Oleh: Marwa Osman*
Sejak 2013, kekuatan Barat telah menyebut-nyebut bahwa Balkanisasi Suriah adalah jalan keluar terbaik dari perang yang telah mencabik-cabik negara itu sejak 2011.
Karena perang yang dipaksakan kepada Suriah adalah momen penting dalam era imperialisme modern ini, menyaksikan bagaimana perang ini dipimpin oleh AS, para proksi, dan sekutunya, kita sepenuhnya dapat memahami bahwa perang melawan Suriah telah puluhan tahun direncanakan.
Sepanjang sejarah, kekuatan imperialis telah memfasilitasi dan memberdayakan kelompok-kelompok yang paling intoleran dan berideologi fanatik di kawasan Timur Tengah, tepatnya sejak Deklarasi Balfour, berlanjut ke masa perjanjian Sykes-Picot yang tersohor itu, dan berujung pada invasi ke Irak dan Libya, sampai akhirnya merangsek ke Suriah. Kelompok fanatik terakhir di Suriah yang mendapatkan dukungan penuh dari AS adalah PYD Suriah (The Democratic Union Party) dan sayap militernya, YPG (People’s Protection Units).
AS memberikan banyak dukungan kepada Kurdi di Irak pada awalnya karena mereka mencoba untuk menemukan mitra yang kredibel untuk melawan ISIS. Lalu mereka memilih kelompok Kurdi, Peshmerga, karena memiliki kepentingan bersama di wilayah tersebut. Kaum Kurdi ingin mendirikan negara otonom untuk mereka sendiri di wilayah tersebut sementara AS ingin kembali memasuki Irak dengan dalih membantu orang Kurdi melawan ISIS.
Ambisi-Ambisi Politik Kurdi
Koordinasi langsung pertama antara pasukan AS dan kelompok-kelompok Kurdi terjadi antara bulan Oktober 2014 dan Januari 2015 di pertempuran Kobanê, Suriah, di mana pasukan Kurdi mengulurkan tangan ke Amerika setelah pasukan ISIS mengelilingi mereka. AS kemudian menggempur ISIS di daerah tersebut dengan serangan udara, sedangkan pasukan Kurdi melakukan serangan darat terhadap ISIS yang akhirnya menimbulkan kerugian besar bagi kelompok teroris itu dan mereka terusir keluar dari daerah tersebut.
Pertempuran ini merepresentasikan sebuah kesempatan bersejarah bagi kedua sayap politik gerakan Kurdi, Peshmerga (Irak) dan PYD (Suriah) dengan sayap militernya, YPG yang memiliki kekuatan 50.000 petempur. PYD bertekad untuk mengambil kendali atas sebagian besar perbatasan Suriah dengan Turki, dan sepenuhnya didukung oleh kekuatan angkatan udara AS.
The PYD kemudian menyatakan bahwa prioritas gerakan mereka adalah menyatukan wilayah-wilayah Kurdi tradisional di Suriah (dikenal sebagai Rojava), yang membentang dari Afrin hingga ke sungai Tigris.
Pernyataan itu mengingatkan saya pada kata-kata mantan Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger pada 2013, ketika ia mengomentari situasi Suriah. Saat itu ia merekomendasikan pemecahan atau balkanisasi terhadap kawasan yang disebutnya ‘kesatuan wilayah yang dikontrol Assad ‘(Assad-controlled unity). Dengan kata lain, ia mendukung pemecah-belahan sebuah negara kesatuan.
Rencana Lama: Balkanisasi Suriah
Visi AS atas Suriah pernah dirinci oleh Kissinger selama presentasi di Ford School Syria dengan memberikan distorsi sejarah yang cukup banyak. Dia menyatakan bahwa Suriah bukanlah negara bersejarah. “Suriah dibentuk pada tahun 1920, dan pembentukannya dilakukan oleh Perancis agar memudahkannya dalam mengontrol negara itu; proses ini terjadi setelah mandat PBB,” kata Kissinger.
Kissinger kemudian mengklaim bahwa Suriah saat ini hanyalah negara dengan persatuan yang semu dan artifisial dari berbagai suku dan kelompok etnis.
Teori yang sama juga disampaikan dalam Rencana ‘Oded Yinon’ dari Israel yang dipublikasikan pada bulan Februari 1982 dalam jurnal berbahasa Ibrani, Kivunim (Directions). Oded Yinon menulis paper berjudul ‘Sebuah Strategi untuk Israel’ yang memaparkan proyek politik pecah-belah di Timur Tengah dengan tujuan pembubaran semua negara Arab yang ada.
Dengan demikian, upaya pemecah-belahan Suriah telah dimulai dengan adanya dukungan AS dan Israel terhadap rencana yang disebut “Rojava Project”.
Bantuan AS Kepada Kurdi
Dukungan AS untuk YPG telah memunculkan simpati publik di Barat terhadap etnis Kurdi; mereka memandang Kurdi sebagai kelompok ‘pemberontak’ yang paling berpikiran maju dalam perang melawan ekstremisme. Kurdi dianggap berbeda dengan kelompok-kelompok lain – yang tak terhitung jumlahnya, bahkan sebagian berafiliasi dengan Al Qaida—yang menerima bantuan dari AS dan sekutunya di kawasan.
Namun, Anda mungkin akan melihat pula bahwa hubungan PYD dengan PKK (Kurdistan Workers’ Party) yang sudah dinobatkan sebagai organisasi teror oleh AS, Uni Eropa, dan Turki merupakan masalah. Namun demikian, AS tetap memberikan dukungan udaranya kepada petempur Kurdi Suriah, baik di kawasan dekat sungai Efrat di barat, maupun pinggiran Raqqa di selatan.
