Terorisme: Siapa yang Seharusnya Dipersalahkan? (2)

vltcheckOleh: Andre Vltcheck

Di negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia, ummat Islam bisa dikatakan absen/ tidak memiliki peranan penting. Partai politik tidak dapat diandalkan, dan keberadaan mereka dilarang selama pemerintahan diktator Soeharto. Sendi kehidupan politik ataupun ekonomi, berada dalam kontrol kelompok minoritas Kristen yang pro-Barat. Hingga hari ini, kelompok minoritas ini masih memiliki jaringan yang luas dan berbisa, kartel yang terkait dengan para mafia, media massa dan lembaga pendidikan — termasuk sekolah-sekolah agama (swasta), pengkhotah agama yang cenderung korup (banyak yang memainkan peran dalam pembantaian tahun 1965) dan mereka, masih anti-komunis dan teraffiliasi dengan penguasa lokal maupun internasional.

Islam Indonesia telah direduksi menjadi silent majority, kebanyakan miskin dan tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Dengan demikian, maka Islam hanya akan berita utama di media internasional jika ada kelompok berjubah putih yang dianggap penganggu atau ketika para ekstremis yang terkait dengan mujahidin Arab Afghanistan meledakkan klub malam, hotel atau restoran di Bali dan Jakarta.

Benarkah itu semua dilakukan oleh mereka?

Mantan Presiden Indonesia yang merupakan ulama Muslim progresif, Abdurrahman Wahid, diturunkan paksa oleh sejumlah elit. Beliau pernah berkata kepada saya, “Saya tahu siapa yang meledakkan Hotel Marriot di Jakarta. Itu bukanlah serangan yang dilakukan oleh kelompok Islam; melainkan, dilakukan oleh badan intelejen rahasia Indonesia, untuk melegitimasi anggaran atas keberadaan mereka, dan untuk menyenangkan Barat.”

***

Intelektual Muslim asal London, Ziauddin Sardar berkata, “Saya berpendapat bahwa imperialisme Barat tidak terlalu banyak terlibat aliansi atau menempa faksi radikal yang mereka ciptakan.”

Dan Mr Sardar melanjutkan, “Kita perlu menyadari bahwa kolonialisme justru lebih banyak melakukan perusakan atas bangsa dan budaya Muslim. Mereka memainkan peranan utama dalam penindasan dan hilangnya pengetahuan, pembelajaran, pemikiran dan kreativitas budaya. Kolonial memulai dengan mengambil alih pengetahuan dan pembelajaran Islam, yang sebenarnya, menjadi dasar dari lahirnya Renaissance di Eropa.

Dan kolonialisme, berakhir dengan menghilangkan pengetahuan/ budaya ummat Islam itu sendiri, baik dengan melakukan eliminasi fisik, seperti; menghancurkan atau menutup perguruan, melarang diajarkannya beberapa jenis pengetahuan lokal, membunuh para pemikir atau ulama, dan menulis ulang sejarah sebuah bangsa – dengan memasukkan sejarah peradaban Barat.

Dan inilah dampak panjang yang teramat mengerikan pasca Perang Dunia II. Kesuraman yang panjang telah melingkupi dunia Islam. Kaum Muslimin kini terluka, terhina, bingung, dan hampir selalu hanya mampu mengambil sikap defensif.

Parahnya, hal ini sering disalahpahami oleh orang luar, dan acapkali bahkan orang-orang Islam sendiri ‘dipaksa’ untuk mengandalkan ideologi Barat dan Kristen.

Islam awalnya begitu menarik dengan toleransi, pembelajaran, dan kesejahteraan sosial, namun kini telah dilumpuhkan oleh pengaruh yang berasal dari luar. Sehingga, yang tersisa dari Islam hanyalah sebuah dogma agama semata.

Sekarang sebagian besar negara-negara Muslim diperintah oleh penguasa lalim, atau junta militer perusak. Bisa dipastikan, mereka semua terkait erat dengan Barat dan pemangku kepentingan global. Para penjajah telah memusnahkan budaya Islam, dan menggantinya adalah keserakahan, korupsi dan kebrutalan.

Setiap kali sebuah negara Muslim mencoba untuk kembali kepada esensinya, mencoba mandiri dengan ideologi sosialis atau yang berorientasi pada keadilan sosial — baik itu Iran, Mesir, Indonesia, atau yang terbaru di Irak, Libya atau Suriah, maka mereka akan ‘dihukum’ dengan siksaan yang kejam, atau dihancurkan. Kehendak rakyat diabaikan, pemimpin negara yang telah terpilih secara demokratis justru berusaha dijatuhkan dengan segala macam cara.

