Ica Wulansari*
Arab Spring disebut-sebut sebagai angin pembawa demokrasi di Timur Tengah. Rezim-rezim yang telah terlalu lama berkuasa dan despotik digugat oleh rakyatnya sendiri, yang menghendaki demokrasi. Namun, setelah proses Arab Spring berlalu sekitar 4 tahun, Timur Tengah masih terus terjebak dalam konflik berdarah. Kasus yang paling ironis adalah Mesir, yang setelah berhasil mengadakan pemilu demokratis pertama setelah tiga puluh tahun dicengkeram diktatorisme, kini akhirnya kembali ke dalam cengkeraman rezim militer.
Marcus Mietzner (2014) menyebut lintasan demokratisasi yang dilalui Mesir hingga era Mursi, mirip dengan Indonesia. Kedua negara sama-sama merupakan negara besar berpopulasi mayoritas Muslim, memiliki tingkat pendapatan yang tak jauh beda, sama-sama pernah hidup dalam cengkeraman pemerintahan militeristik selama 30-an tahun, dan sama-sama mengalami reformasi yang didorong oleh gerakan rakyat sipil.
Namun bila kita melihat lebih dalam, muncul pertanyaan penting: sudahkah demokrasi membawa kebaikan bagi Indonesia? Sayangnya, kenyataan menunjukkan, perjalanan demokrasi bangsa ini, dengan presiden yang silih berganti secara demokratis sejak Reformasi 1998, belum mampu membuat Indonesia meraih kesejahteraan maksimal bagi rakyatnya. Kita masih terus menyaksikan hiruk-pikuk politik hingga perebutan kekuasaan antar elit politik yang seringkali hanya mengatasnamakan rakyat, meskipun seringkali tidak pro rakyat. Kebijakan pemerintah maupun ketetapan DPR belum mampu meraih kepercayaan publik dan belum dapat menyelesaikan persoalan bangsa, apalagi menjawab tantangan zaman.
Mengingat Indonesia adalah negara dengan mayoritas Muslim, sangat penting untuk melihat perspektif Islam dalam masalah ini. Secara teori, Islam memberikan alternatif positif dalam upaya membangun peradaban. Namun, pemahaman demokrasi tidak memberi ruang bagi agama sehingga penerapannya menjadi sekuler. Islam bahkan sering dicurigai sebagai ajaran yang jauh dari demokrasi. Argumen yang sering diajukan: Islam mendukung penerapan hukum yang anti-HAM, semisal kewajiban berhijab atau hukum ‘qishash’ (pembunuhan harus dihukum mat, kecuali bila ahli waris mengampuni), atau hukum potong tangan bagi pencuri dan koruptor.
Anggapan seperti ini muncul dari meluasnya persepsi negatif dalam wacana mengenai Islam dan demokrasi. Untuk mengatasinya, umat Muslim perlu membuat gebrakan secara ilmiah. Demokrasi ala Barat berkembang pesat karena dilengkapi dengan ribuan referensi ilmiah mengenai demokrasi yang tidak terbantahkan. Sementara, literatur mengenai pemerintahan berasaskan Islam masih belum banyak mampu menjawab argumen-argumen pengusung demokrasi sekuler. Inilah tantangan bagi cendekiawan Muslim untuk melakukan perdebatan besar. Hanya sekedar menyalahkan pihak Barat atau kaum liberal tidak akan membawa manfaat. Apabila Islam ingin menjadi bagian dominan dalam peradaban, maka perlu wacana dan debat besar mengenai demokrasi dan Islam secara ilmiah.
Demokrasi dan Islam
Demokrasi lahir untuk mendobrak kekuasaan raja-raja absolut dalam sejarah Eropa. Pendobrakan tersebut dengan menggunakan kontrak sosial yang berpegang pada prinsip-prinsip keadilan universal yang berlaku untuk semua manusia diantaranya raja, bangsawan maupun rakyat jelata. Kontrak sosial lahir dari pemikiran John Locke dan Montesquieu. John Locke menyatakan hak-hak politik mencakup hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak kepemilikan. Montesquieu mencoba menyusun suatu sistem yang dapat menjamin hak-hak politik yang dikenal Trias Politika (Budiardjo, 2008).
