[Jurnal] Iran vs Israel di Timur Tengah

Artikel ini adalah intisari dari jurnal Contemporary Security Policy yang berjudul Israel and Iran in the New Middle East, yang dipublikasikan secara online pada 14 Februari 2007 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/13523260601060289. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis. Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

nuklir

Iran dan Israel di Timur Tengah

Gawdat Bahgat [1]

Penstudi kebijakan Timur Tengah dan para pembuat kebijakan di Eropa dan Amerika Serikat (AS) secara tradisional memisahkan Teluk Persia dan Levant, yang merupakan dua subsistem Timur Tengah. Asumsi yang mendasari hal ini adalah karena perkembangan di salah satu subsistem ‘terbebas’ dari pengaruh subsistem yang lain. Namun seiring berkembangnya literatur terkait Teluk Persia dn konflik Arab-Israel, ada sedikit analis yang berusaha membangun hubungan antar subsistem. Perang 2006 antara Israel dan Hizbullah (yang merupakan perpanjangan tangan Iran) dilihat sebagai manisfestasi yang sangat kuat antara dua arena di Timur Tengah ini.

Agenda Iran dan Israel di Lebanon

Untuk Iran, hal pertama yang paling tidak diinginan dari perang Irak 2003 adalah munculnya perselisihan Sunni dan Syiah yang bukan hanya terjadi di Irak, tetapi juga hampir di semua kawasan Timur Tengah. Kepemimpinan Sunni di Baghdad digulingkan, digantikan oleh mayoritas Syiah yang memiliki aliansi yang kuat dengan Iran. Sebagai reaksinya, pemimpin Sunni di Mesir, Yordania, dan Arab Saudi telah menyuarakan rasa frustasi dan keprihatinan mereka terhadap munculnya Syiah sebagai pemegang tampuk kekuasaan.

Menghadapi Israel dan upaya untuk membebaskan tahanan Lebanon dan Palestina (yang ditahan oleh Israel) adalah tujuan bersama baik Sunni maupun Syiah. Tak lama setelah perang antara Israel dan Hizbullah, para pemimpin Arab mulai mengkritik Iran yang mendominasi organisasi-organisasi Syiah, namuna ada pula politikus dan ulama yang memutuskan untuk mengesampingkan perselisihan sekterian dan menyerukan persatuan melawan musuh bersama: Israel.

Kedua, sejak pembentukan Israel pada 1948, permusuhan terhadap Tel Aviv telah menjadi pemersatu bagi Arab. Hizbullah, yang berkonfrontasi dengan Israel—secara substansial telah memperluas popularitasnya di Arab. Ribuan demonstran di beberapa ibukota Arab telah menyatakan dukungan mereka untuk Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah. Memang, pendukung AS di kawasan tersebut awalnya enggan menyuarakan dukungan mereka kepada Hizbullah. Namun besarnya kerusakan dan korban warga sipil di Lebanon telah membuat pemimpin Arab ini turut mendukung Hizbullah dan mengutuk Israel.

Ketiga, sejak tahun 2002 negara-negara Barat, yang dipimpin AS, telah melakukan berbagai diskusi tentang kemmpuan nuklir Iran yang semakin intensif. Barat menduduh Iran berusaha membangun senjata nuklir, sementara Iran membantah dan bersikukuh bahwa nuklir tersebut untuk tujuan damai. Pada awal tahun 2006, International Atomic Energy Agency’s Governing Council mentransfer dokumen-dokumen Iran untuk Dewan Keamanan PBB, dan para anggota mendisukusikan berbagai opsi yang akan dikenakan kepada Iran, termasuk sanksi ekonomi dan diplomatik.

Keempat, para pejabat Israel (dan AS) selalu menyebutkan opsi militer untuk menghadapi fasilitas nuklir Iran. Namun konfrontasi dengan Hizbullah membuktikan bahwa pasukan perlawanan ini mampu memperlambat laju Israel. Sedangkan Hizbullah dilatih, dipersenjatai dan dibina oleh Iran. Tentu saja, sudah bisa dibayangkan betapa kacaunya Israel jika harus berkonfrontasi dengan Republik Islam (karena Hizbullah pastinya akan melakukan pembalasan pula terhadap Israel). Para pemimpin Iran menyadari bahwa negara mereka adalah target utama, dan Hizbullah adalah ‘benteng’ yang mencegah berbagai serangan yang sangat potensial dilakukan oleh Israel. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Mohsen Razai, Mantan Kepala Garda Revolusi Iran, “Israel dan AS tahu bahwa selama masih ada Hizbullah dan Hamas, maka menghadapi Iran harus dibayar sangat mahal…”

