De-Arabisasi Yerusalem: Penyalahgunaan “Sejarah” Alkitab

Masjid Kubah Batu di Kompleks Masjid Al Aqsa terlihat di Kota Tua Yerusalem. 15 Juli 2017 (AP/Mahmoud Illean)

Masjid Kubah Batu di Kompleks Masjid Al Aqsa terlihat di Kota Tua Yerusalem. 15 Juli 2017 (AP/Mahmoud Illean)

Oleh: Miko Peled

Kenyataannya, sudah tujuh dekade Israel terlibat dalam kejahatan pembersihan etnis. Jika hal ini tidak segera dihentikan, Kota Yerusalem akan kehilangan warisan sejarah selamanya.

Yerusalem, Palestina. Pukul 2.30 siang, hari kerja di kota tua Yerusalem, siapapun berharap toko-toko dan restoran akan buka serta sibuk. Saya berdiri di pemberhentian pertama Via Delarosa, jalur terakhir dimana Yesus membawa sendiri kayu salib untuk penyalibannya. Saya memandang sekeliling. Restoran Abu Shkir sudah tutup, begitu pula beberapa toko penjual baju kaos dan sovenir. Saya menghampiri salah satu penjaga toko dan bertanya mengapa mereka tutup begitu cepat. “Tak ada jual beli,” jawabnya.

Tampak ganjil mengatakan hal ini di saat banyak turis lalu-lalang di jalan. Ada turis yang berjalan dalam kelompok-kelompok, dan yang lain tampak berjalan berpasangan atau sendiri-sendiri.

“Ratusan orang ada di sini,” ungkap saya

“Benar, tapi mereka tidak berhenti untuk berbelanja, bahkan untuk sekedar melihat atau menanyakan harga,”  jawabnya.

Dia benar. Tak seorang pun turis berhenti.

“Lihat,” lanjutnya saat dia tahu saya tetap berdiri di sana. “Bila Anda perhatikan, Anda akan lihat: pemandu wisata menyarankan wisatawan untuk tidak belanja dari orang Arab. Maka tak ada bisnis.”

Keluarga Ra’ed Saade telah menjalankan bisnis Hotel Yerusalem di wilayah Yerusalem Timur sejak tahun 1961. Bangunannya terletak di sudut jalan Antar Ben Shadad dan jalan Nablus, tepat di seberang Gerbang Damaskus yang cantik menuju Kota Tua. Hotel ini memiliki sejarah panjang, dijadikan hotel pada awal tahun 1950. Saat Ra’ed merenovasi hotelnya, dia membuat sebaris ukiran berisi puisi Antar Ben Shadad pada tiap tempat tidur di 14 kamar. Tiap ruangan dibuat unik, dan keseluruhan hotel diberi dekorasi khas tradisional Palestina. Ra’ed dan saya duduk di taman restoran yang menghadap ke jalan dan kami berbincang. Dia adalah ensiklopedi hidup dari orang Palestina secara umum dan orang Yerusalem khususnya.

Restoran ini seperti balkon tertutup, dihalangi oleh tanaman merambat, sering digunakan untuk pertemuan keluarga besar, kegiatan sosial, juga untuk tempat makan dan minum yang bersifat pribadi. Seorang kurir bergegas mengantar suplai untuk restoran.

“Dia harus bergegas karena tidak mendapat izin untuk parkir disini,” kata Ra’ed, menunjuk ke tepi jalan tempat truk berhenti.

“Selama beberapa tahun kami meminta pemerintah kota memberi izin para vendor untuk dapat mengantar barang suplai tapi mereka menolak.”

Sepertinya ini adalah salah satu cara dari banyak taktik pemerintah kota Yerusalem dan otoritas Israel untuk membuat kehidupan Ra’ed dan pengusaha Palestina lain menjadi sulit.

“Mereka mengesampingkan Yerusalem,” komentar Ra’ed, “memaksa usaha orang Palestina terhenti.”

Seperti saat bulan Ramadhan, Ra’ed diminta menjadi tuan rumah pertemuan acara buka bersama (iftar) bagi kelompok lokal para pebisnis. Iftar sering dimanfaatkan sebagai sarana pertemuan sosial yang besar.

“Saya menghabiskan lebih dari 4.000 shekel, lebih dari  1000 Dollar untuk persiapan,” kata Ra’ed. Saat para tamu mulai berdatangan, aparat muncul dan segera menghentikan acara.

Ra’ed memberi gambaran pada saya, “Gabungan dari polisi lokal, patroli perbatasan, dan pasukan khusus bersenjata lengkap, tak ketinggalan Shabak, polisi rahasia Israel, menggrebek hotel ini. Mereka mengatakan acara tersebut harus dihentikan dan meminta semua orang untuk pergi.” Bahkan tamu hotel yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan acara tersebut juga diminta untuk meninggalkan lokasi.

“Mereka memperlihatkan selembar kertas yang menyebut acara itu ilegal, karena melanggar Kesepakatan Oslo.” Dalam kesepakatan disebutkan, Otoritas Palestina (PA) dilarang mengorganisir atau bahkan  menampakan kehadirannya di kota dalam bentuk apapun. “Mereka meyakini bahwa ini adalah acara yang disponsori oleh PA.”

