Oleh: Mu’min Elmin
(Dosen Hubungan Internasional, Universitas Sulawesi Barat)
Sejak pertengahan Mei, lima kapal tanker Iran, Forest, Fortune, Petunia, Faxon, dan Clavel bergerak dari Bandas Abbas menuju perairan Karibia. Kapal-kapal itu mengangkut sekitar 1,5 juta barrel bahan bakar untuk Venezuela yang sedang mengalami kekurangan bahan bakar akut. Venezuela, negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia, diembargo ekonomi oleh AS sehingga tidak mampu memproduksi bahan bakar yang cukup untuk rakyatnya. Kondisi pandemi semakin memperburuk situasi. Di tengah kesulitan ini, Iran bersedia mengirimkan bahan bakar yang diproduksinya.
Hingga kini (30 Mei), tiga dari lima kapal tanker Iran telah berhasil memasuki zona maritim Venezuela tanpa goresan dan gangguan sedikit pun dari militer Amerika Serikat. Padahal, sebelumnya AS mengeluarkan ancaman serius terhadap kapal tanker Iran, jika tetap melanjutkan misinya ke Venezuela. AS memandang bahwa pengiriman minyak ke Venezuela melanggar embargo yang ditetapkan AS terhadap negara tersebut, yang meliputi pelarangan bertransaksi dengan perusahaan minyak Venezuela, Petroleos de Venezuela’s (PDVSA).
Dalam diplomasi maritim, ancaman AS ini juga disebut Gun-boat Diplomacy, atau diplomasi kapal meriam, atau secara umum disebut coercive diplomacy; yaitu diplomasi yang menggunakan kekerasan dan ancaman.
Dunia membayangkan, ancaman AS tersebut akan menciptakan krisis baru di laut Karibia. Seperti peristiwa Krisis Misil Kuba tahun 1962. Krisis Misil Kuba adalah salah satu peristiwa geopolitik tersuram yang pernah terjadi di laut Karibia. Perang nuklir antara AS – Soviet sudah di depan mata. Seluruh mata dunia tertuju ke Kuba saat itu. Dunia cemas menantikan ancaman perang besar dua negara super-power. Akan tetapi detente (pengurangan ketegangan) akhirnya menjadi pilihan kedua negara sehingga tensi konflik menurun.
Meski AS telah melontarkan berbagai ancaman terhadap kapal-kapal tanker Iran, nyaris tidak terdengar adanya insiden dan ketegangan di laut Karibia. Tidak ada satu butir peluru pun yang ditembakkan, tidak pula ada upaya pencegatan terhadap kapal tanker Iran. Media mainstream pun seolah kehilangan gairah untuk melaporkan perkembangan di laut Karibia karena tidak sesuai dengan ekspektasi mereka di awal.
Tatanan Dunia yang Berubah
Dunia pun bertanya-tanya, ke mana Raksasa Sea Power itu? Bagaimana Iran bisa senekad itu?
Dunia telah berubah, termasuk aspek-aspek geopolitik juga berubah. Jika di era Perang Dingin polarisasi kekuasaan itu bersifat bipolar, maka hari ini kondisinya sangat multipolar. Bahkan kekuatan negara (national power) tidak lagi senada dengan ajaran Realisme Klasik yang hanya mengacu pada aspek-aspek materil (militeristik). Konstelasi geopolitik hari ini menunjukkan bahwa soft power memiliki peran besar dalam menyusun komposisi kekuatan suatu negara.
Lihat bagaimana negara-negara yang kuat secara hard power, tapi gagal dalam menghadapi pandemi Covid-19. Sebaliknya, banyak negara dengan kekuatan hard power lebih kecil yang lebih berhasil mengatasi pandemi ini. Hal itu bisa terjadi karena mereka memiliki social capital yang tinggi. Itulah soft power. Misalnya, kita melihat Iran yang mampu melewati pandemi, meski dalam kondisi diembargo sangat ketat sehingga tidak bisa bertransaksi ekonomi secara leluasa dengan negara luar, karena rakyatnya bergotong royong membuat masker dan hand sanitizer secara massal.
Dalam konteks pertarungan hard power, bagaimana Iran mampu menghadapi ancaman militer AS yang merupakan negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia?
Iran memiliki deterrence power yang luar biasa. Secara sederhana, deterrence power dapat diartikan sebagai kemampuan suatu negara dalam menangkal dan mencegah serangan musuh melalui ancaman serangan balasan yang lebih mematikan.