Sementara bagi Israel, selain membebaskan tentaranya yang diculik dan mengamankan perbatasannya dengan Lebanon, Iran adalah target utama. Sebagaimana pemimpin Iran, para pejabat Israel juga memahami bahwa perang mereka tidak terbatas pada Hizbullah, tetapi bertujuan untuk mendeskreditkan sponsor utamanya yaitu Iran. Jika bisa mengalahkan Hizbullah, maka hal ini akan melemahkan Iran secara militer dan politik, dan menempatkannya dalam posisi rentan dalam setiap negosiasi nuklir. Dengan menghancurkan infrastruktur ekonomi Lebanon, Israel berusaha menunjukkan kepada Iran bahwa seperti ini pula-lah yang akan dilakukan terhadap kota-kota Iran jika berkonfrontasi dengan Israel.

Mengingat adanya tujuan yang berbeda antara Teheran dan Tel Aviv, tulisan ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kedua negara, yang menitikberatkan pada penciptaan dan evolusi Hizbullah sebagai perwujudan yang jelas dari konfrontasi kedua negara. Argumen yang digunakan ada dua. Pertama, cara-cara militer tidak cukup untuk mengakhiri proksi antara Iran dan Israel di Lebanon. Diperlukan solusi politik dalam jangka panjang. Kedua, solusi jangka panjang harus bertujuan membangun perdamaian sejati antara Israel dan tetangga-tetangganya, khususnya Iran.

Iran dan Israel: Konteks Sejarah

Iran adalah negara non-Arab pemain utama di Timur Tengah. Selama setengah abad terakhir, hubungan antara Iran dan Israel (negara non-Arab pemain utama lainnya) telah mengalami pergeseran dramatis. Kekuatan militer dan ekonomi di era Rezim Pahlevi sangat bersahabat dengan Israel. Namun menghancurkan Israel adalah merupakan tujuan yang dipropagandakan Iran sejak pemimpin Islam mengambil alih Iran pada tahun 1979. Tel Aviv akhirnya memandang Teheran sebagai musuh dan ancaman bagi keamanan regional. Hubungan kedua negara bisa disebut saling bermusuhan dan adanya ketidak-percayaan sejak jatuhnya Shah.

Iran mulai merumuskan kebijakannya terhadap Israel bahkan sebelum Israel didirikan. Mendukung posisi Arab, pada tahun 1947 Iran telah menggambarkan Palestina yang terdiri dari dua otonom negara Yahudi dan Arab, dan ‘menentang rencana dibaginya tanah Palestina yang akan berujung pada pembentukan Israel’. Selanjutnya, Iran menentang masuknya Israel ke PBB, tapi tidak menyembunyikan keengganan untuk aktif terlibat dalam konflik Arab – Israel. Akhirnya, tidak seperti Turki, negara Muslim di Timur Tengah
yang memberikan Israel pengakuan penuh, Iran, di bawah rezim Pahlevi,
memberikan Israel pengakuan secara de facto.

Salah satu upaya awal untuk menciptakan kemitraan strategis antara Iran dan
Israel dirancang oleh Perdana Menteri David Ben-Gurion di pertengahan 1950-an. Sebuah doktrin dibentuk, bahwa Israel dikelilingi oleh negara-negara Arab radikal yang dipimpin oleh Presiden Gamal Abul Nasser dari Mesir. Negara-negara Arab telah memfasilitasi penetrasi Soviet di Timur Tengah dan
mengupayakan kehancuran total Israel. Lalu Israel berencana untuk merumuskan pakta perifer di pinggiran Timur Tengah. Israel terhubung dalam ‘segitiga’ dengan Turki dan Iran (keduanya non-Arab, tapi negara-negara Muslim) di utara dan Ethiopia (non-Arab, negara Kristen) di selatan. Denominator umum dari negara-negara ini diungkapkan dalam aspirasi politik untuk menghentikan pengaruh Soviet dan menolak nasionalisme Arab radikal.

