![Foto kemenangan Perang 6 Hari para jenderal Israel bersama Presiden Israel, Zalman Shazar (foto: koleksi Miko Peled)](https://ic-mes.org/wp-content/uploads/2020/07/Jenderal-IDF-Perang-6-Hari-2.jpg)
Foto kemenangan Perang 6 Hari para jenderal Israel bersama Presiden Israel, Zalman Shazar (foto: koleksi Miko Peled)
Oleh: Miko Peled
Miko Peled, putra dari seorang Jenderal Israel, mengungkapkan niat jahat di balik peristiwa yang dicitrakan oleh Israel kepada dunia sebagai “kemenangan heroik atas perjuangan Israel di hadapan tetangga-tetangga Arab-nya yang ganasâ€. Peristiwa Perang 6 Hari (5-10 Juli 1967) juga sering digunakan sebagai dalih untuk membela Israel: karena Israel terancam serangan dari negara-negara Arab, wajar saja bila Israel membuat dan menyimpan ratusan hulu ledak nuklir; wajar saja bila AS memberikan dana hibah miliaran dollar pertahun demi keamanan Israel, dst..
**
Tanggal 2 Juni 1967 adalah hari genting di Markas Tentara Israel di Tel Aviv. Selama beberapa minggu, para Jenderal IDF (Israel Defense Force – Pasukan Pertahanan Israel) mendorong pemerintah untuk menginisiasi perang. Suasana saat itu menegangkan. Perdana Menteri Israel Levi Eshkol, juga bertindak sebagai Menteri Pertahanan, datang menemui para Jenderal di pusat komando IDF. Semua jenderal petinggi IDF hadir. Pertemuan ini dikenang sebagai forum perseteruan dan beberapa tahun kemudian, beberapa pihak malah menuduh forum itu sebagai perencanaan kudeta oleh militer.
Sebuah KebohonganÂ
Salah satu kebohongan terbesar yang dilakukan oleh militer Israel adalah mengklaim bahwa Perang Enam Hari dimulai Israel karena adanya “ancaman eksistensialâ€. Kenyataannya, pada tahun 1967, tentara Israel menghadapi pemerintah sipil yang dipilih melalui pemilu, yang tidak begitu tertarik dengan perang dibandingkan dengan para jenderal. Ini jelas terlihat dalam pertemuan di antara para Jenderal IDF selama beberapa hari, di mana catatan percakapan menit ke menitnya bisa dibaca di arsip IDF. Dalam catatan itu terlihat bahwa pemerintah ragu-ragu, militer memutuskan untuk menyebar ketakutan, dan mereka melakukannya dengan efektif,  dengan menyebutkan bahwa negara Yahudi menghadapi ancaman eksistensial dan tentara harus bertindak dengan tegas.
Kebohongan itu berhasil dan tiga hari berikutnya, Eshkol dipaksa menyerah. Dia mengundurkan diri dari posisinya sebagai Menteri Pertahanan dan menyerahkannya kepada mantan Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Moshe Dayan. Para Jenderal IDF akhirnya mendapatkan peperangan yang sangat mereka inginkan. Mereka menginisiasi penyerangan mendadak secara besar-besaran melawan Mesir, membantai militer Mesir menjadi abu, dan mengambil alih seluruh Semenanjung Sinai. Hasilnya, IDF mampu menyita dalam jumlah besar persediaan perangkat keras militer buatan Rusia, di luar Uni Soviet.
Mereka juga menahan ribuan tentara Mesir yang ditempatkan di Semenanjung Sinai dan menangkapnya dalam keadaan tidak siap. Berdasarkan kesaksian aparat Israel, setidaknya dua ribu tahanan Mesir dieksekusi di sana dan dikuburkan di bukit pasir.
Namun para jenderal belum puas. Mereka menangkap kesempatan yang muncul dan menggunakannya semaksimal mungkin. Tanpa ada diskusi, apalagi persetujuan dari pemerintah sipil terpilih, tentara kemudian mengambil alih Jalur Gaza, Tepi Barat dan sesuatu yang telah tak sabar ingin mereka lakukan selama bertahun-tahun: merebut Dataran Tinggi Golan di Suriah yang subur kaya sumber air, yang membuat berlipat tiga ukuran negara Israel. Mereka akhirnya menyelesaikan penaklukan Palestina dan memperluas bagian batas timur hingga ke sungai Jordan.
Militer bergerak seperti buldozer, menghancurkan kota dan pemukiman di dataran Tinggi Golan dan Tepi Barat. Akibatnya, sangat banyak orang Suriah yang tinggal di Dataran Tinggi Golan, dan ratusan ribu penduduk Palestina di Tepi Barat dan Timur Yerusalem yang menjadi pengungsi.
Mitos Ancaman
Sebagaimana para jenderal sendiri menyatakankan dalam pertemuan mereka sebelum perang, seluruh urusan adalah tentang mengambil kesempatan untuk memulai perang dimana mereka yakin mereka akan menang, dan bukan tentang pencegahan ancaman eksistensial. Kenyataannya, kata “kesempatan” diucapkan beberapa kali dalam diskusi mereka, sedang kata “ancaman” sama sekali tidak disebutkan.
Salah seorang jenderal yang  hadir pada pertemuan 2 Juni 1967 itu adalah ayah saya, Jenderal Matti Peled. Menurut cerita dari beberapa teman dekatnya yang hadir di sana, cerita yang kemudian saya verifikasi dengan membaca laporan menit-menit pertemuan itu, ayah saya berdiri dan berkata kepada Perdana Menteri Eshkol bahwa tentara Mesir sedang dalam keadaan tidak bersiap oleh sebab itu Israel harus mengambil kesempatan menghancurkan. Dia menyebutkan bahwa tentara Mesir, saat itu baru pulih dari perang di Yaman, membutuhkan waktu paling tidak satu setengah sampai dua tahun untuk kemudian siap kembali berperang. Beberapa jenderal lain setuju. Ayah saya kemudian melanjutkan bahwa komando IDF “meminta alasan, mengapa pasukan yang tak pernah kalah dalam perang ini dilarang untuk mengambil tindakanâ€. Dia tidak mengucapkan satu kata pun tentang ancaman.
Lebih banyak kisah tentang rapat para jenderal itu saya tuangkan dalam buku saya, “The General’s Son,” namun yang jelas, sangat nyata bahwa Israel-lah yang menginisiasi peperangan, bukan karena melindungi keamanan Israel dari ancaman, melainkan karena ingin menunjukkan kekuatannya dan menggunakannya untuk memperluas wilayah. Bagi tiap orang yang memperhatikan hasil perang terbukti bahwa tak mungkin ada ancaman militer untuk Israel. Sayangnya, orang lebih tersentuh pada kisah “Daud melawan pembantaian Goliath†dan membiarkan diri mereka dikelabui.
Intervensi Ilahi
Ada kisah yang saya dengar dari Rabi Moishe Beck,  seorang Rabi (pendeta Yahudi) ultra-ortodoks yang disegani. Dia mulanya tinggal di Yerusalem kemudian pindah ke New York. Saya bertanya mengapa dia memutuskan untuk pergi setelah Perang Enam Hari. Ia mengatakan bahwa kediamannya berlokasi di gudang bom wilayah Me’a Sha’rim Yerusalem dan suara ledakan terdengar tak jauh dari sana. Saat itu orang-orang mendengar pesawat-pesawat Angkatan Udara Israel terbang melintas dan mulai menyebut bahwa kesuksesan Israel adalah “tanda adanya campur tangan Ilahiâ€. Dia merasa terganggu bahwa orang akan melihat kekuatan militer negara Zionis, sebagai tanda campur tangan ilahi. Maka sesegera mungkin, dia membawa keluarganya meninggalkan Yerusalem. Dia tak ingin anak-anaknya tumbuh dalam suasana mengidolakan militer Israel.
Beberapa tahun setelah itu, saat bertemu dengan beberapa kawan ultra-ortodoks di New York, saya ditanya apakah benar kemenangan tahun 1976 sulit diprediksi sehingga orang yang sekuler pun melihatnya sebagai “campur tangan Ilahiâ€. Jawab saya, tak ada “Tuhan†dalam serangan mendadak Israel dan perampasan tanah Arab. Tidak di tahun 1967, tidak juga pada waktu-waktu yang lain. Tentara Israel sangat cukup persiapan, cukup senjata, cukup latihan dan para jenderal tahu bahwa kemenangan akan mereka raih.
(Sudah) Tertulis di Dinding
Israel, pada kenyataannya, telah berkeinginan menduduki Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan beberapa tahun sebelum 1967 dan perang memberikan kesempatan sempurna untuk meraih impian itu. Dalam memoar Perdana Menteri kedua Israel, Moshe Sharet, dia menggambarkan pertemuan yang terjadi di Yerusalem tahun 1953 dimana para petinggi seluruh dunia hadir. Perdana Menteri pertama Israel, David Ben Gurion juga hadir.
