Basel Adra, seorang warga Palestina, menulis di akun Twitternya pada tanggal 5 Mei 2022:
Pengadilan rezim pendudukan baru saja memutuskan: komunitas saya akan dihancurkan. Saya tinggal di Massafer Yatta, Palestina. Proses pengadilan selama 23 tahun yang tidak adil berakhir hari ini dengan vonis pengusiran massal. Tentara Israel sekarang dapat menempatkan kami di truk, 2.400 orang, dan mengusir kami dari desa kuno kami, satu persatu.
Sejak hari itu, penghancuran demi penghancuran terus dilakukan Israel di Masafer Yatta. Pada tanggal 25 Juli 2022, inilah yang terjadi:
Apa yang sebenarnya terjadi di Masafer Yatta?
Berikut ini tulisan dari Ramzy Baroud yang membahas hal ini.
PEMBERSIHAN ETNIS MASAFER YATTA: STRATEGI ANEKSASI BARU ISRAEL DI PALESTINA
Mahkamah Tinggi Israel telah memutuskan bahwa wilayah Palestina Masafer Yatta, yang terletak di bagian selatan perbukitan Hebron, akan sepenuhnya diperuntukkan bagi militer Israel dan selanjutnya lebih dari 1.000 penduduk Palestina yang tinggal di wilayah itu akan diusir.
Keputusan Pengadilan Israel, tanggal 4 Mei 2022 tersebut, tidak terlalu mengejutkan. Pendudukan militer Israel bukan hanya terdiri dari tentara dan senjata, namun gabungan dari struktur politik, militer, ekonomi dan sistem hukum yang rumit. Semua itu didedikasikan untuk perluasan pemukiman Yahudi ilegal dan pengusiran orang-orang Palestina secara berangsur-angsur, maupun secara cepat.
Itulah sebabnya, orang Palestina mengatakan bahwa Nakba, atau Bencana – dimana terjadi pembersihan etnis Palestina pada tahun 1948 dan pendirian negara Israel di atas bekas reruntuhannya – adalah sebuah proyek yang berkelanjutan dan belum selesai. Demikianlahyang terjadi, pembersihan etnis masih terus berlanjut hingga kini. Pembersihan etnis warga Palestina dari Yerusalem Timur, siksaan tak berkesudahan terhadap orang-orang Badui Palestina di Naqab dan, sekarang di Masafer Yatta, semua merupakan bukti dari kenyataan itu.
Namun, Masafer Yatta sangat unik. Dalam kasus Yerusalem Timur yang diduduki, misalnya, Israel telah membuat klaim yang keliru dan ahistoris bahwa Yerusalem adalah ibu kota abadi dan tak terbagi, untuk orang-orang Yahudi. Ini menggabungkan narasi yang tidak berdasar dengan aksi militer di lapangan, diikuti oleh proses sistematis yang bertujuan untuk meningkatkan populasi Yahudi dan mengusir penduduk asli kota itu. Gagasan seperti ‘Yerusalem Raya’ dengan struktur hukum dan politik, seperti Gagasan Utama Yerusalem 2000, semuanya telah berkontribusi untuk mengubah mayoritas Palestina mutlak di Yerusalem menjadi minoritas yang menyusut. Pada kasus pembersihan etnis di Naqab, tujuan serupa Israel telah dimulai sejak tahun 1948, dan sekali lagi pada tahun 1951. Proses pembersihan etnis penduduk asli tersebut terus berlangsung hingga hari ini.
Meskipun Masafer Yatta adalah bagian dari desain kolonial yang sama, keunikannya berasal dari fakta bahwa ia terletak di Area C Tepi Barat yang diduduki. [Area C adalah area di bawah administratif Israel, meliputi 60% wilayah Tepi Barat]. Pada Juli 2020, Israel tampaknya memutuskan untuk menunda rencana perampasan hampir 40% Tepi Barat, mungkin karena takut akan pemberontakan Palestina dan menghindari kecaman dunia internasional. Namun, gagasan itu dalam praktiknya terus berlanjut.
Terlebih lagi, pencaplokan wilayah Tepi Barat secara keseluruhan akan membawa konsekuensi bahwa Israel harus bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh komunitas Palestina di wilayah tersebut. Sebagai entitas pemukim-kolonial (settler colonial), Israel hanya menginginkan tanah Palestina, bukan warganya. Dalam perhitungan Tel Aviv, pencaplokan tanpa pengusiran penduduk dapat menyebabkan mimpi buruk demografis; dengan demikian, Israel perlu merumuskan kembali rencana pencaplokannya.
