Terorisme Perancis: Fenomena Gunung Es

Atwan

Abdel Bari Atwan, Jurnalis senior media berbahasa Arab Rai Al Youm,

Oleh: Abdel Bari Atwan*

Serangan terorisme yang terjadi di Paris, pada Jumat, 13 November 2015 bukanlah episode terakhir, justru merupakan babak awal terjadinya terorisme yang lebih besar di masa depan. Hal ini juga merupakan petunjuk bahwa untuk memusnahkan terorisme diperlukan bukan hanya sekedar militer. Serangan ini juga menunjukkan bahwa pihak militer dan keamanan tidak bertidak maksimal untuk melawan terorisme.

Dan seharusnya, masyarakat memikirkan mengapa ada fenomena terorisme seperti sekarang ini?

Dalam kurun waktu kurang dari dua minggu, ISIS melakukan lebih dari empat kali serangan terorisme – seperti peledakan terhadap pesawat penumpang Rusia, menyerang 3 markas pelatihan militer dan keamanan di Baghdad, peledakan di Dahiyeh, peledakan di Beirut, lalu, serangan di Paris. Serangan berturut-turut dengan skala yang besar ini tidak pernah terjadi dalam satu dekade terakhir, dan tentu saja, serangan ini sangat merugikan, dan berdampak pada kondisi psikologis masyarakat.

Untuk memahami terorisme, mengapa terorisme itu dibentuk dan bagaimana kekuatan mereka bisa dibangun, kita perlu menganalisis enam poin ini:

Pertama, adanya pandangan yang merendahkan negara-negara Arab.

Kedua, adanya jutaan pengangguran usia muda yang kurang berpendidikan, yang hidup segan mati tak mau, dan tidak memiliki cita-cita di masa depan.

Ketiga, negara-negara Barat mendukung pemerintahan yang korup dan diktator di tanah Arab.

Keempat, adanya intervensi militer yang dimulai di Irak, lalu berlanjut di Libya, Suriah, dan Yaman.

Kelima, adanya klasifikasi ras dan sekterian yang akhirnya menjadi isu utama dalam perang sipil di kawasan.

Keenam, adanya propaganda pemikiran takfiri di media sosial yang dilakukan oleh ISIS. Tidak berlebihan rasanya jika disebutkan bahwa ISIS memiliki 50.000 akun Twitter berikut simpatisannya, yang merilis propaganda setidaknya 100.000 per hari.

Barat Menolak Disebut Mendukung Terorisme

Kebanyakan negara-negara Barat tidak mau mengakui bahwa alasan ini merupakan salah satu faktor terbentuk dan berkembangnya ISIS. Mereka memiliki peran dalam mempersiapkan ‘bahan baku’ teroris, yang kini menjadi fenomena berbahaya. Namun faktanya, apapun itu, terorisme merupakan salah satu dampak intervensi militer – bagian dari upaya menggambar ulang Timur Tengah yang disesuaikan dengan kepentingan Barat– dan upaya untuk menjadikan Israel sebagai pemain penting di kawasan.

Serangan berdarah di Paris, oleh militan yang menggunakan rompi bunuh diri – merupakan ciri khas dari kelompok ultra-kanan. Kelompok ini, memiliki kebijakan rasis yang ditentang oleh lebih dari 30 juta Muslim yang tinggal di Perancis, Jerman dan Italia.

Saat situasi kekerasan semakin memuncak, hal itu akan meluaskan konfrontasi, menimbulkan ketakutan yang mencekam, dan ketidak-stabilan kondisi keamanan akan menghantui dunia. Hal ini jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan serangan di Paris pada Jumat lalu.

Barat Seharusnya Tidak Semudah itu Mengambil Solusi Militer

Pemerintahan Barat diharapkan akan mencari upaya penyelesaian terhadap kasus ini selain melakukan tindakan militer. Tujuannya: untuk meng-counter fenomena terorisme yang kian terstruktur. Pada akhirnya, agaknya mereka akan fokus pada kebijakan di Timur Tengah melebihi urusan lainnya, karena, siapapun yang mampu meledakkan stasiun kereta api di Madrid dan London misalnya, akan membantu memuluskan invansi yang dilakukan oleh AS dan sekutunya di Irak, membunuh jutaan manusia sebagaimana alasan dibalik komitmen mereka terhadap terorisme.

ISIS merilis pernyataan, mengklaim bahwa mereka bertanggung jawab terhadap serangan di Paris, dan menurutnya, serangan itu merupakan reaksi atas dibombardirnya lokasi-lokasi mereka oleh koalisi anti-ISIS (Perancis merupakan salah satu anggota).

Dengan mempertimbangkan segala hal, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa solusi militer seharusnya tidak digunakan, karena pemerintah dari negara manapun pasti berkomitmen memberantas terorisme demi kepentingan rakyatnya. Mereka tidak akan membiarkan terorisme mengancam negaranya. Namun yang menjadi masalah adalah, bahwa untuk memberantas terorisme tidak cukup hanya dengan melakukan kebijakan yang dangkal atau ‘hangat-hangat tahi ayam’. Diperlukan pemikiran yang matang dan sikap yang profesional.

Paris-SuriahBashar al-Assad Mengkritik Perancis

Terkait terorisme yang terjadi di Paris, Presiden Suriah Bashar al-Assad berkata,”Apa yang diderita oleh Perancis dalam serangan Jumat tersebut, adalah sesuatu yang telah dirasakan oleh penduduk Suriah selama hampir lima tahun.”

Perancis merupakan salah satu negara yang turut berkontribusi membembiayai dan memberikan senjata bagi pemberontak Suriah yang dianggap ‘moderat’. Assad mengkritik standar ganda yang dipertontonkan pemerintah Perancis. Ketika terjadi serangan di Paris, pemerintah Perancis menyebut hal itu sebagai terorisme. Namun hal serupa juga telah terjadi di Suriah, dan pemerintah Perancis menyebut hal itu sebagai revolusi yang harus didukung.

Yang terjadi di Perancis itu merupakan bentuk terorisme yang tidak pandang bulu – tidak membedakan bangsa, agama maupun kepercayaan. Dimanapun hal ini bisa terulang kembali dalam skala yang lebih besar. Bahaya mengintai kita, dan seharusnya, kasus ini menjadi cemeti untuk kita mempelajari terorisme dari sudut pandang yang berbeda. Apa yang terjadi di Paris, ibarat puncak gunung es semata — yang terlihat baru permukaannya saja.

—-

*Abdel Bari Atwan adalah jurnalis senior, pemimpin redaksi media berbahasa Arab Rai al-Youm. Tulisan ini diterjemahkan dan disunting dari http://iranfrontpage.com/views/2015/11/the-rise-and-fall-of-isis-causes-and-circumstances/ oleh Putu Heri.