Salah satu presentasi yang disampaikan dalam pertemuan tersebut adalah dari ayah saya, saat itu sebagai seorang perwira muda IDF. Dia berbicara dalam bahasa Ingris fasih, di antaranya menyatakan bahwa dalam masa tertentu IDF bersiap untuk momen dimana perintah akan diberikan untuk “mendorong batas bagian timur Israel ke tempat asalnya, sungai Jordan.” Dengan kata lain, mengambil wilayah Tepi Barat dan melengkapi penaklukan Palestina yang bersejarah.
![Jenderal IDF di lapangan sekitar tahun Para Jenderal dalam perang 1967. Rabin-kiri, Bar-Lev, tengah, Peled, kanan (foto: koleksi Miko Peled)](https://ic-mes.org/wp-content/uploads/2020/07/Jenderal-IDF-Perang-6-Hari.jpg)
Jenderal IDF di lapangan sekitar tahun Para Jenderal dalam perang 1967. Rabin-kiri, Bar-Lev, tengah, Peled, kanan (foto: koleksi Miko Peled)
Hari ini kita tahu bahwa Israel mempunyai rencana untuk menempati dan memaksa pengaruh militernya di Tepi Barat sejak awal 1964. Juga diketahui bahwa Israel memulai pertikaian dengan tentara Suriah sepanjang awal tahun 1960 dengan harapan Suriah akan  memulai peperangan.
Serangan Israel Terhadap Kapal AS, LibertyÂ
Perang 6 Hari berlangsung pada tanggal 5-10 Juli 1967. Di pagi hari tinggal 8 Juni 1967, di tengah-tengah peperangan , Kapal Laut AS Liberty bercokol di sekitar 17 mil dari pantai Gaza, di wilayah laut internasional. Menjadi kapal pertemuan intelijen, kapal ini tak memiliki kemampuan perang dan dilengkapi hanya dengan senjata mesin kaliber empat-limapuluh untuk menghindari penumpang yang tak diinginkan. Selama beberapa jam sepanjang hari itu, pesawat pengintai Angkatan Udara Israel terbang di atas Liberty mencoba mengidentifikasinya. Awak kapal tidak merasa terancam, justru sebaliknya, Israel adalah sekutu AS.
Lalu, pada pukul 14.00, (jam 2 siang waktu setempat) dan tanpa ada pemberitahuan, pesawat jet tempur Israel menyerang kapal AS itu. Serangan itu menggunakan roket, tembakan meriam, dan napalm. Â Serangan berakhir dengan 34 pelaut tewas dan 174 terluka, kebanyakan luka serius. Saat yang terluka dievakuasi, komandan dan kantor intelijen Angkatan Laut menginstruksikan bagi siapapun untuk tidak berbicara pada media tentang penyerangan mereka.
Dalam tiga minggu pasca penyerangan, Angkatan Laut menyerahkan laporan 700 halaman yang tidak menyalahkan Israel, dan menyebutkan bahwa serangan ini adalah tidak sengaja dan Israel telah menarik diri sesegera mungkin setelah menyadari kesalahannya. Menteri Pertahanan Roberts McNamara menyarankan segala kejadian harus dilupakan. “Kesalahan (biasa) terjadi,” McNamara menyimpulkan. Keinginan AS untuk melihat senjata Soviet dimana Israel milikinya menjadi sesuatu yang dilakukan dengan mudah dan dimana Pentagon membersihkan permasalahan secara diam-diam.
Peristiwa ini menunjukkan betapa kuatnya lobby Israel di AS, bahkan kapal AS pun bisa dihajarnya tanpa AS mampu menyalahkan. Lalu Perang 6 Hari berakhir seperti yang direncanakan para Jenderal. IDF meluluhlantahkan pasukan negara Arab disekitarnya. Kematian total mencapai 18.000 serdadu Arab dan 700 serdadu Israel.
Jelaslah pencitraan “Daud melawan Goliath†atau “si kecil Israel dizalimi oleh negara-negara Arab tetangganya†adalah omong kosong belaka [–red].
Perlu dicatat pula: nama Perang Enam Hari bukan tidak disengaja. Israel mengambil nama itu dari Kitab Suci Yahudi, tepatnya dari buku berdoa, dimana seseorang dapat melihat referensi demi referensi tentang penciptaan Tuhan atau enam hari penciptaan.
Penerjemah: Nita H.