Oleh: Andre Vltchek
Seratus tahun yang lalu, tak pernah sekalipun terbayangkan bahwa hari ini, akan ada pria muslim yang memasuki kafe atau tempat umum, lalu melakukan bom bunuh diri yang menewaskan puluhan atau ratusan orang. Tak seorangpun membayangkan akan ada pembunuhan atas redaktur majalah satire Charlie Hebdo.
Ketika Anda membaca memoar Edward Said, atau berbicara dengan orang-orang tua dan wanita di Yerusalem Timur, maka jelas, bahwa sebagian besar masyarakat Palestina benar-benar sekuler dan moderat. Mereka lebih peduli tentang kehidupan, budaya, dan bahkan fashion, dibanding dogma-dogma agama.
Hal yang sama bisa dirasakan dalam masyarakat Muslim lainnya, termasuk orang-orang yang berasal dari Suriah, Irak, Iran, Mesir dan Indonesia. Foto-foto lama telah berbicara banyak. Itulah mengapa, sangat penting bagi kita untuk mempelajari sejarah lampau, lagi dan lagi, dengan hati-hati.
Pada hakikatnya, Islam bukan hanya sekedar agama; Islam juga merupakan budaya/ peradaban yang sangat besar, salah satu yang terbesar di dunia, yang telah memperkaya kita dengan penemuan-penemuan ilmiah, arsitektur yang memukau, ataupun kontribusinya dalam bidang kedokteran. Kaum Muslimin juga menulis syair-syair yang menakjubkan, dan menggubah musik yang indah. Tetapi di atas itu semua, mereka merupakan pelopor atas pengembangan beberapa struktur sosial yang penting, termasuk rumah sakit umum universitas pertama di dunia, seperti The University of al-Qarawiyyin di Fez, Maroko.
Ide ‘sosialis’ merupakan gagasan yang tumbuh secara alami bagi banyak politisi Muslim, dan seandainya saja Barat tidak ikut campur dengan begitu brutal untuk menggulingkan pemerintah yang berideologi kiri, dan menempatkan sekutu-sekutu fasisnya di puncak takhta, mungkin semua negara-negara Muslim, termasuk Mesir dan Indonesia, akan menjelma menjadi negara sosialis, di bawah kepemimpinan yang moderat dan sekuler.
***
Di masa lalu, para pemimpin Muslim yang tak terhitung jumlahnya berdiri melawan kontrol Barat, dan tokoh-tokoh besar seperti Presiden Indonesia, Soekarno, sangat dekat dengan ideologi Partai Komunis. Sukarno bahkan menjadi pelopor gerakan anti-imperialis global, gerakan Non-Blok, yang ditegaskan selama Konferensi Asia Afrika di Bandung, Indonesia, pada tahun 1955.
Hal ini sangat kontras dengan kebanyakan elit konservatif Kristen, yang sebagian besar merupakan penguasa fasis dan kolonialis, yang memonopoli perdagangan dalam lingkaran oligarki.
Bagi penganut imperium kapitalis, maka tentu saja, keberadaan dan popularitas progresif, Marxis, dan pemimpin Muslim yang menguasai Timur Tengah dan Indonesia adalah sesuatu hal yang tidak bisa diterima. Jika para pemimpin menggunakan kekayaan alam untuk meningkatkan kehidupan masyarakat, maka apa yang akan tersisa bagi para kapitalis?
Maka tentu saja, mereka berusaha untuk menghentikan dengan segala cara. Islam harus dipecah belah, dengan menyusupkan ideologi radikal. Atau dengan menyusupkan sosok ‘boneka’ yang tak peduli tentang kesejahteraan rakyat.
***
Hampir semua gerakan radikal dalam tubuh Islam hari ini di seluruh dunia, terikat dengan Wahhabisme, sebuah sekte reaksioner ultra-konservatif Islam, yang mengendalikan kehidupan politik Arab Saudi, Qatar dan sekutu setia Barat lainnya di negara-negara Teluk.
Mengutip pernyataan Dr Abdullah Mohammad Sindi:
“Hal ini sangat jelas dari catatan sejarah bahwa tanpa bantuan Inggris, maka Wahhabisme maupun House of Saud tidak akan pernah ada seperti sekarang. Wahhabisme adalah gerakan fundamentalis Islam yang digagas oleh Inggris. Dan dengan ‘pengamanan’ dari House of Saud, AS juga mendukung Wahhabisme secara langsung dan tidak langsung pasca serangan teroris 11 September 2001. Wahhabisme identik dengan kekerasan, sayap kanan, ultra-konservatif, kaku, ekstremis, reaksioner, dan tidak toleran … ”
Barat memberikan dukungan penuh kepada Wahhabi pada 1980-an. Mereka bekerja, dibiayai dan dipersenjatai, untuk mereduksi peran Uni Soviet di Afghanistan, dan berujung menjadi perang pahit yang berlangsung dari tahun 1979 sampai 1989. Hasil dari perang ini: Uni Soviet runtuh, menderita kekalahan baik secara ekonomi maupun psikologis.