Selama beberapa dekade, telah terjadi pelanggaran atas kebebasan dan hak asasi manusia di Palestina. Baik Israel, maupun Imperium kapitalis telah meludahi wajahnya sendiri. Bukankah selama ini, mereka yang paling vokal bersuara tentang hak manusia untuk menentukan sendiri nasibnya? Namun lihatlah Palestina, rakyatnya terkepung, dipermalukan, dan dibantai selama puluhan tahun.

Lalu muncullah fenomena Arab Springs di berbagai tempat, mulai dari Mesir hingga ke Bahrain. Ujung-ujungnya, militer dan wajah rezim lama kembali berkuasa.

Seperti orang-orang Afrika, maka ummat Islam juga membayar harga yang mengerikan karena dilahirkan di negara-negara yang kaya sumber daya alam. Tak hanya itu saja, mereka juga memiliki sebuah peradaban yang begitu besar sepanjang sejarah disamping China yang jauh lebih cemerlang dibandingkan seluruh peradaban Barat (dan inilah sebabnya, Barat berusaha menghancurkan peradaban Islam)

***
Islam, dengan sosok sultan yang fenomenal seperti Saladin, terkenal telah melawan penjajahan, membela kota-kota besar seperti Aleppo, Damaskus, Kairo dan Yerusalem. Meski demikian secara keseluruhan, ia lebih tertarik membangun peradaban daripada melakukan penjarahan dan perang.

Namun sekarang hampir tidak ada seorangpun di Barat tahu tentang Saladin, atau tentang prestasi, seni budaya maupun sosial yang dicetak oleh cendekiawan Muslim. Namun di sisi lain, mereka pasti tahu keberadaan kelompok teroris ISIS. Hanya saja, tentunya, yang mereka dengar tentang ISIS hanyalah sebuah kelompok ekstremis Islam. Mereka tidak tahu, bahwa ISIS adalah sebuah alat yang digunakan Barat untuk mengacaukan Timur Tengah.

Perancis berkabung atas penyerangan yang terjadi atas kantor majalah Charlie Hebdo. Di seluruh daratan Eropa, lagi-lagi yang digambarkan sebagai kelompok yang brutal adalah Islam, bukan Barat pasca Perang Salib, atau fundamentalis Kristen yang menggulingkan, membantai kaum Muslimin yang hidup di bawah sistem moderat, sekuler dan progresif. Akibat kekejaman mereka, mayoritas yang tersisa kini adalah orang-orang Islam yang hidup dalam keprihatinan dan menggantungkan diri pada belas kasihan.

***
Dalam lima dekade terakhir, sekitar 10 juta ummat Muslim dibunuh karena negara mereka tidak melayani Imperium kapitalis, atau tidak melayani dengan sepenuh hati. Korbannya adalah orang Indonesia, Irak, Aljazair, Afghan, Pakistan, Iran, Yaman, Suriah, Lebanon, Mesir, dan warga Mali, Somalia, Bahrain dan banyak negara lainnya.

Barat membentuk monster paling mengerikan, melemparkan miliaran dolar pada mereka, mempersenjatai, memberi pelatihan militer canggih, dan kemudian membiarkan mereka melakukan aksi teror di berbagai wilayah.

Negara-negara yang mengembang-biakkan terorisme, seperti Arab Saudi dan Qatar, adalah sekutu terdekat negara-negara Barat. Mereka tidak pernah diberi sanksi, kendati telah mengekspor militan bengis ke seluruh negara-negara Muslim.

Gerakan Islam yang berorientasi pada layanan sosial seperti Hizbullah, yang saat ini terlibat dalam pertempuran melawan militan ISIS, yang membentengi Lebanon selama invasi Israel, justru berada dalam “daftar teroris” yang disusun oleh Barat. Hal ini akhirnya menjelaskan banyak hal.

Dilihat dari Timur Tengah, tampak bahwa hingga hari ini, Barat, sama seperti Perang Salib di masa silam, bertujuan untuk menghancurkan negara-negara Muslim dan budaya Muslim tanpa kecuali.
Imperium kapitalis hanya menerima Islam, yang penganutnya tunduk atas kapitalisme global yang didominasi Barat. Satu-satunya Islam yang mereka toleransi adalah kelompok yang mereka ciptakan sendiri, atau sekutu-sekutunya di Teluk – yang memang sengaja ditunjuk untuk mengabaikan kesejahteraan sosial, termasuk dengan ‘melahap’ rakyatnya sendiri.

*Andre adalah penulis buku “Indonesia, Archipelago of Fear”. Tulisan ini diterjemahkan dari artikel di Counterpunch oleh Putu Heri (peneliti ICMES)