Jakarta, ICMES. Pemimpin Besar Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, menyatakan bahwa perselisihan antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Islam Iran bersifat fundamental, bukan taktis atau situasional.

Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi mengatakan dunia hanya menyaksikan sebagian kecil kekuatan Iran selama perang 12 hari dengan Israel pada bulan Juni 2025, dan menekankan bahwa negara republik Islam ini sekarang lebih siap menghadapi potensi konflik baru.
Media Israel pada) melaporkan bahwa lembaga keamanan Israel sedang mempersiapkan kemungkinan eskalasi skala besar di front Lebanon, mengingat apa yang disebut Tel Aviv sebagai “pertumbuhan pesat” kemampuan Hizbullah di Lebanon.
Berita selengkapnya:
Ayatullah Khamenei: Perselisihan Iran dan AS Fundamental, Bukan Taktis
Pemimpin Besar Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, menyatakan bahwa perselisihan antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Islam Iran bersifat fundamental, bukan taktis atau situasional.
Dalam pertemuan dengan ribuan mahasiswa di Kompleks Imam Khomeini, pusat kota Teheran, pada momen peringatan peristiwa 13 Aban (perebutan Kedubes AS oleh mahasiswa Iran, 4 November 1979), Senin (4/11), dia menekankan bahwa perselisihan itu bersifat intrinsik, dan menyoroti benturan kepentingan yang fundamental.
Ayatullah Khamenei menambahkan bahwa permintaan AS untuk bekerja sama dengan Iran hanya akan dipertimbangkan, bukan dalam waktu dekat, melainkan di kemudian hari, dengan syarat AS sepenuhnya menghentikan dukungannya kepada Israel, menarik pangkalan militernya dari kawasan Timur Tengah, dan menahan diri untuk tidak mencampuri urusan internalnya.
Mengenai sejarah permusuhan AS terhadap Iran, serta signifikansi penyitaan kedutaan besar tahun 1979, Ayatullah Khamenei mengatakan, “Penyitaan kedutaan besar AS oleh pemuda dapat dikaji dari dua perspektif: historis dan terkait identitas.”
Dari sudut pandang historis, dia mencirikan 13 Aban sebagai hari kebanggaan dan kemenangan bagi bangsa Iran, dengan menekankan, “Dalam sejarah Iran, ada hari-hari kemenangan sekaligus hari-hari kelemahan dan kemunduran, yang keduanya harus dilestarikan dalam memori nasional kita.”
Dia menambahkan, “Penyitaan Kedutaan Besar AS mengungkapkan identitas sejati pemerintah AS dan hakikat sejati Revolusi.”
Dia menilai tidaklah tepat memandang penyitaan Kedutaan Besar AS sebagai titik awal permasalahan antara AS dan Iran.
“Permasalahan kami dengan AS dimulai pada 19 Agustus 1953 (ketika Perdana Menteri Mohammad Mossadegh digulingkan), bukan pada 4 November 1979. Lebih lanjut, penyitaan kedutaan tersebut mengungkap konspirasi dan ancaman signifikan terhadap Revolusi,” ujarnya.
Ayatullah Khamenei menepis anggapan bahwa permusuhan AS terhadap Iran berakar pada slogan-slogan anti-AS seperti “mampus Amerika,” dan menyebutnya salah tafsir sejarah.
Dia menjelaskan,”Kita tidak menyerah kepada AS, tetapi apakah kita tidak akan pernah memiliki hubungan dengannya selamanya? Pertama-tama, sifat arogan AS menuntut kita untuk menyerah. Semua presiden AS menginginkan ini tetapi tidak mengungkapkannya secara terbuka, namun presiden saat ini telah menyuarakannya dan, dengan demikian, menyingkap sifat AS yang sebenarnya.”
Dia menyebut harapan agar bangsa Iran menyerah sebagai sesuatu yang sia-sia. “Meskipun kita tidak dapat memprediksi masa depan yang jauh, setiap orang harus memahami bahwa solusi untuk banyak masalah terletak pada kekuatan,” katanya.
Dia juga menekankan, “Kekuatan dalam manajemen, sains, militer, dan motivasi sangat penting untuk memastikan kekebalan negara. Pemerintah harus memenuhi tanggung jawabnya di bidang-bidang ini dengan kuat.”
Menanggapi beberapa pernyataan dari warga Amerika yang menyatakan keinginan untuk bekerja sama dengan Iran, dia menegaskan, “Kerja sama dengan Iran tidak sejalan dengan kerja sama dan dukungan AS terhadap rezim terkutuk Zionis.” (irna)
Araghchi: Iran Kini Lebih Siap Hadapi Perang, Dunia Baru Tahu Sebagian Kecil Kekuatannya
Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi mengatakan dunia hanya menyaksikan sebagian kecil kekuatan Iran selama perang 12 hari dengan Israel pada bulan Juni 2025, dan menekankan bahwa negara republik Islam ini sekarang lebih siap menghadapi potensi konflik baru.