Trias Politika merupakan upaya pemisahan dan pembagian kekuasaan melalui lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif yaitu DPR, pemerintah dan lembaga peradilan dan kehakiman. Sangat logis perlu ada pemisahan dan pembagian kekuasaan karena secara alamiah manusia memiliki kecenderungan untuk berkuasa, maka perlu ada pembatasan kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Maka yang menjadi permasalahan berikutnya adalah apakah pembagian dan pemisahanan kekuasaan dapat menjamin tidak terjadinya benturan kepentingan?
Mengacu pada pemerintahan SBY dan Jokowi, permasalahan politis terbesar adalah tarik menarik kepentingan dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lembaga legislatif gaduh karena berisi beragam kepentingan dari beragam partai politik. Lembaga eksekutif pun terisi sebagian komponen dari partai politik. Selain itu, lembaga eksekutif membutuhkan ‘ketuk palu’ lembaga legislatif. Agar lembaga legislatif mau ketuk palu maka perlu membangun koalisi dan merangkai lobi politik. Bagaimana dengan lembaga yudikatif? Rentan pula dengan kepentingan apabila disusupi kepentingan politis. Seringkali keputusan bersifat hukum dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Penyalahgunaan kekuasaan dalam ketiga lembaga negara tersebut masih menjadi permasalahan yang besar.
Lembaga legislatif dan eksekutif memiliki power karena memiliki legitimasi setelah menang dalam pemilu dan dipilih oleh rakyat. Apa ada jaminan lembaga keterwakilan tersebut betul-betul menjadi lembaga perwakilan rakyat? Lantas apa rakyat yang disalahkan karena memilih orang-orang untuk duduk di lembaga legislatif dan eksekutif? Apabila ada adagium ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’, benarkah rakyat selalu benar? Benarkah suara terbanyak mencerminkan kebenaran? Bagaimana menentukan standar ‘benar’?
Inilah pangkal perdebatan demokrasi dan Islam. Politik dalam Islam dengan prinsip kedaulatan hanya pada Allah. Sementara, paham sekuler demokrasi bahwa kedaulatan absolut di tangan rakyat. Kemudian terpilih sekelompok orang menjadi lembaga legislatif dan membuat produk legislasi sehingga kekuasaan legislatif dikendalikan oleh sekelompok orang. Dalam demokrasi, produk hukum memerlukan konsultasi sehingga produk hukum dan pengesahan kebijakan menurut kuorum dalam lembaga legislatif. Sementara dalam Islam, hanya Allah-lah sang legislator dengan penerapan syariah (Sheikh, 2003). Maka produk hukum maupun kebijakan dalam Islam mengacu pada hukum Allah. Sehingga siapa pun menjadi pemimpin sebuah negara memiliki panduan Al Quran dan hadis. Apabila produk hukum melalui mekanisme lembaga legislatif hanya berdasarkan kesepakatan hasil suara terbanyak tidak menjamin menghasilkan keputusan yang adil karena rentan ditunggangi kepentingan politik kelompok tertentu.
Islam sebagai Ideologi Alternatif?
Perkembangan demokrasi di Mesir yang belum membawa hasil memuaskan. Pemerintahan Mursi yang didominasi kalangan Islamis tidak berhasil memenuhi ekspektasi rakyat, sehingga memunculkan gelombang demonstrasi besar-besaran menuntutnya mundur. Hal ini tak pelak memunculkan keraguan bahwa ideologi Islam kompatibel dengan demokrasi.
Namun, ketika demokrasi sekuler juga tidak terbukti membawa kebaikan dalam negara muslim seperti Indonesia, tentu perlu upaya menawarkan alternatif yaitu politik berdasarkan Islam. Membawa wacana ini pastilah membutuhkan usaha, waktu dan kesabaran mengingat Islam sebagai ideologi dibayangkan sebagai hal yang menyeramkan dan tidak populer saat ini. Dialog ilmiah penting dilakukan, terutama di lembaga pendidikan tinggi terlebih dahulu, yaitu dengan menggali permasalahan melalui metodologi yang tepat sehingga dapat melahirkan teori maupun pemikiran yang sesuai dengan nilai Islam. Sementara di tataran publik, cendekiawan Muslim dan organisasi Islam perlu tampil memberi solusi atas berbagai permasalahan bangsa dan negara sehingga Islam dirasakan mampu mengayomi seluruh anak bangsa, apapun agamanya.[]
*Peneliti ICMES, Pengajar Fikom Universitas Budi Luhur dan Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia