Proyeksi Tren Geopolitik Timur Tengah 2020

Demo anti tentara AS Irak

Demo di Washington menentang keterlibatan militer AS di Timteng (4 Januari 2020. Foto:EFE/EPA/SHAWN THEW)

Oleh: Chairul Fajar*

Tahun baru 2020 masih menghitung hari. Pada 3 Januari lalu, secara mengejutkan AS resmi mengumumkan telah melakukan ‘serangan militer terbatas’ yang menewaskan petinggi Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) Jenderal Qassem Soleimani di Irak. Tewasnya Jenderal Soleimani oleh AS di awal 2020 ini mengejutkan dunia internasional. Para sekutu strategis AS di NATO pun menganggap langkah Trump ini sangat ‘frontal’. Inggris dan Perancis menunjukan sikap kehati-hatiannya dalam menanggapi perkembangan situasi tersebut.

Tewasnya Jenderal Soleimani diyakini menjadi babak baru dari rangkaian eskalasi AS-Iran sejak krisis tanker di Hormuz, serangan Houthi ke infrastruktur minyak Saudi hingga demonstrasi besar-besaran di Irak pada kuartal akhir 2019. Hal ini tentu memunculkan pertanyaan baru mengenai kelanjutan peta perpolitikan di Timur Tengah.

Sepanjang 2019 kawasan ini dihadapkan berbagai konstelasi politik dan ketidakpastian keamanan nampaknya masih belum menunjukan tanda-tanda penyelesaian lebih lanjut. Beberapa dari konstelasi ini diproyeksikan akan mempengaruhi tren geopolitik Timur Tengah dalam 2020 ke depan.

Pertama adalah tren kemunculan poros kekuatan independen baru dalam beberapa waktu belakangan. Perpecahan negara-negara Arab Teluk yang sebelumnya ‘solid’ di bawah pimpinan Saudi perlahan memudar. Setelah sebelumnya Qatar dikucilkan Saudi secara diplomatik, kini Saudi harus menghadapi manuver UAE yang berupaya menjalankan agenda terpisah dari Saudi di Yaman.

Secara tidak langsung perpecahan keduanya dinilai akan semakin memperumit pencapaian resolusi konflik di Yaman mengingat pengaruh Saudi-UAE sangat diperlukan dalam menjamin kelancaran jalannya proses perundingan politik pihak-pihak yang terlibat. Konsekuensi tersebut menyebabkan konflik Yaman akan terus berjalan dalam situasi stalemate tanpa hasil yang menentukan, baik secara politik maupun militer.

Bagi Iran, keretakan koalisi negara-negara Arab Teluk ini menjadi momentum tepat merangkul negara-negara yang sebelumnya menjadi sekutu strategis Saudi di kawasan sebagai mitra strategis. Ketidakkompakan tersebut akan semakin mendorong Saudi bergantung dengan AS dalam upaya memenangkan kontestasi pengaruh di kawasan.

Insiden tewasnya petinggi IRGC Jenderal Soleimani yang telah disinggung sebelumnya berpeluang menciptakan babakan baru kontestasi Saudi-Iran. Hal ini akan memperuncing sentimen konflik tidak langsung lewat berbagai instrumen tersedia, mulai milisi proksi di kawasan hingga manuver diplomatik dimana Iran sangat berpotensi mengundurkan diri dari komitmen kesepakatan nuklir yang ada.

Kedua, tewasnya pemimpin ISIS di Suriah menjadi simbol secara de facto menjadi simbol hancurnya ISIS. Namun kekalahan tersebut bukan menjadi akhir sebab ISIS masih memiliki sel-sel tidur aktif yang siap kembali bangkit di masa mendatang baik di Timur Tengah juga kawasan lainnya. Peluang kembalinya ISIS tidak dapat dikesampingkan begitu saja sehingga kewaspadaan dan upaya stabilisasi tatanan politik menjadi prioritas bagi sejumlah aktor di kawasan dan global, termasuk Rusia.

Ketiga, di Suriah konflik masih akan berlanjut meski dalam intensitas rendah. Berbagai upaya mekanisme penyelesaian yang telah dilakukan dalam format Astana antara Rusia-Iran-Turki tidak menunjukkan kemajuan positif apapun dalam implementasinya. Kegagalan Turki memisahkan milisi ‘moderat’ dengan milisi radikal yang menjadi poin penting format Astana dinilai menghambat penyelesaian fase akhir konflik Suriah di Idlib.

Keempat, saat ini di Libya tengah berlangsung kontestasi kekuasaan antar-entitas politiknya. Situasi terakhir konsolidasi Tentara Nasional Libya (LNA) atas sebagian besar wilayah Libya dari pemerintah GNA telah membuka peluang bagi penyatuan Libya di bawah pemerintahan tunggal dan solid. Namun demikian, belum ada inisiatif maupun formulasi format kesepakatan politik baru dalam menyelesaikan konflik tersebut.

Kebuntuan ini tetap akan berlanjut yang bahkan dikhawatirkan akan semakin rumit mengingat LNA dan GNA disponsori berbagai kekuatan yang berpotensi menjadikan konflik Libya ini sebagai arena pertarungan kekuatan kawasan dan global selanjutnya setelah Suriah.

Dengan demikian dari empat fenomena di atas, terdapat benang merah krusial yang terlihat yakni menguatnya tren unilateralisme yang diikuti memburuknya hubungan dan mekanisme penyelesaian secara diplomatik antar aktor di Timur Tengah. Masyarakat internasional memerlukan upaya ekstra dalam menemukan suatu terobosan formulasi tepat guna mencegah peningkatan eskalasi.

Bagi Indonesia, pergeseran tren tersebut patut diwaspadai sekaligus menjadi ‘jendela peluang’ untuk meningkatkan kiprahnya di kancah perpolitikan global dengan terus mengkampanyekan semangat multilateralisme guna menjaga dunia tetap berlandaskan rules and order.

 

*Penulis adalah sarjana Hubungan Internasional. Profil Linkedin: https://linkedin.com/in/chairulfajar