Kejadian seperti ini bukan jarang terjadi. Di awal tahun, otoritas Israel menutup acara di Hotel Ambassador, yang juga merupakan usaha milik orang Palestina, dikarenakan ada Duta Besar Rusia dan pejabat Otoritas Palestina di Ramallah yang hadir. Meskipun semua tamu memiliki izin untuk hadir, acara tetap saja ditutup. Juli yang lalu, Sekolah Tinggi Hind al-Husseini dan Fakultas Seni Universitas Al Quds -keduanya berlokasi di lingkungan Sheikh Jarrah- ditutup sampai ada pemberitahuan selanjutnya. Alasannya karena sebuah konferensi telah direncanakan untuk berlangsung namun otoritas Israel tidak menyetujui. Maka acara dibatalkan, sekolah ditutup, dan otoritas Israel menahan 15 orang yang rencananya akan berpartisipasi dalam acara tersebut.

Teater Hakawati di Yerusalem Timur, yang dikenal sebagai Teater Nasional Palestina, juga ditutup karena membawa budaya Palestina di sebuah kota yang ingin diklaim sebagai kota khusus Israel. Para pebisnis Palestina  dan orang-orang yang aktif di bidang budaya di Yerusalem Timur juga mengatakan kepada saya bahwa mereka sering mendapat pelecehan. Ini dapat dikatakan sebagai sebuah upaya dari pihak Israel untuk mengganggu dan menghambat hubungan politik, usaha, dan budaya oleh dan untuk orang Palestina di Yerusalem.

Catatan Sejarah

Israel mengklaim memiliki hubungan sejarah dengan Yerusalem dengan merujuk pada masa Alkitab, tepatnya masa Raja Daud. Silwan, sebuah komunitas berpenduduk sekitar 55.000 orang tak jauh di luar Kota Tua adalah sebuah gambaran yang mewakili apa telah terjadi di kota ini secara keseluruhan.

Saat berjalan-jalan di Silwan awal bulan ini, saya mendengar seorang pemandu wisata Israel menjelaskan ‘ada hubungan sejarah Israel dengan era Raja Daud’. Masalah dari argumen itu adalah setidaknya sudah dua abad arkeolog Yahudi dan Kristen sama-sama mencari –dan gagal—bukti keberadaan Raja Daud. Karena Alkitab adalah buku tentang keimanan, bukan dokumen sejarah, argumen sejarah dengan menggunakan Alkitab tidaklah kuat. Masih  menurut pemandu wisata itu, ‘atas nama ilmu pengetahuan’, sebuah terowongan telah digali di bawah rumah-rumah penduduk Silwan, untuk menemukan lebih lagi peninggalan arkeologi. Masa lalu mengalahkan masa sekarang dan penggalian itu telah merusak pondasi rumah; dinding menjadi tak stabil dan pengawas kota memperingatkan warga bahwa mereka harus pergi meninggalkan rumahnya karena sudah tidak aman.

Ahmad, seorang warga Palestina lokal, memperlihatkan pada saya retak-retak di rumahnya, lalu menunjuk sebuah jalan di Silwan dengan nama baru berbahasa Ibrani. Hanya ratusan orang Yahudi saja yang tinggal di Silwan namun nama asli jalan telah diganti dengan nama Ibrani. “Mereka merubah nama jalan di komunitas kami, menggantinya dengan nama Ibrani, Yahudi. Tak ada seorang pun bicara pada kami, kami tak pernah menyetujui ini.”

Dua organisasi yang memiliki misi menghilangkan nilai-nilai Arab di wilayah Muslim Quarter (bagian dari Kota Tua untuk kaum Muslim) dan Silwan adalah Ateret Cohanim dan Elad atau Lembaga Kota Daud. Dua organisasi kejam dan tak berbelas kasihan ini terdaftar di Amerika Serikat sebagai lembaga non-profit. Kedua organisasi ini, pemerintahan kota Yerusalem, dan pemerintahan Israel semua menghendaki agar warga Palestina keluar dari kota itu. Penduduk lokal pun tidak berdaya menyaksikan komunitasnya diambil alih oleh penguasa Yahudi radikal, baik orang Israel maupun orang asing.

Dalam pidato yang dibacakan pada Januari 1950 d idepan parlemen Israel, Knesset, Menlu Moshe Sharet dengan merujuk pada tuntutan PBB untuk menjaga kedaulatan Yerusalem, mengatakan, “Status Yerusalem sebagai ibu kota Israel telah diabadikan dalam sejarah dan dijamin oleh kenyataan masa sekarang.” Sejarahnya dipertanyakan, dan kenyataan sekarang, sudah tujuh dekade Israel terlibat dalam kejahatan pembersihan etnis. Bila hal ini tidak segera dihentikan, kota Yerusalem akan kehilangan warisan sejarah selamanya. []

 

Miko Peled adalah seorang penulis dan aktivis Hak Asasi Manusia yang lahir di Yerusalem. Dia adalah penulis buku “General’s Son. Perjalanan seorang Israel di Palestina,” dan “Injustice, kisah lima lembaga penyokong Tanah Suci.”

Diterjemahkan oleh Nita Haryanti. Sumber.