Mengapa Ayatollah Khamenei Menghambat Negosiasi Iran-AS?

trump-rouhaniOleh: Dr. Kayhan Barzegar

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei telah mendefinisikan status hubungan AS-Iran saat ini sebagai “tidak perang, tidak negosiasi.” Posisi ini, di samping menunjukkan perlawanan Iran terhadap apa yang disebut Presiden Trump dan sekutu regionalnya dengan kebijakan “tekanan maksimum”, juga bertujuan menyatukan pendekatan kebijakan luar negeri Iran, serta meyakinkan faksi-faksi politik negara itu bahwa adalah sia-sia untuk bernegosiasi dengan AS dalam kondisi ketidaksetaraan politik seperti saat ini.

Selama setahun terakhir, masalah kemungkinan negosiasi dengan AS telah banyak diperdebatkan oleh para politisi Iran. Pendukung negosiasi menggambarkan hubungan Iran-AS sebagai “dilema perang atau negosiasi” yang berarti bahwa Iran harus bernegosiasi dengan pemerintahan Trump mengenai masalah-masalah penting di kawasan – sebagai imbalan atas pengurangan tekanan ekonomi AS – jangan sampai ketegangan antara kedua negara akhirnya mengarah ke perang, yang akan merugikan keamanan nasional Iran dan kepentingannya.

Argumen utama yang dibuat oleh penentang pandangan ini adalah bahwa terjadinya peperangan antara Iran dan AS merupakan asumsi yang keliru. Donald Trump, menurut argumen mereka, tidak mungkin bertindak menentang  janji kampaye presidennya untuk mengurangi jejak militer di luar negeri. Trump, menurut pandangan ini, mengerti potensi biaya yang menjadi resiko dan peperangan dengan Iran yang sulit untuk diprediksi, serta menyadari hal ini bisa saja merugikan peluangnya untuk dapat terpilih kembali.

Dalam kerangka itu, mengikuti sikap Pemimpin Tertinggi “tidak perang, tidak negosiasi”  akan mencapai beberapa tujuan. Pertama, menyatukan pendekatan kebijakan luar negeri Iran hingga dapat mengubah politik dalam negeri Iran untuk menolak Trump dan negara-negara Eropa yang percaya, setidaknya pada awalnya, mereka akan mendapat keuntungan dari kebijakan “tekanan maksimum” Trump; dimana Eropa berharap memperoleh konsesi lebih banyak dari Iran dalam berbagai masalah regional dan pembatasan program peluru kendalinya.

Kedua, kebijakan “tidak perang, tidak negosiasi” menunjukan bahwa Iran telah siap untuk menghadapi kemungkinan konflik dengan AS dalam berbagai kondisi. Iran percaya bahwa ia memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri melawan AS, baik melalui cara simetris ataupun asimetris, dengan cara militer konvensionalnya ataupun melalui kekuatan sahabat-sahabatnya di Timur Tengah yang bisa saja, bila diperlukan, membahayakan kepentingan AS.

Ketiga dan terpenting, pendekatan ini meminimalisir polarisasi politik di dalam negeri Iran saat menghadapi sanksi AS. Dengan menghubungkan masalah sanksi ekonomi AS dengan beberapa masalah yang jaug lebih penting terkait keamanan nasional dan ancaman yang lebih luas, yaitu ketidakstabilan dan bahkan kemungkinan hancurnya negara, Pemimpin Tertinggi mampu menghubungkan logika “perlawanan maksimum” dalam politik Iran. Ini menjadi lebih mudah, dari sudut pandang warga Iran, dengan memosisikan gelombang baru permusuhan antara AS-Iran sebagai akibat dari sikap pemerintah Trump serta penarikan dirinya dari perjanjian nuklir 2015 JCPOA [Joint Comprehensive Plan of Action] demi menentang kepentingan Iran.

