Ketika ISIS Melukai Palestina

Palestinian woman holds a sign during a protest against the visit of U.S. Secretary of State John Kerry to the West Bank city of Ramallah, in RamallahKeputusasaan yang sangat dialami oleh Otoritas Palestina (PA) tentang agenda komunitas internasional setelah adanya serangan di Paris pada Jumat, 13 November 2015. Sebelumnya, selama berbulan-bulan, titik fokus perhatian dan kepentingan Iran adalah Palestina. Namun belakangan, yang menjadi perhatian penuh dari Iran adalah kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Akhirnya, faksi moderat di Palestina sedang mempertanyakan langkah maupun perhatian dunia yang kini sepenuhnya tertuju pada ekstremisme.

Seorang pemimpin senior Fatah di Ramallah menyampaikan kepada Al-Monitor bahwa penduduk Palestina merasa berempati dengan sentimen anti-Barat yang terjadi di negara-negara Arab, dan mereka menganggap ISIS adalah salah satu musuh terbesar.

Ia berkata, “Kami merasa bahwa ISIS telah membajak Islam, melakukan interpretasi yang salah terhadap teks agama, dan di mata publik internasional, ISIS melekat dengan kekerasan. ISIS adalah musibah bagi Islam dan bagi Palestina, karena dengan adanya stigma bahwa Islam identik dengan kekerasan, maka kelompok sayap kanan Israel akan meneruskan pendudukan dengan dalih memerangi teroris Islam. Perlawanan Palestina adalah memperjuangkan legitimasi atas negara Palestina, bukan memperjuangkan Khalifah Islam,” ujarnya, kepada Al-Monitor.

Ia juga mengaku prihatin. ISIS telah sukses mengalihkan perhatian internasional, dan ini merupakan tantangan terhadap kebijkanan tanpa-kekerasan yang dikeluarkan oleh Presiden Mahmoud Abbas. Banyak dari pemimpin PA yang bertanya kepada Presiden, “Barangkali untuk mendapatkan perhatian dari AS, kita harus melakukan perlawanan bersenjata lagi?”

“Kami tidak akan membiarkan ISIS, dan juga kelompok fundamentalis lainnya membonceng di belakang kami. Kemerdekaan Palestina dan pembebasan Yerusallem bukanlah hal yang bisa terwujud karena mereka.”

Ia mengklaim dengan kepemimpinan Fatah, musyawarah tengah berlangsung agar bisa kembali memasukkan masalah Palestina ke dalam agenda internasional.

Hal ini sebenarnya menyulitkan bagi Palestina. Abbas telah mengambil posisi moderat, namun kerjasama keamanan yang ia bangun dengan Israel tidak membuahkan hasil. Hal ini jelas baginya saat Menteri Luar Negeri AS John Kerry mengunjungi Ramallah pada 24 November. Intifadha mungkin adalah pilihan terakhir bagi Abbas, namun di saat yang sama, opsi ini akan memoengaruhi stabilitas rezimnya. Dalam situasi ini, Abbas akan memilih diplomasi internasional di Dewan Kamanan PBB dengan P5+1. Namun hal ini sepertinya mustahil untuk dilakukan, sehingga, ia harus mempertimbangkan kebijakan lain.

Sementara itu, ancaman ISIS yang mengguncang stabilitas internasional adalah topik yang mendapatkan atensi penuh di seluruh negara-negara Barat. ISIS juga memberikan alasan bagi pemerintahan Netanyahu untuk dalam negosiasi ‘two state solution”. Ia mengaitkan serangan ISIS di Suriah, Irak, Lebanon dan Mesir dengan konflik Palestina-Israel. Netanyahu menyebut, “Orang-orang Palestina pun melakukan serangan teror terhadap Israel.”

Situasinya bukan dilihat dari sudut pandang militer Israel, melainkan dari sudut pandang Netanyahu. Menurut laporan pada media Israel pada 25 November 2015, pejabat militer senior di Pusat Komando Angkatan Pertahanan Israel mengklasifikasikan bahwa serangan yang dilakukan oleh Palestina diilhami oleh keputusasaan individu terkait, bukan diarahkan atau direkomendasikan untuk memperkuat PA ataupun terkait suplai persenjataan. Maksudnya, intifadha Palestina murni karena kehendak rakyat Palestina itu sendiri, yang dilakukan tanpa koordinasi dengan PA.

Netanyahu menolak rekomendasi dari militer, dan keterangan resmi dari pemerintah diumumkan kepada pers pada hari yang sama. Ia juga menolak proposal dari Kerry untuk mencabut pembekuan dan transfer sebagai bentuk tanggung jawab ekonomi di area tepi Barat (yang dikontrol oleh penduduk dan keamanan Israel). Di wilayah ini, warga Palestina membangun industri dan pertanian. Netanyahu menitikberatkan kepeduliannya terhadap inisiden atau serangan teror, namun, dengan kondisi seperti sekarang ini — dengan adanya segenap kekerasan yang dilakukan rakyat Palestina terhadap Israel dalam intifadha, ia mendapatkan kesempatan untuk merajalela dalam negosiasi.

Menolak rekomendasi dari militer adalah hal yang langka dalam pengambilan keputusan Israel. Netanyahu konsisten untuk mencapai dua tujuan utamanya, sebagaimana yang ia sampaikan dalam pemilu 17 Maret lalu: pencegahan pembentukan negara Palestina dan mengamankan dukungan dari sayap kanan. Seorang anggota Knesset mengatakan, “Hal baik dalam diri Netanyahu adalah ia mengatakan hal-hal yang ia pikirkan. Namun buruknya, ia benar-benar percaya terhadap apa yang dikatakannya.”

Serangan teror di paris oleh ISIS memiliki dampak bagi hubungan Israel-Palestina. Rakyat Palestina merasa benar-benar kehilangan harapan terkait progeres diplomasi ‘two state solution’. Mereka merasa khawatir jika ancaman ISIS akhirnya memberikan kesempatan bagi pemerintahan Netanyahu untuk mencari-cari argumen dalam negosiasi “two state solution” dan mendapatkan lebih banyak wilayah. Hal ini bisa mendorong terjadinya kekerasan lebih lanjut dalam skala yang lebih besar dari Tepi Barat. Bahaya yang ditimbulkan dari intifada besar-besaran atau serangan masif akan menjadi alarm untuk ‘menyadarkan’ Barat.

Dalam merespon serangan terhadap Paris, diplomat AS berinisiatif untuk membukan jalan ‘two state solution’ adalah hal yang sangat penting. Tindakan taktis untuk membangun kepercayaan saja tidaklah cukup.

___
Tulisan ini diterjemahkan dari artikel di Al-Monitor di tautan http://www.al-monitor.com/pulse/originals/2015/12/palestine-islamic-state-international-two-state-islam.html?utm_source=Al-Monitor+Newsletter+[English]&utm_campaign=30a71eb1c4-December_07_2015&utm_medium=email&utm_term=0_28264b27a0-30a71eb1c4-93145501#, oleh Putu Heri.