaan.

Yang lebih buruk lagi, dari sudut pandang perdagangan global, Trump memandang bahwa reindustrialisasi AS bisa dilakukan dengan menjatuhkan industri China. Hal inilah yang menjelaskan luasnya tindakan demonisasi (memberi citra buruk) terhadap teknologi tinggi buatan China yang sudah merambah di berbagai bidang.

Upaya AS memberi citra buruk ini berlangsung secara paralel dengan demonisasi Rusia. Menteri Dalam Negeri AS, Ryan Zinke, mengancam bahwa AS akan memblokade distribusi migas Rusia. Dia sesumbar, “Angkatan Laut AS memiliki kemampuan itu, untuk memastikan jalur laut terbuka, dan, jika perlu, untuk memblokade…. untuk memastikan bahwa energi mereka tidak masuk ke pasar.”

Demonisasi perdagangan dan industri China mencapai puncaknya saat Wakil Presiden Mike Pence menuduh China sebagai “pengacau ceroboh”, mencoba “mencederai” kredibilitas Presiden Trump dan bahkan menjadi pihak yang mengganggu pemilu Presiden AS, menggantikan Rusia. Hal ini sangat selaras dengan strategi komersial yang tujuan utamanya adalah menciptakan lapangan kerja AS.

Selanjutnya, Pence juga mengatakan dugaan gangguan Rusia menjadi tidak penting dibandingkan tindakan “kejahatan” yang dilakukan China.

Duta Besar China untuk AS, Ciu Tiankai, dalam wawancara dengan Fox News, berjuang untuk melakukan diplomasi terbaiknya, “Sulit dibayangkan 1/5 dari populasi global dapat maju dan sejahtera, namun bukan bersandar pada kekuatannya sendiri, tapi dengan mencuri atau memaksa transfer teknologi pihak lain… Itu tidak mungkin. Orang China adalah pekerja keras dan rajin seperti orang lain di dunia.”

Escobar berpendapat bahwa serangan Washington pada China seharusnya tidak ditafsirkan sebagai bagian dari upaya menegakkan “fair trade”, tapi lebih kepada strategi AS untuk mencegah China membangun jalur yang memperlancar rantai pasokan global yang merupakan jantung Belt and Road Initiative  [proyek pembangunan jalur transportasi yang membentang dari Asia hingga Afrika].

Semua langkah AS ini menunjukkan bahwa AS menolak fair trade, menolak adanya kompetitor yang sepadan. AS ingin menjadi penguasa tunggal ekonomi dunia. Ini juga terucap oleh Wess Mitchell, asisten Menteri Luar Negeri AS pada biro hubungan Eropa dan Eurasia [pos ini sebelumnya dipegang oleh Victoria Nuland yang pernah berkata “f*ck Uni Eropa”].

Mitchell mengatakan, “Kepentingan keamanan nasional AS yang paling penting adalah mencegah wilayah Eurasia didominasi oleh kekuatan musuh [hostile power].”

Tentu saja yang dimaksud hostile power adalah China (dan Rusia).

Dampak Perang Dagang AS-China

Mengingat Cina adalah mitra dagang AS terbesar dan begitu pula sebaliknya, perang dagang di antara keduanya berdampak pada nasib banyak orang di dunia. Langkah AS menaikkan tarif impor (barang-barang China yang masuk ke AS dikenai tarif tinggi), dibalas China dengan menerapkan tarif impor tinggi atas barang dari AS, misalnya kedelai. China juga membeli kedelai dari negara lain, seperti Brazil. Akibatnya kerugian melanda kedua pihak. Petani AS dirugikan karena ekspor ke China berkurang drastis, dan konsumen di China pun dirugikan karena naiknya harga.

Menurut Mark Watne, President Perserikatan Petani North Dakota, para petani kedelai rugi hingga $280 juta akibat penerapan tarif dari Beijing. Sementara menurut ‘Consumer Technology Association’, tarif yang diterapkan AS atas produk-produk China membuat industri teknologi AS harus mengeluarkan biaya tambahan $1 miliar per bulan. Konflik ini juga menekan perusahaan ritel, manufaktur, dan konstruksi di AS yang harus membayar lebih untuk logam dan barang lainnya yang diimpor dari China. Tiga produsen besar mobil AS, General Motors, Ford,  dan Fiat Chrysler Automobiles masing-masing mengatakan biaya tarif yang lebih tinggi akan mengurangi keuntungan sekitar $ 1 miliar tahun ini.

Dampak ini juga mengenai negara-negara lain. Tingginya volume ekspor barang elektronik dari Cina ke AS dan berbagai negara lain di dunia disebabkan oleh banyaknya perusahaan yang membangun pabrik di Cina. Seperti dikutip dari tirto.id, sebanyak 80 persen AC, 70 persen ponsel, dan 60 persen sepatu yang beredar di seluruh dunia datang dari pabrik-pabrik di Cina. Perang tarif AS-China membuat China mengurangi ekspornya ke AS, akibatnya, Korsel yang mengekspor komponen ke China juga terpangkas. Jika ekspor Cina ke AS turun 10 persen,  ekspor Korea Selatan menuju China akan berkurang sekitar $28 milyar.

Kerugian serupa bisa dialami Jepang, Singapura, atau Taiwan karena ketiga negara tersebut menjadikan China sebagai tujuan utama ekspor industri teknologi informasi dan komunikasi. Sementara India dan negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Indonesia, dan Thailand, bisa ambil untung dari perang dagang ini karena ada peluang mengekspor produk-produk yang dibutuhkan dalam ‘kekosongan’ suplai. Selain itu, berbagai perusahaan perakitan elektronik seperti Dell, Sony, Panasonic, atau Samsung, telah memiliki pabrik di kawasan ASEAN sehingga perang dagang ini membawa imbas positif kepada negara-negara tersebut.

(Disusun oleh Redaktur ICMES)

Sumber:

https://www.mintpressnews.com/us-sanctions-russia-china-total-war/250900/

https://www.reuters.com/article/us-usa-trade-china/trade-wars-cost-u-s-china-billions-of-dollars-each-in-2018-idUSKCN1OR1JH

https://tirto.id/skenario-skenario-perang-dagang-as-cina-2019-apa-efeknya-ke-dunia-dchY