Meskipun Israel diduga menunda aneksasi secara de jure, namun kenyataannya aneksasi dalam bentuk de facto terus berlanjut, sehingga hanya sedikit memunculkan perhatian media internasional. Keputusan Pengadilan Israel mengenai Masafer Yatta, yang sudah dimulai dengan pengusiran keluarga Najjar pada 11 Mei, merupakan langkah penting menuju aneksasi Area C. Jika Israel dapat menggusur penduduk dua belas desa, dengan populasi lebih dari 1.000 warga Palestina, tanpa halangan, diprediksi akan lebih banyak pengusiran seperti itu, tidak hanya di selatan Hebron, tetapi di seluruh wilayah Palestina yang diduduki.
Penduduk desa Palestina Masafer Yatta dan perwakilan hukum mereka tahu betul bahwa tidak ada ‘keadilan’ nyata yang dapat diperoleh dari sistem pengadilan Israel. Namun, mereka terus memperjuangkan ‘perang hukum’, dengan harapan bahwa kombinasi faktor-faktor, termasuk solidaritas di Palestina dan tekanan dari luar, pada akhirnya dapat menekan Israel untuk menunda penghancuran yang direncanakan dan Yudaisasi di seluruh wilayah.
Namun tampaknya, upaya Palestina yang telah berlangsung sejak 1997 itu gagal. Keputusan Mahkamah Tinggi Israel didasarkan pada gagasan yang salah dan benar-benar aneh. Hanya karena orang-orang Palestina di daerah itu tidak dapat menunjukkan bukti bahwa mereka telah menempati wilayah tersebut sebelum tahun 1980 ketika pemerintah Israel memutuskan untuk mengubahnya menjadi ‘Zona Tembak 918’, maka mereka tidak berhak ada di situ.
Sayangnya, pembelaan Palestina sebagian didasarkan pada dokumen dari era Yordania dan catatan resmi PBB yang melaporkan serangan Israel di beberapa desa Masafer Yatta pada tahun 1966. Pemerintah Yordania, yang mengelola Tepi Barat hingga tahun 1967, memberi kompensasi kepada beberapa penduduk untuk hilangnya rumah batu mereka – bukan tenda – hewan dan harta benda lainnya yang dihancurkan oleh militer Israel.
Orang-orang Palestina mencoba menggunakan bukti ini untuk menunjukkan bahwa mereka telah ada, bukan sebagai orang nomaden tetapi sebagai komunitas yang berakar. Ini tidak cukup meyakinkan bagi pengadilan Israel, yang mendukung argumen militer atas hak-hak penduduk asli. Tentu saja, sekali lagi, pengadilan penjajah tentu saja akan memenangkan kepentingan mereka, bukan kepentingan pihak terjajah.
Zona tembak Israel meliputi 18% dari total luas wilayah Tepi Barat. Ini adalah salah satu taktik yang digunakan oleh pemerintah Israel untuk mengajukan klaim hukum atas tanah Palestina dan, akhirnya, beberapa tahun kemudian, juga mengklaim kepemilikan yang sah. Banyak dari zona tembak ini ada di Area C, dan digunakan sebagai salah satu metode Israel yang bertujuan untuk secara resmi mengambil alih tanah Palestina dengan dukungan pengadilan Israel.
Sekarang militer Israel telah berhasil memperoleh Masafer Yatta – sebuah wilayah yang membentang 32 hingga 56 km persegi – berdasarkan alasan yang sangat lemah, sehingga akan menjadi lebih mudah untuk memastikan pembersihan etnis dari banyak komunitas serupa di berbagai wilayah Palestina yang diduduki.
Sementara diskusi dan liputan media tentang skema aneksasi Israel di Tepi Barat dan Lembah Yordan sebagian besar telah mereda, Israel sekarang sedang mempersiapkan skema pencaplokan bertahap. Alih-alih mencaplok 40% Tepi Barat sekaligus, Israel kini mencaplok lahan dan wilayah yang lebih kecil, seperti Masafer Yatta, secara terpisah.
Tel Aviv pada akhirnya akan menghubungkan semua wilayah yang dirampas ini melalui jalan bypass khusus Yahudi ke infrastruktur permukiman Yahudi yang lebih besar di Tepi Barat. Strategi alternatif ini tidak hanya memungkinkan Israel untuk menghindari kritik internasional, tetapi juga akan memungkinkan Israel untuk akhirnya merampas tanah Palestina sambil secara bertahap mengusir warga Palestina, agar ketidakseimbangan demografis tidak terjadi [agar jumlah penduduk Palestina tidak semakin banyak dibanding jumlah kaum Yahudi].
Apa yang terjadi di Masafer Yatta bukan hanya skema pembersihan etnis terbesar yang dilakukan oleh Israel sejak tahun 1967, tetapi langkah tersebut harus dianggap sebagai langkah awal bagi skema yang jauh lebih besar yaitu perampasan tanah ilegal, pembersihan etnis dan pencaplokan massal resmi. Israel tidak boleh berhasil di Masafer Yatta, karena jika berhasil, pada dasarnya, skema pencaplokan massal, akan menjadi kenyataan dalam waktu singkat. []
Sumber. Diterjemahkan oleh Nita H.