Keberhasilan deterensi suatu negara sangat ditentukan oleh minimalnya tiga aspek, yaitu military power (kekuatan militer), commitment (komitmen), dan credibility (kredibilitas).
Keberhasilan deterensi itu harus memenuhi ketiga aspek diatas. Walaupun suatu negara mampu secara militer, jika tidak memiliki komitmen dan tidak dapat dipercaya, kekuatan deterensinya tidak akan bekerja efektif dalam menghalau atau menangkal serangan musuh. Dengan istilah lain: gertak sambal. Negara yang sekedar mengandalkan ‘gertak sambal’ akan mendapatkan citra negatif dan reputasi yang buruk di mata dunia. Begitupun sebaliknya, komitmen dan kredibitas tinggi juga tidak cukup bila tidak didukung oleh kemampuan militer yang mumpuni.
Pada aspek pertama, Iran memang tidak memiliki kekuatan militer yang mengimbangi kekuatan militer AS. Bahkan jika dibandingkan, dari semua aspek materil, seperti military expenditure, military capacity dll. Iran masih jauh di bawah AS. Namun demikian, Iran menang dan lebih unggul dalam aspek commitment and credibility. Sejarah mencatat, setiap kali Iran mendapat ancaman serangan dari negara musuhnya. Iran akan memberikan ancaman balasan yang lebih keras lagi. Ancaman itu pun didukung oleh kekuatan riil di lapangan. Misalnya, ketika Iran mengancam akan membalas gangguan AS dengan ‘menyerang kepentingan AS di kawasan’, Iran memiliki kapasitas untuk memberikan serangan balasan ke arah negara-negara di sekitar Iran wilayahnya dijadikan pangkalan militer AS.
Pembuktian dari serangan balasan Iran pun sudah terjadi beberapa kali, antara lain sebagai berikut.
- Pada Juli 2019, kapal tanker Iran, Grace 1, dicegat dan ditahan secara ilegal oleh Angkatan laut Inggris di perairan internasional, Iran segera bereaksi dengan memberi ancaman akan melakukan hal yang sama terhadap kapal tanker Inggris jika kapal tanker miliknya tidak dibebaskan. Hanya dalam tiga minggu, Iran memenuhi janjinya, dengan menahan kapal tanker milik Inggris di selat Hormuz. Ajaibnya, Iran melakukan itu, sama sekali tidak melanggar Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982). Setelah itu, Inggris yang berbalik memohon agar kapal tanker miliknya segera dibebaskan.
- Pada tahun 2018, ketika Donald Trump mengancam akan keluar dari perjanjian JCPOA. Iran meresponnya dengan tegas lewat kalimat “Jika AS keluar, kami sendiri yang akan merobek kertas perjanjian ituâ€. Terbukti, ketika akhirnya AS secara sepihak menarik diri dari JCPOA, Iran merespon dengan melanjutkan pengayaan uranium di luar batas yang disepakati oleh JCPOA. Langkah Iran ini membuat Uni Eropa risau dan menolak mengikuti langkah AS untuk membubarkan JCPOA.
- Pada awal tahun 2020, militer AS secara ilegal membombardir dua panglima perang melawan ISIS, salah satunya jenderal Iran, Jenderal Qassem Soleimani. Iran berjanji akan segera memberi balasan. Janji itu ditepati dengan membombardir pangkalan militer AS terbesar di dunia, Ain-Assad (di Irak). Pangkalan militer itu rata dengan tanah oleh rudal-rudal Iran yang memiliki presisi dan akurasi tinggi.
Itulah serangkaian peristiwa, yang membuktikan kekuatan militer, serta komitmen dan kredibilitas Iran. Dengan kata lain, Iran memegang teguh janjinya: kami tidak akan pernah menyerang, tapi bila kami diserang, kami akan membalas.
Dalam kasus pengiriman bahan bakar ke Venezuela, Presiden Rouhani telah memberikan pernyataan, “Jika kapal tanker kami di Karibia atau di mana pun di dunia menghadapi masalah yang disebabkan oleh Amerika, mereka akan menghadapi masalah juga. Kami berharap Amerika tidak akan membuat kesalahan.â€
Komitmen dan kredibilitas Iran selama ini dalam menjaga janjinya rupanya telah membuat ciut nyali AS sehingga tiga kapal Iran telah berlabuh dengan aman di Venezuela. Ini adalah kemenangan kecil bagi Iran, yang diraih melalui deterrence power-nya. Sebaliknya, peristiwa ini memberikan kerugian besar bagi AS karena dominasinya semakin terancam.[]