Araghchi menyatakan demikian dalam wawancara eksklusif dengan saluran berita Al Jazeera di mana dia menjawab pertanyaan tentang berbagai isu, termasuk program nuklir Iran, dan Perang 12 Hari melawan Israel dan AS.
Dikutip IRNA, Senin (3/11), dia mengatakan, “Saya rasa seluruh dunia menyaksikan sebagian kekuatan kami selama perang 12 hari. Meskipun ada serangan mendadak yang dilancarkan Israel terhadap kami pada hari pertama, kami mampu merespon dengan segera. Pada hari-hari awal, Trump mencuit bahwa kami harus menyerah tanpa syarat, tetapi pada hari ke-12, merekalah yang mengusulkan gencatan senjata tanpa syarat.”
Dia menambahkan, “Ini menunjukkan bahwa Iran jauh lebih kuat dari yang mereka bayangkan. Khususnya, persatuan nasional dan dukungan teguh rakyat terhadap pemerintah merupakan kejutan besar bagi dunia. Kami belajar banyak pelajaran dari perang itu di bidang politik, militer, dan ekonomi, dan saya dapat mengatakan bahwa jika perang lain terjadi, kami akan lebih siap.”
Araghchi memperingatkan Israel bahwa rezim Zionis ini akan gagal lagi jika melancarkan perang baru terhadap Iran, sebab Iran telah mengidentifikasi titik lemah Israel selama konfrontasi 12 hari.
“Pengalaman yang gagal hanya akan mengarah pada kegagalan berikutnya. Rezim Israel tidak mencapai satu pun tujuannya dalam perang 12 hari, dan jika mencoba mengulangi pengalaman gagal itu, mereka akan menghadapi hasil yang sama, terutama karena kami bahkan lebih siap. Kami telah mengidentifikasi secara menyeluruh kelemahan kami sendiri maupun kelemahan musuh selama perang 12 hari, dan kami sekarang dapat bertindak dengan kekuatan yang jauh lebih besar,” terangnya.
Araghchi menambahkan bahwa konflik tersebut membuktikan bahwa sistem pertahanan udara Israel dapat ditembus, dan bahwa Iran juga telah menguji rudalnya dalam pertempuran nyata dan kini mengerti cara meluncurkannya dengan akurasi dan kekuatan yang lebih besar. (mm/irna)
Hizbullah Menguat, Israel Dikabarkan Siap Lakukan Eskalasi Militer Luas di Front Lebanon
Media Israel pada Senin malam (4/11) melaporkan bahwa lembaga keamanan Israel sedang mempersiapkan kemungkinan eskalasi skala besar di front Lebanon, mengingat apa yang disebut Tel Aviv sebagai “pertumbuhan pesat” kemampuan Hizbullah di Lebanon.
Badan penyiaran Israel Kan menyatakan bahwa Hizbullah dalam beberapa pekan terakhir berupaya membangun kembali dan mengembangkan infrastruktur militernya di wilayah-wilayah yang dikuasainya di utara Sungai Litani, serta di sekitar Beirut, dengan tujuan mempersulit misi tentara Israel dalam konfrontasi di masa mendatang.
Kan mengutip pernyataan pejabat Israel bahwa pemerintah Lebanon menunjukkan ketidakmampuan yang jelas untuk mengatasi akumulasi militer ini, sehingga “mengharuskan Israel menanggapi pelanggaran yang sedang berlangsung.”
Sumber itu menambahkan bahwa Israel sejauh ini menahan diri untuk tidak melakukan serangan di Beirut, meskipun memantau aktivitas yang dianggap pihak militer sebagai “pelanggaran perjanjian”, dan bahwa “tidak ada tempat yang aman jika pelanggaran terus berlanjut.”
Kan melaporkan apa yang diklaimnya sebagai keadaan frustrasi di dalam Hizbullah akibat serangan Israel yang terus-menerus dan berulang di Lebanon tanpa pembalasan. Dijelaskan bahwa ketidakpuasan ini terkonsentrasi di tingkat lapangan dan dapat mendorong beberapa kelompok untuk melakukan operasi tanpa perintah langsung dari pimpinan.
Disebutkan bahwa Sekjen Hizbullah, Naim Qassem, masih lebih memilih untuk menahan diri dan melimpahkan tanggungjawab kepada pemerintah Lebanon untuk menanggapi serangan Israel, mengingat bahwa setiap konfrontasi terbuka pada tahap ini “dapat menguntungkan kepentingan Israel dalam melemahkan Hizbullah, yang masih berusaha membangun kembali kemampuannya setelah perang.” (mm/raiayoum)






