Oleh: Prihandono Wibowo
Pengajar Hubungan Internasional UPN “Veteran” Jawa Timur
Kunjungan Hamas ke Iran pada pertengahan 2019 yang lalu menarik perhatian dunia internasional. Pada kunjungan tersebut, delegasi Hamas dipimpin oleh Saleh Arouri. Media-media internasional melaporkan bahwa delegasi Hamas menemui Ayatullah Khamenei, pemimpin tertinggi Iran. Selain itu, dikabarkan bahwa delegasi Hamas menemui ketua parlemen Iran, Ali Larijani. Berkaitan dengan kunjungan tersebut, dalam sebuah kesempatan wawancara dengan salah satu media Iran, IRINN TV, pada bulan Juli 2019, Saleh Arouri menyatakan ucapan terimakasih kepada Iran dan juga Hizbullah. Alasannya, Iran dan Hizbullah telah banyak membantu Hamas. Arouri juga menyatakan bahwa dengan bantuan Iran dan Hizbullah, Hamas memiliki teknologi misil.
Dalam pernyataannya, Arouri menegaskan bahwa kebijakan luar negeri Iran dan praktiknya secara konsisten selalu mendukung perjuangan Palestina. Karena itu, Arouri, mewakili Hamas, menyatakan berterimakasih kepada Ayatullah Khamenei, pemimpin tertinggi Iran. Bahkan Arouri memuji Ayatullah Khamenei sebagai pemimpin besar dalam Dunia Islam. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, dilaporkan bahwa Iran berkomitem akan meningkatkan jumlah bantuan untuk Hamas. Pada September 2019, dilaporkan bahwa Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas, mengirim surat terhadap Ayatullah Khamenei berisi apresiasi atas dukungan tegas Iran terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Arouri juga menyatakan bahwa Hamas memiliki hubungan yang kuat dengan aliansi Iran di Lebanon, yaitu kelompok Hizbullah. Arouri menjelaskan bahwa Hamas telah menemui Sayyid Hasan Nasrallah, pemimpin Hizbullah. Arouri mengatakan bahwa dalam pertemuan tersebut, Hasan Nasrallah berkomitmen terhadap permasalahan Palestina dan perjuangan melawan Zionis Israel. Aroruri menyatakan perjuangan bersama antara Hamas dan Hizbullah akan dapat membebaskan Palestina dalam waktu yang dekat.
Pertemuan dan hasil wawancara tersebut dapat dimaknai sebagai momentum bersejarah. Alasannya, pertama, kunjungan Hamas ke Iran adalah salah satu penanda dari rangkaian perbaikan hubungan antara keduanya yang diinisiasi kembali sejak akhir 2016, setelah sebelumnya pada 2012-2016 sempat renggang akibat perbedaan pandangan politik terkait konflik Suriah. Sebagaimana diketahui bahwa pada awal konflik Suriah, Hamas mendukung gerakan yang menginginkan perubahan rezim di Suriah, sedangkan Iran mendukung rezim pemerintah yang sah di Suriah.
Kedua, pertemuan ini membantah tuduhan-tuduhan “sektarian” yang dibangun oleh kelompok-kelompok anti-Iran yang menyatakan bahwa Iran dan Hizbullah adalah musuh dalam Dunia Islam. Tuduhan negatif tersebut seringkali dikonstruksi dengan alasan teologis. Namun fakta menunjukkan bahwa perbedaan teologis antara Hamas dan Iran-Hizbullah, tidak menghalangi kerjasama upaya pembebasan Palestina dari “cengkraman” penjajahan Zionis Israel. Pimpinan negara Iran dan pimpinan kelompok Hamas saling memuji satu sama lain. Iran dan Hizbullah memberikan berbagai bantuan kepada Hamas, baik moral, sikap politik, maupun persenjataan. Begitu pula Hamas dan Hizbullah saling mendukung dalam melawan tekanan internasional. Misalnya, ketika Hizbullah dikategorikan sebagai kelompok “teroris” oleh Liga Arab, Hamas menolak pelabelan tersebut.
