[Jurnal] Prediksi Masa Depan Suriah

Artikel ini adalah intisari dari jurnal yang dimuat di Mediterranean Politics, yang berjudul The Unknown Future of Syria, yang dipublikasikan secara online pada 6 Maret 2013 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/13629395.2013.764656. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis. Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

pro-assad-demoPrediksi Masa Depan Suriah

David W. Lesch [1]

Konflik Suriah saat tulisan ini dibuat telah berlangsung selama dua tahun. Setelah para otoriter di Tunisia, Mesir, Yaman dan Libya jatuh, banyak yang berharap yang jatuh setelahnya adalah Presiden Suriah Bashar Al Assad. Namun hal ini tidak terjadi, yang artinya Suriah akan tenggelam dalam kehancuran yang lebih parah.

Pada dasarnya, ada tiga skenario dasar untuk konflik Suriah:

  1. Bashar Al Assad jatuh dari kekuasaan
  2. Bashar Al Assad tetap berkuasa
  3. Krisis akan berlarut-larut

Assad Jatuh dari Kekuasaan

Tentu saja, jatuhnya Assad dari kekuasaaan adalah pilihan yang lebih disukai oleh oposisi Suriah dan sebagian besar masyarakat internasional. Jatuhnya Assad, lebih cepat lebih baik. Ada banyak cara yang mungkin akan terjadi. Misalnya, oposisi memaksa menurunkan Assad sebagaimana pemberontak Libya menjatuhkan rezim Muammar Qaddafi. Tapi tanpa adanya bantuan dari pihak luar, maka hal ini akan sulit. Selain itu, komposisi dari pasukan pemerintah sendiri relatif masih utuh meskipun terjadi beberapa pembelotan. Pasukan Suriah ibarat pelaut yang tetap berada di kapalnya walau tanpa baju, siap tetap berlayar ataupun tenggelam bersama-sama apapun yang terjadi.

Sementara itu, rencana intervensi militer terbuka sebagaimana yang pernah dilakukan di Libya masih belum ada titik terang, sebagaimana yang dikatakan Presiden Obama pada 7 Maret 2012, “Bagi kami untuk mengambil tindakan militer secara sepihak karena beberapa telah menyarankan adalah sebuah kesalahan.”

Terhadap konflik Suriah, Obama menghadapi situasi yang sama tidak menyenangkannya sebagaimana dengan yang terjadi pada Iran. Ia tidak ingin Amerika Serikat (AS) menanggung kemarahan publik yang lebih besar jika ia mengambil keputusan untuk menyerang Suriah. Perekonomian AS baru perlahan pulih dan kita tidak perlu mengeluarkan biaya lainnya untuk melakukan perang.

Ada pertanyaan apa arti dari runtuhnya rezim Suriah bagi Suriah itu sendiri? Apakah semuanya akan mengakibatkan perang sekterian ala Irak maupun Afghanistan? Akankah komunitas internasional akan bersedia membangun negeri ini setelah mereka menghancurkannya dengan kekuatan militer? Jika jalur diplomasi AS mapupun Eropa bisa digunakan untuk mencari solusi, mengapa kita harus memilih opsi militer yang harusnya sangat dihindari? Mungkin Saudi dan Qatar akan membayar biaya perang, tetapi Barat khawatir akan jenis pemerintahan apa yang akan terbentuk nanti.

Ada kemungkinan bahwa Assad bisa dijatuhkan dengan kudeta militer internal. Tidak diragukan lagi bahwa beragam sanksi dan tekanan diplomatik yang diberlakukan kepada rezim Suriah bertujuan untuk memunculkan rasa tidak puas dari pejabat inti pemerintah sehingga mereka akan merasa bahwa menjatuhkan Assad adalah kewajiban, yang harus dilakukan demi Suriah yang lebih baik. Pejabat pemerintahan sipil maupun militer kemudian akan berunding dengan pihak opoisisi, meminta jaminan jabatan dan kekayaan, dan mungkin akan dijembatani oleh PBB dan Liga Arab.

Banyak analis yang mencoba mendeteksi langkah dari Rusia. Mungkin saja Vladimir Putin memang bersedia berdiri di sebelah Assad untuk melindungi kepentingan strategis dan ekonomi jangka panjang mereka di Suriah, tetapi pilihan ini telah membuat posisi Kremlin sangat canggung dalam posisi diplomatik internasional. Di bulan Desember 2012, juga terlihat bahwa Putin menunjukkan dukungannya kepada Assad mulai mendingin dan memilih untuk melakukan negosiasi. Dan banyak yang menduga bahwa Assad dan Iran mungkin akan mengambil posisi yang sama, yaitu bernegosiasi.

Pasukan opoisisi membuat beberapa terobosan signifikan pada akhir 2012, namun pertanyaannya, apakah mereka bisa memukul lingkaran penguasa inti Suriah? Bagaimanapun juga, selama lebih dari satu dekade Assad memiliki loyalis, keluarga dan pendukung lama yang menjadi pejabat pemerintahan sipil maupun militer. Sehingga, berharap adanya kudeta internal memang mudah diucapkan tetapi akan sulit untuk dilakukan.

Semua diktator pasti memiliki aparat keamanan yang telah terasah dengan baik untuk mencegah kudeta, dan Assad, dengan kecerdasannya membangun matriks malang melintang dengan kekuatan yang besar dan sulit ditembus. Contoh lainnya adalah Saddam Hussein. AS berharap bahwa pada tahun 1991 pada Perang Teluk, akan ada pejabat Saddam yang akan melakukan kudeta untuk menggulingkannya. Namun seperti yang kita semua tahu, Saddam tetap berkuasa sampai dijatuhkan paksa dengan intervnsi militer AS pada tahun 2003.

Sistem patronase dalam pemerintahan Assad telah memikat banyak pihak untuk tetap loyal. Bukan saja karena rasa takut, tetapi karena mereka juga mendapatkan imbalan sehingga bisa memperkaya diri. Mereka tidak ingin harus susah payah membentuk sistem/ kepemimpinan baru. Hal ini terbukti ketika Hafez Al Assad meninggal, maka anaknya yang naik kekuasaan dengan dukungan elit politik. Survey menyebutkan bahwa loyalis Assad ini berjumlah 20-30 persen dari penduduk Suriah, sebagian besar berasal dari sekte Alawite dan kaum Kristen di Suriah. Mungkin jumlah ini lebih tinggi jika kita tambahkan dengan masyarakat sipil Suriah yang tidak mendukung Assad, namun mereka menilai bahwa apa yang ditawarkan oposisi jauh lebih buruk.

Cara ketiga untuk menjatuhkan Assad dari kekuasaan adalah memainkan negosiasi antara Iran, Rusia, PBB, dan Liga Arab. Dengan skenario ini, mungkin Assad akan menyerahkan kekuasaannya. Kondisi ini sudah direncanakan oleh Liga Arab dan Dewan Keamanan PBB pada Februari 2012, namun gagal karena veto Rusia dan Tiongkok. Seorang diktator hanya akan bersedia memenuhi tuntutan perundingan ketika ia berada dalam kondisi terpuruk. Tapi melihat apa yang terjadi di lapangan saat ini, rasanya sulit bagi kita untuk melihat Assad akan sukarela meletakkan kekuasaannya. Sampai saat ini, Assad masih melawan oposisi, dan secara konsisten telah bertahan pada argumennya bahwa kehancuran Suriah disebabkan oleh geng bersenjata dan teroris yang didukung oleh pihak asing yang memusuhi Suriah. Selama bertahun-tahun, Assad memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi sebagaimana diktator lainnya. Ada banyak orang yang bertanya-tanya mengapa Ben Ali, Mubarak, dan Qaddafi tidak meninggalkan kekuasaaannya selagi mereka bisa, lalu bersedia hidup di pengasingan dengan fasilitas mewah dari harta mereka yang disimpan di bank asing? Mereka malah memilih bertahan di dunianya sendiri, dan mengkultuskan kekuasaan seolah-olah mereka adalah orang yang terpilih.

Assad Tetap Berkuasa

Jelas, tetap menjadi penguasa Suriah adalah pilihan yang disukai oleh Assad dan pendukungnya. Ia tetap bertahan, bukan dalam jangka pendek, seperti yang awalnya diprediksikan ketika pemberontakan meletus. Setelah Qaddafi dijatuhkan oleh akyatnya sendiri pada 20 Oktober 2011, maka diprediksi bahwa tak lama lagi Assad akan menyusul. Rezim biasa tetap berkuasa dalam jangka panjang jika tetap memberikan tekanan kepada oposisi, dengan tetap mempertahankan semangat dari militer dan pasukan keamanan.

Begitu juga dengan dukungan dari Rusia, Tiongkok, dan Iran yang diam-diam terus mendukung Damaskus di arena diplomatik, membeerikan dukungan milier dan bantuan ekonomi, juga dukungan politik di forum internasional. Sehingga, rakyat Suriah yang saat ini menentang Assad, terutama mereka yang berusaha mereformasi politik di awal pemberontakan, mungkin akan kembali mendukung status quo karena mereka khawatir terjadinya perang saudara yang lebih dahsyat – karena bagaimanapun juga, pertumpahan darah yang berlarut-larut akan merugikan negara, apalagi jika sampai terjadinya konflik sekterian.

Mungki Assad bisa menyetujui opsi yang dirundingkan oleh Liga Arab, yang mungkin tetap membuatnya bertahan dalam kekuasaannya adalah dengan menjawdwalkan pemilihan presiden pada tahun 2014. Tetapi Assad mungkin akan melakukannya jika ia yakin bisa mengalahkan kekuatan oposisi.Jikalaupun tetap berkuasa, rezim Suriah tentu tidak akan mampu untuk mendapatkan kembali kontrol atas seluruh negeri dalam waktu dekat dan akan menghadapi besar hambatan ekonomi, dan tetap diisolasi dari dunia internasional. Ini adalah kemungkinan yang nyata.

Krisis Akan Berlarut-larut

Masing-masing pihak (baik rezim maupun oposisi) akan memiliki kontrol wilayah masing-masing. Walaupun kekuatan militer dominan ada pada rezim Suriah, tetapi nampaknya tidak akan cukup untuk memberikan pukulan maut kepada pihak oposisi. Apalagi, jika oposisi mendapatkan peningkatan dukungan dari luar, maka kekuatan kedua belah pihak akan berimbang. Bagaimanapun juga, meningkatnya dukungan dari sekutu regioal untuk oposisi, baik militer, strategi, maupun koordinasi, telah melemahkan moral dan material tentara Suriah.

Bahkan, jika pembantaian yang terjadi di Suriah tidak bisa menarik NATO dan sejenisnya untuk bertindak, maka akana da negara, kelompok, ataupun individu yang akan terus mendukung perlawanan baik secara langsung maupun tidak langsung, atau setidaknya dengan dana yang bisa digunakan untuk membeli senjata, amunisi, persediaan obat-obatan, dan lainnya.

Selain itu, adanya upaya pendekatan antara kedua belah pihak yang berlalu tanpa hasil, akan membuat kekerasan di Suriah akan terus berlanjut.

Kita telah berbicara tentang ketahanan rezim yang mungkin akan rapuh, tetapi kita juga harus mengakui bahwa ketahanan oposisi telah layu. Dua tahun mereka menghadapi upaya penumpasan dari rezim, dan nampaknya mereka mulai menyingkirkan niat awal melakukan pemberontakan untuk membentuk tatanan masyarakat yang adil dan bebas. Oposisi, sekarang malah sering merampas makanan, air, obat-obatan, dan layanan yang disediakan untuk rakyat Suriah. Selain itu, mereka juga tidak bisa bebas dari rasa takut jika rezim ini keluar sebagai pemenang. Seorang aktivis Suriah pernah meratap, “Jika kami tahu bahwa kami akan sampai di titik ini, maka kami mungkin tidak akan berani menentang rezim. Tapi kami melakukannya, dan sekarang kami tidak bisa berhenti. Karena jika kami berheti, maka mereka kan membunuh kami semua.”

Jalan buntu berlarut-larut, mungkin akan menyebabkan Suriah akan mati perlahan-lahan. Sebagian wilayah dikendalikan oleh rezim, sementara sebagian lagi dikendalikan oleh kaumrevolusioner. Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan tidak mungkin bisa dilakukan.

Semakin lama konflik berlangsung, terutama di daerah-daerah, akan ada masyarakat yang mendukung oposisi ataupun faski tertentu, terkadang mungkin akan bertikai satu sama lain. Ini bisa disebut Lebanonization of Syria atau Suriah yang di-Lebanon-kan. Negara menjadi medan pertempuran proksi antara kekuatan regional, mirip yang terjadi dalam perang saudara sekterian di Lebanon pada thun 1970-an dan 1980-an.

Dengan kata lain, Suriah akan menjadi negara gagal yang terisolasi dalam waktu yang panjang, perang sipil berlanjut,ekstremis Islam menguat di beberapa jalur patahan Timur Tengah. Dan tentu saja, ini bukanlah sebuah gambar yang indah.

[1] Department of History, Trinity University San Antonio, TX, USA

Tanggapan atas jurnal ini: [Commentary] Tawaran Amnesti, Fakta Penting yang Diabaikan Lesch