Kelompok radikal Islam atau yang kerap disebut mujahidin, telah memerangi Soviet serta pemerintah berhaluan kiri di Kabul. Mereka, yang datang dari seluruh penjuru dunia merasa bahwa mereka tengah melakukan ‘jihad suci’—memerangi kafir dan komunis, namun di saat yang sama, mereka mendapatkan dukungan penuh dari Barat dan sekutunya.
Menurut Departemen AS:
“Kontingen yang disebut Arab-Afganistan, juga pejuang dari negara lainnya yang turut bergabung, hendak berjihad melawan komunis ateis. Seorang pemuda Arab yang dikenal bernama Osama bin Laden, kelak, menjadi pemimpin bagi kelompok al-Qaeda.”
Kelompok Muslim radikal dibentuk dan disuntikkan ke berbagai negara Muslim oleh Barat, tak terkecuali al-Qaeda. Dan belakangan, muncul juga kelompok teroris Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Mereka dididik oleh NATO dan Barat di wilayah Turki dan Yordania, yang pada awalnya bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad.
Gerakan radikal seperti diatas digunakan untuk mencapai beberapa tujuan. Barat memanfaatkan mereka untuk melawan musuh-musuhnya, yaitu negara-negara yang masih menjadi penghalang atas hegemoninya atas dunia. Namun pada saat tertentu, pasukan ekstremis ini benar-benar di luar kendali (dan ini adalah suatu keniscayaan). Jika sudah terjadi demikian, maka keberadaan kelompok radikal ini akan menjadi pembenaran untuk melancarkan ‘perang melawan teror’. Misalnya, saat ISIS mengambil alih kota Mosul, maka hal ini dijadikan sebagai alasan bagi Barat untuk kembali menurunkan pasukannya di Irak.
Cerita tentang kelompok-kelompok Muslim radikal terus menerus diekspos di halaman depan surat kabar, majalah, ataupun di layar televisi untuk mengingatkan kepada masyarakat bahwa mereka benar-benar berbahaya bagi dunia. Karena itu, maka keterlibatan Barat untuk turut memerangi mereka sebuah keharusan. Skenario selanjutnya adalah, masyarakat akan dicekoki dengan serangkaian propaganda, seperti; langkah-langkah keamanan yang harus ditempuh, anggaran yang harus dipersiapkan, ataupun negara-negara ‘nakal’ yang harus mereka perangi.
***
Islam, sebuah peradaban damai dan kreatif yang sering dijadikan sebagai landasan menuju sosialisme itu telah jauh berubah. Negara-negara mayoritas Muslim kini justru tengah tertipu, dikalahkan, dan disusupi oleh ideologi asing – lalu Barat memprogandakan hal ini sebagai sebuah ancaman yang luar biasa, yang disimbolkan dengan terorisme dan intoleransi. Situasi yang benar-benar aneh, mengarah pada sebuah kehancuran dan menelan banyak korban jiwa.
Indonesia merupakan salah satu contoh sejarah yang paling mencolok dari sebuah penghancuran sistematis nilai-nilai Islam progresif.
Pada tahun 1950 hingga awal 1960-an, AS, Australia, dan Barat pada umumnya, semakin hari semakin mengkhawatirkan jargon-jargon anti-imperialis dan internasionalis yang didengungkan oleh Presiden Soekarno. Mereka juga khawatir akan semakin membesarnya popularitas Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun mereka jauh lebih cemas lagi terhadap ideologi sosialis dan Islam moderat, yang jelas memiliki kesamaan dengan cita-cita komunis.
Maka, seorang ideolog dan pemikir Kristen anti-komunis terkenal, Jesuit Joop Beek, menyusup ke Indonesia. Mereka mendirikan organisasi klandestin, yang berkembang menjadi pasukan paramiliter, membantu Barat untuk merencanakan kudeta, dan setelah tahun 1965, sekitar 1-3 juta nyawa telah terengut di Indonesia.
Jargon anti-komunis merupakan propaganda yang sangat efektif. Hal ini disebarkan oleh Joop Beek dan para pengikutnya untuk mencuci otak organisasi Islam Indonesia, yang lantas, mendorong mereka untuk turut memberangus kaum kiri, segera setelah terjadinya kudeta. Sedikit sekali yang tahu bahwa Islam, disamping komunisme, merupakan target yang dibidik oleh Barat dan pro-Barat di Indonesia.
Setelah kudeta 1965, diktator fasis yang disponsori Barat, Jenderal Soeharto, menggunakan Joop Beek sebagai penasihat utamanya. Dia juga mengandalkan Beek dalam ideologi pemerintahan. Secara ekonomi, rezim Soeharto terkait dengan para taipan, termasuk Liem Bian Kie. (bersambung ke bagian 2)