Beberapa analis mencoba menjelaskan kepentingan bersama menjadi penyebab perbaikan kembali hubungan antara Iran dan Hamas. Adnan Abu Amer misalnya, menjelaskan bahwa dengan rekonsiliasi tersebut, Iran ingin memperbaiki “citra” di Dunia Arab setelah negara tersebut banyak dikritik akibat aktivitasnya mendukung rezim Suriah. Sedangkan Hamas disebut-sebut ingin mencari sumber pendanaan alternatif setelah menguatnya blokade Israel, serta aksi tentara Mesir yang menghancurkan banyak terowongan banyak tanah yang menghubungkan Gaza dan Sinai. Selain itu, konstruksi ancaman “musuh bersama” juga menjadi penyebab rekonsiliasi kedua belah pihak. Sebagaimana dijelaskan Khaled al-Qadoumi, perwakilan Hamas di Iran, yang mengatakan, “Iran and Hamas have a common enemy and we have a long way in confronting with this enemy. The relations and consultations between Iran and Hamas have become more productive.”
Hal yang kontras dan ironis justru dapat dilihat dari trend hubungan negara-negara Arab dan Israel. Negara-negara Arab justru mengembangkan kerjasama dengan Israel, baik secara rahasia maupun terbuka. Kunjungan pejabat tinggi Israel ke negara-negara Arab, kerjasama intelijen Arab Saudi-Israel, serta pembukaan hubungan diplomatik negara-negara Arab dan Israel, menjadi bukti-bukti dari penguatan kerjasama Arab-Israel. Keganjilan-keganjilan lain seakan-akan memperkuat indikasi trend ini. Pada 2019 misalnya, dilaporkan rezim Arab Saudi menangkap beberapa anggota maupun simpatisan Hamas yang tinggal di Arab Saudi. Selain itu, salah satu media Saudi juga menyebutkan bahwa beberapa pemimpin Hamas adalah teroris yang terpengaruh paham Ikhwanul Muslimin. Dilaporkan bahwa Putra Mahkota Arab Saudi juga sempat mengusulkan Abu Dis sebagai ibu kota Palestina.
Hal-hal tersebut tidak pernah diungkapkan oleh kelompok-kelompok anti-Iran, sebaliknya para anti-Iran justru sibuk mengkritik Iran. Bahkan kritik terhadap Iran seringkali disertai dengan tuduhan-tuduhan teologis yang tidak relevan. Sebagai contoh, ketika pendulum politik luar negeri Iran cenderung bersifat “pragmatis”, para pihak anti-Iran langsung “memvonis” bahwa Republik Islam Iran telah bersekutu dengan Zionis untuk “menghantam” Islam. Para pihak anti-Iran tidak pernah mengevaluasi hubungan negara-negara Arab dan Israel.
Ketiga, jika dilihat dari perspektif terorisme yang dikonstruksi pemerintah Amerika Serikat, pertemuan antara Iran dan Hamas seolah-olah menguatkan tuduhan negara adidaya tersebut. Selama ini Amerika Serikat menuduh Iran adalah negara pensponsor terorisme global karena Iran mendukung Hamas dan Hizbullah yang telah dikategorikan sebagai kelompok teroris oleh Amerika Serikat. Tentu tuduhan Amerika Serikat ini tidak tepat. Tuduhan “teroris” identik dengan kepentingan politis. Dalam kajian terorisme, terdapat istilah one man’s terrorist is another man’s freedom fighter. Kebijakan Iran mendukung Hamas dan Hizbullah harus dibaca sebagai konteks pertahanan diri melawan ancaman agresi Israel serta tindakan unilateral Amerika Serikat.
Bagi Iran, kebijakan mendukung Hamas dan Hizbullah ini konsisten dengan konstitusinya dan spirit revolusi Islam Iran yang menyatakan akan membela orang-orang tertindas di dunia. Selain itu, dalam konteks individu pemimpin, Ayatullah Khamenei juga menegaskan bahwa pembebasan masalah Palestina adalah bagian dari pandangan keagamaannya. Perbedaan yang bersifat teologis antara Hamas dan Iran-Hizbullah tidak menghalangi poros perlawanan tersebut. Secara garis besar, kunjungan Hamas ke Iran dapat dilihat sebagai manifestasi kebangkitan kembali kekuatan poros perlawanan memerangi penindas.