Kohesi (kekompakan) dalam kebijakan politik luar negeri Iran mengirimkan dua pesan kepada para peserta kesepakatan JCPOA (China, Prancis, Jerman, Rusia dan  Inggris).  Yang pertama, Iran tidak akan mengubah keputusan strategisnya untuk menolak permintaan berlebihan Trump dan Iran memiliki kemampuan yang diperlukan untuk menghadapi AS. Di saat yang sama, Iran telah secara bertahap mengurangi komitmennya pada JCPOA, antara lain memulai kembali kegiatan penelitian dan pengembangan nuklir penuh, yang sebelumnya dibatasi oleh JCPOA. Tindakan ini berarti mengirim pesan kepada negara-negara Eropa yang belum memenuhi komitmen JCPOA mereka. Pada akhirnya, Eropa adalah pihak yang akan paling dirugikan dari kemungkinan kehancuran akibat perjanjian nuklir. Kedua, Iran telah menjelaskan tidak ada kompromi pada kebijakan regional atau kegiatan nuklir, dimana ada logika tersendiri dalam mengantisipasi dan menangkis dalam konteks ancaman terhadap keamanan nasional.

Dengan kata lain, “keamanan” dan “ekonomi” adalah dua prioritas yang saling berhubungan dalam arah kebijakan luar negeri Iran, dalam upaya untuk menguatkan “negara” Iran dan legitimasinya. Bertentangan dengan beberapa pandangan Barat, tiga hal yang disebutkan diatas sangat konsisten dengan sudut pandang pemerintahan Rouhani yang moderat, yang putus asa dan kecewa dengan pendekatan Barat saat ini, terutama karena Barat tidak memastikan bahwa warga Iran menerima kentungan ekonomi nyata dari JCPOA. Saat ini, Menteri Luar Negeri Iran Muhammad Javad Zarif telah menganggap bahwa penerapan strategi Pemimpin Tertinggi akan membawa keuntungan bagi kepentingan nasional Iran.

Misalnya, dalam tataran mempertahankan keamanan, seluruh spektrum politik Iran secara bulat mendukung penembakan RQ-4A Global Hawk Drone milik AS (20 Juni 2019), berdasarkan logika mencegah ancaman keamanan yang bekelanjutan dan lebih luas. Faktanya Iran ingin memberi pesan bahwa tidak akan menoleransi segala pelanggaran terhadap batas teritorinya dan akan bereaksi sama bila kegiatan seperti itu terus dilanjutkan– dan hal itu dapat memicu ketidakamanan bagi sekutu regional AS, yang memfasilitasi kebijakan eskalasi pemerintahan Trump.

Juga di bidang keamanan ekonomi, penyitaan tanker minyak berbendera Inggris oleh pasukan angkatan laut Korps Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC) di Teluk Persia merupakan indikasi dari tekad Iran untuk mengambil tindakan timbal balik, sebagaimana langkah kekerasan preemptive yang dilakukan negara-negara yang terlibat dalam perang ekonomi “zero-export-oil” [tidak ada ekspor minyak] terhadap Iran. Dalam merebut kapal itu, para pejabat Iran menjelaskan bahwa ketidakamanan ekonomi untuk Iran setara dengan ketidakamanan ekonomi bagi negara-negara yang berpartisipasi dalam kebijakan “tekanan maksimum” AS; sebuah kebijakan yang menurut perspekif Iran dan istilah Javad Zarif adalah bentuk “terorisme ekonomi.”

Menggunakan strategi “tak ada perang, tak ada negosiasi” adalah pernyataan sikap tidak percaya yang dirasakan Iran pada AS. Iran yakin bahwa AS berupaya untuk mengurangi kekuatan sumber daya “negara” Iran. Selama beberapa dekade, memang,  fokus kebijakan Timur Tengah AS adalah mencegah meluasnya pengaruh Iran di kawasan. Namun, geografi dan kesamaan sejarah dan agama dengan negara-negara tetangganya-lah yang akan menentukan status regional Iran, bukan kebijakan AS. Faktor-faktor ini mengharuskan Iran secara aktif berintegrasi dengan trend keamanan politik dan ekonomi regional, terutama untuk kepentingan keberlangsungan pertahanan nasional dan kemakmuran ekonominya. Dalam pespektif realistis, banyak kekuatan baru seperti India dan Turki yang mengejar peran aktif secara regional, sebanding dengan luas wilayah dan ukuran demografi mereka, potensi ekonomi yang besar, dan yang terpenting berdasarkan kondisi keamanan yang berkembang di wilayah pengaruhnya.