Dengan demikian, kini AS secara terang-terangan memilih opsi Balkanisasi Suriah, dengan memberdayakan kelompok Kurdi di Suriah dan Irak. Dengan keberpihakannya ini, AS memberi isyarat bahwa sedang mempersiapkan segala kemungkinan, termasuk memecah-belah Suriah dan menghancurkan ‘negara’ ISIS di Raqqa.
Selama beberapa minggu terakhir, Raqqa, basis utama ISIS di Suriah, menjadi target utama dari serangan koalisi Syrian Democratic Forces (SDF) yang baru terbentuk dan didukung oleh AS. SDF adalah koalisi Kurdi (YPG), Arab Sunni (FSA-Free Syrian Army) dan pejuang-pejuang Kristen Suriah (Syriac Christian), tetapi yang mendominasi sepenuhnya adalah elemen Kurdi (YPG).
Milisi Kurdi YPG juga telah mengendalikan beberapa kawasan kecil di Suriah utara, dimana kelompok-kelompok Kurdi dan sekutu-sekutu mereka tengah membangun sistem pemerintahan desentralisasi di kawasan yang direbut dari tangan ISIS. Proyek politik ini menyebabkan pemerintahan Damaskus sangat waspada dan memandang YPG dan afiliasi politiknya, PYD, sebagai sebuah ancaman potensial, apalagi mereka beraliansi terang-terangan dengan AS.
Menurut Reuters, Saleh Muslim, wakil ketua PYD, menyatakan bahwa kota Raqqa diharapkan bergabung dengan sistem pemerintahan desentralisasi yang didirikan oleh kelompok Kurdi Suriah dan sekutu mereka, segera setelah kawasan itu direbut dari ISIS.
Saya telah berbicara dengan Fares Shehabi, wakil Aleppo untuk Parlemen Suriah dan Ketua Federasi Industri Suriah (Syrian Federation of Industry), meminta tanggapannya atas pernyataan Saleh Muslim. Dengan tegas ia mengatakan, “Pernyataan Saleh Muslim tidak bertanggung jawab karena pemerintah Suriah tidak akan mengakui keberadaan pemerintahan apapun di Raqqa atau provinsi lain, selain pemerintahan sah Suriah yang sah, yang direpresentasikan oleh Tentara Arab Suriah (Syrian Arab Army).”
Saat saya berbincang dengan Mr. Shehabi, operasi besar-besaran di dekat Raqaa yang didukung AS, justru menghalangi kemajuan tentara Suriah yang akan menyerbut ISIS dari arah barat. Hal ini membuktikan adanya persiapan proses Balkanisasi. Jadi saya menanyakan kepada Mr. Shehabi, bagaimana tanggapan pemerintah Suriah atas terjadinya proses balkanisasi ini.
Anggora Parlemen Suriah itu menyatakan bahwa “Suriah tidak akan mengizinkan adanya Balkanisasi” dan “Milisi Kurdi tidak memiliki kekuatan untuk masuk atau tetap tinggal di Raqqa karena akan menyebabkan perubahan struktur yang tidak diinginkan dan tidak realistis di dalam kota itu.”
Mr. Shehabi juga menjelaskan bahwa serbuan apapun dari YPG atau SDF di kota Raqqa akan menjadi bumerang karena langkah mereka tidak akan diterima atau ditoleransi oleh warga kota itu.
Pada bulan Maret 2017, SDF mengumumkan telah merebut pangkalan udara Tabqa, 45 kilometer (28 mil) sebelah barat Raqqa, dengan dukungan militer AS melalui darat dan udara. Telegraf melaporkan bahwa misi perebutan Tabqa diangkut oleh lima helikopter, didukung oleh lima jet tempur, yang menurunkan lusinan petempur SDF di dekat kota utara Shurfa. Namun laporan itu tidak menyebutkan apakah tentara-tentara AS juga terjun ke medan perang mendampingi SDF.
Sementara itu, sekutu utama Suriah, Rusia, sejak awal telah mengendus rencana AS untuk menarik Raqqa menjadi ke dalam ‘pemerintahan desentralisasi’, yang akan menjadi langkah pertama menuju balkanisasi Suriah. Pada awal Oktober 2014, Sputnik melaporkan,
“Ketergantungan Pentagon kepada Kurdi untuk membebaskan Raqqa mungkin menunjukkan bahwa AS sebenarnya siap mendukung federalisasi Suriah, kata Alexander Babakov, seorang anggota Komite Urusan Luar Negeri di majelis tinggi parlemen Rusia.
Babakov menyatakan kepada surat kabar Rusia Izvestia, “Sulit untuk membayangkan bahwa rencana-rencana Amerika di Raqqa ditujukan semata-mata untuk mewujudkan perdamaian di Suriah. Kemungkinannya adalah, dengan memanfaatkan Kurdi untuk membebaskan Raqqa dari ISIS, AS ingin mendukung federalisasi Suriah, termasuk mendirikan sebuah wilayah otonomi Kurdi.”
Faktanya, Amerika Serikat dan Israel tidak pernah membantah bahwa aspirasi mereka adalah menjadikan Suriah terbagi menjadi wilayah-wilayah kecil, sehingga rentan dan mudah dimanipulasi; dan Kurdi telah memberikan pretext (dalih) kepada AS dan Israel untuk merealisasikan aspirasi itu. Kita tunggu, bagaimana respon pemerintah Suriah dan sekutunya, dan bagaimana proses Balkanisasi ini selanjutnya.
*Marwa Osman adalah pengamat politik Timteng (sering diwawancarai media internasional), kandidat doktor, dan pengajar di Lebanese International University dan di Maaref University. Sumber tulisan.
Baca tulisan terkait: Referendum Kurdistan: Perebutan Minyak dan Tanah