Menanti Skenario Akhir Perang Suriah di Idlib

Presiden Turki Erdogan dan Presiden Rusia Putin  (Foto:MAXIM SHIPENKOV/AFP/Getty Images)

Presiden Turki Erdogan dan Presiden Rusia Putin
(Foto:MAXIM SHIPENKOV/AFP/Getty Images)

Oleh: Chairul Fajar*

Maret ini konflik di Suriah kembali menarik perhatian masyarakat internasional. Di provinsi Idlib ketidakpastian keamanan masih menghinggapi kawasan itu yang ditandai dengan ‘memanasnya’ hubungan Turki-Suriah. Hal tersebut diwarnai dengan tindakan militer Turki yang menembak jatuh pesawat Suriah di atas wilayah Idlib. Sementara sebagai respon pemerintah Suriah memberlakukan ‘no-fly zone’ di udara Idlib tempat konflik berlangsung.

Eskalasi situasi ini membuktikan kegagalan Turki dalam upaya menjaga komitmennya selaku penandatangan kesepakatan Astana. Kegagalan Turki akibat ketidakmampuannya dinilai berpotensi semakin memperpanjang konflik di Suriah yang bagi beberapa kalangan bahkan diperkirakan semestinya berakhir lebih cepat.

Pertemuan Rusia-Turki di Moskow pada 6 Maret lalu memperlihatkan itikad komitmen keduanya selaku pihak penjamin kesepakatan Astana guna mencegah ‘keruntuhan’ kesepakatan tersebut. Menariknya, Rusia-Turki kembali mencapai kesepakatan dalam meredakan eskalasi di Idlib. Peredaan eskalasi ini secara serius diimplementasikan Rusia-Turki lewat mekanisme patroli bersama di zona de-militerisasi di sepanjang sisi utara-selatan jalan raya Latakia-Aleppo. Selain itu keduanya tetap berkomitmen tidak mengikutsertakan faksi-faksi di Idlib yang terafiliasi dengan kelompok teroris.

Meski demikian, kesepakatan tersebut dianggap sebagai ‘kesempatan terakhir’ bagi Turki dalam merealisasikan komitmennya untuk membersihkan faksi teroris di Idlib. Seperti diketahui, banyak faksi-faksi anti-pemerintah yang bercampur bersama kelompok ideologi ekstrem di wilayah itu. Ini tentu menjadi tantangan berat bagi Turki karena sebagian kelompok anti-pemerintah di Idlib tidak akan mematuhi kesepakatan Rusia-Turki ini yang justru menunjukan upaya mensabotase kesepakatan tersebut yang akan menjadikan mereka ‘legitimate military target’.

Di sisi lain, konflik di Idlib ini menjadi salah satu fenomena keunikan dalam sebuah konflik modern. Pada konflik modern, kedua pihak dengan agenda berbeda dapat kooperatif dan menjaga jalur perundingan tetap terbuka. Sebagaimana diperlihatkan oleh Rusia-Turki, keduanya sangat aktif berdialog dan kesepakatan-kesepakatan mengenai langkahnya di Suriah secara bilateral maupun multilateral dengan menggandeng pihak lain seperti Iran.

Jika kali ini Turki kembali gagal melaksanakan komitmennya, tidak menutup kemungkinan akan menjadi preteks bagi Rusia-Assad untuk melanjutkan operasi militer pasukan pemerintah Suriah guna membebaskan Idlib sepenuhnya. Apabila pemerintah Suriah terus berlanjut ‘membersihkan’ Idlib dari milisi-milisi anti-Assad, ada beberapa skenario keamanan yang mungkin terjadi. Pertama, seluruh milisi anti-Assad akan dihadapkan pada dua kemungkinan: terus melanjutkan perlawanan sampai akhir atau ditawan pasukan pemerintah. Bagi kelompok ekstrem dan teroris, pilihan pertama merupakan yang ‘paling masuk akal’ mengingat latar belakang ideologi mereka yang mendorong untuk tidak menyerahkan diri kepada musuh sebagai tawanan perang.

Konsekuensi skenario pertama akan memperpanjang konflik bersenjata yang berpeluang memunculkan krisis baru yakni menciptakan arus pengungsi di perbatasan Idlib-Turki yang akan menjadi persoalan bagi keamanan nasional Turki. Apalagi bila di antara pengungsi tersebut merupakan mantan kombatan di Suriah. Hal ini akan menjadi dilema tersendiri mengingat Turki tengah menaruh fokus menghadapi berbagai krisis keamanan di dalam negerinya.

Kedua, melihat semakin terdesaknya posisi Turki maupun proksinya di Idlib secara tidak langsung akan memaksa Turki selaku pihak penjamin milisi anti-Assad menjalankan mekanisme strategi ‘peleburan’ seluruh barisan anti-Assad ke dalam suatu format tunggal menjadi apa yang dinamakan dengan ‘oposisi moderat’. Jika ini terjadi maka faksi ekstrem akan turut disertakan sebagai ‘oposisi moderat’ yang nyatanya tentu tidak moderat.

Bagi Turki strategi ini diyakini mampu mencegah keruntuhan pengaruhnya lebih jauh di Idlib sekaligus mengamankan posisinya dalam jangka pendek-menengah guna menghadapi perundingan dengan Rusia untuk saat ini maupun di masa yang akan datang.

Kedua skenario di atas mau tidak mau akan terus memaksa Turki memperpanjang eksistensi militernya di Idlib guna mencegah operasi militer pemerintah Suriah yang akan menyebabkan kekhawatiran Turki itu terjadi. Artinya keterlibatan Turki langsung di Idlib lewat militernya nampaknya masih akan terus berlangsung untuk beberapa waktu mendatang, sebab diperkirakan Turki menghadapi seluruhnya secara sendirian.

Secara tidak langsung Turki-Suriah telah berhadapan dalam suatu konflik terbuka. Sementara kemungkinan konfrontasi Turki-Suriah ke depan masih tetap akan terjadi, Turki akan menggunakan krisis pengungsi akibat eskalasi di Idlib tersebut dalam menekan NATO dan AS supaya negara-negara tersebut mendukung Turki di Idlib.

Melihat dari situasi itu, sangat sulit mengatakan perang di Suriah akan segera berakhir. Alih-alih berakhir, justru seluruh pihak masih menganggap mempertahankan status-quo sebagai pilihan paling menguntungkan untuk saat ini. Meski kenyataannya cepat atau lambat status-quo tersebut akan segera berakhir, tentu saja nanti akan tetap muncul peluang untuk terus memperbarui kesepakatan pengamanan status-quo tersebut.

Oleh karenanya sangat diperlukan suatu formulasi tepat yang didukung komitmen kuat dari pihak-pihak terlibat agar dapat mengakhiri problematika di Idlib ini melalui resolusi yang dapat membawa keuntungan bagi masyarakat sipil yang terdampak dari eskalasi tersebut.

*Penulis adalah sarjana Hubungan Internasional. Profil dapat dilihat di https://linkedin.com/in/chairulfajar