Terkait dengan kondisi ini, akan lebih sederhana untuk menganggap bahwa pemecatan Jhon Bolton, tokoh utama anti-Iran dalam pemerintahan Trump, dapat membuka jalan bagi pertemuan antara Presiden Rouhani dan Presiden Trump dalam waktu dekat. Tak dapat disangkal selalu ada kemungkinan untuk pertemuan. Namun mengingat besarnya rasa saling tidak percaya secara strategis di antara kedua belah pihak, pertemuan itu tidak mungkin mencapai hasil yang berarti.

Tujuan Iran jelas: memperkuat kemampuan pertahanannya, untuk menangkis ancaman keamanan dari dalam wilayah dan dari luar, serta menddiversifikasi dan mengatur strategi struktur ekonominya, dengan bergantung pada sumber daya dari kekuatan nasionalnya. Satu hal penting untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menghargai dinamika integrasi regional dan hubungan baik dengan negara-negara tetangga. Pemerintahan Trump telah mencoba menghalangi langkah Iran untuk mencapai tujuan ini dengan menciptakan koalisi politik-keamanan anti-Iran di wilayah itu, sebagaimana meningkatkan sanksi pada Iran yang berdampak pada perkembangan ekonomi dan pembangunan di negara tersebut.

Tak dapat disangkal, tujuan utama Pemimpin Tertinggi adalah mengurangi kemungkinan perselisihan dengan AS melalui peningkatan skala kekuatan nasional Iran dan mengurangi polarisasi nasional di masa krisis. Karena itu, reaksi tegas Iran pada ancaman keamanan dan ekonomi  adalah usaha untuk menangkis ancaman yang lebih luas lagi bagi keberlangsungan “negara” Iran. Dengan mencabut kewajiban AS di bawah JCPOA, Presiden Trump telah kehilangan publik Iran, yang suatu saat pernah dengan tulus ingin pemerintahannya berhubungan dengan AS, dan memecahkan perbedaan strategis yang ada dalam hubungan Iran-AS. Perkembangan ini adalah alasan utama di balik kegagalan kebijakan “tekanan maksimum” Trump.

Saat ini, penyebab ketidakpercayaan orang Iran pada AS, yang mana pada awalnya hanya di tataran institusi pemerintahan Iran, kini meluas kepada masyarakat Iran, mengurangi kemungkinan adanya keuntungan politik dari bernegosiasi dengan Trump. Sebagai hasilnya, Iran belajar secara bertahap untuk mempertimbangkan Barat sebagai hanya satu bagian dari dunia multilateral saat ini. Pemahaman seperti ini adalah sesuatu yang baru dan sepertinya akan mengubah total hubungan Iran-Barat pada dekade mendatang.

Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, negosiasi yang bermakna antara Iran dan AS hanya akan terjadi bila kedua belah pihak berusaha menarik diri dari kondisi saling ketidakpercayaan strategis dan di saat bersamaan, ide negosiasi ini harus didukung oleh politik domestik kedua negara–terutama dari pihak Iran. Dari pengalaman saya, hanya dengan memperkuat posisinya dan situasi keamanannya Iran akan dapat akhirnya bersedia kembali kepada ide berbicara dengan AS. JCPOA juga dinegosiasikan di bawah kondisi yang sama. Itu sebabnya, usaha Presiden Trump di awal untuk melemahkan Iran baru kemudian memulai negosiasi dengan negara [Iran] adalah kesalahan fatal, yang hanya akan menghasilkan sebagaimana terjadi sebelumnya, kegagalan kebijakan AS kepada Iran.

Dr. Kayhan Barzegar adalah Direktur the Center for Middle East Strategic Studies di Tehran. Dia juga associate professor pada [studi] Hubungan Internasional di departemen Sains dan Riset pada the Islamic Azad University. Akun twitternya: @kbarzeg.

Diterjemahkan oleh Nita H.