AS khawatir tentang penetrasi Soviet di Timur Tengah. Kemitraan strategis antara tiga negara non-Arab Timur Tengah (Israel, Turki dan Iran) adalah salah satu pilar utama konfigurasi kekuasaan pada tahun 1950-an, 1960-an dan awal 1970-an. Perubahan di dunia Arab setelah perang Arab-Israel 1973. Daya tarik pan-Arabisme pudar dan Mesir memutuskan hubungan dengan Uni Soviet,
mengadopsi orientasi pro-Barat, dan menyepakati perdamaian dengan Israel. Sementara itu, Iran yang awalnya stabil, namun akhirnya rezim Shah digulingkan dan digantikan oleh Republik Islam dengan berdiri anti-Israel.

Jatuhnya Shah dan naiknya Khomeini secara drastis telah mengubah parameter hubungan antara Teheran dan Tel Aviv. Iran yang sekuler dan berorientasi pada Barat digantikan oleh ulama Syiah yang dianggap sebagai musuh utama oleh AS dan Israel.

Dalam upaya mengambil keuntungan dari pergolakan politik di dalam negeri Iran pasca revolusi, Saddam Husain (pemimpin Irak), meluncurkan serangan besar-besaran terhadap Iran. Awalnya, tentara Irak berhasil mencapai kemajuan yang signifikan di Iran. Kala itu, para pejabat Israel dan rekan-rekannya AS bersedia membantu untuk menjual senjata dan suku cadang kepada Iran dengan imbalan pembebasan sandera AS di Lebanon, dan peristiwa ini terkenal sebagai Iran Contra.

Iran, Israel, dan Hizbullah

Konfrontasi militer antara Israel dan Hizbullah pada Juli-Agustus 2006 menghasilkan perkembangan terhadap tiga aspek:

  1. Mobilisasi sosial dan politik penduduk Syiah Lebanon
  2. Invansi dan pendudukan Israel di Lebanon yang dimulai sejak operasi Litani pad tahun 1978 dan dalam skala yang lebih luas pada tahun 1982.
  3. Perluasan hubungan Iran dengan komunitas Syiah di Lebanon.

Gerakan-gerakan kecil dari komunitas Syiah, status sebagai kaum yang terpinggirkan secara politik dan ekonomi di Lebanon, seketika berubah. Komunitas Syiah berkembang, memiliki organisasi militer radikal dan turut diperhitungkan dalam percaturan politik pada tahun 1980-an. Kebijakan di lebanon dalam waktu yang lama didominasi oleh dua kelompok, yaitu Kristen Manorit dan Islam Sunni. Sementara Syiah terpinggirkan dan diabaikan oleh negara. Ketika Lebanon mengumumkan kemerdekaannya dari Perancis pada tahun 1943, kaum Syiah diakui, atas dasar sensus tahun 1932, sebagai kelompok komunal terbesar ketiga,
setelah Kristen Maronit dan Muslim Sunni. Perwakilan dari dua kelompok yang dominan tercantum dalam kesepakatan tidak tertulis yang disebut Pakta Nasional, yang menjadi dasar politik untuk kemerdekaan Lebanon. Pakta membagikan posisi yang paling penting dalam pemerintahan Lebanon berdasarkan afiliasi agama. Presiden dan jabatan komandan tentara diberikan kepada Maronit, sementara Premiership diberikan kepada kaum Sunni. Sementara itu, kaum Syiah diberi ruang di Chamber of Deputies (parlemen), yang merupakan posisi simbolis.

Banyak pemuda Syiah yang bergabung dalam partai politik pro-perubahan dan anti kemapanan, terutama komunis, sosialis dan Arab-nasionalis. Namun partai-partai sekuler gagal menjembatani tuntutan perkembangan dan perbaikan ekonomi yang dituntut oleh Syiah. Musa Al Sadr, seorang pemimpin karismatik, lahir di Qom, Iran dan mempelajari bidang fiqh. Ia pindah ke Lebanon, yang diklaim sebagai tanah leluhurnya dan pada tahun 1960 ia mulai mengkampanyekan pemikiran tentang keadilan sosial. Pada pertengahan tahun 1970-an, Sadr mendirikan sebuah gerakan yang disebut Afwaj al-Muqawamah al-Lubnaniyah (Batalyon dari perlawanan Lebanon) yang dikenal sebagai AMAL, yang juga berarti berarti ‘harapan’. Namun Sadr menghilang secara misterius di Libya pada tahun 1978.

Meskipun awalnya bersekutu dengan, dan dilatih oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), namun pada akhir tahun 1970-an, AMAL berkonflik dengan PLO. Beberapa anggota AMAL dan komunitas Syiah melihat invasi Israel di Lebanon selatan sebagai sarana untuk menyingkirkan dominasi PLO di Lebanon selatan. Namun alih-alih membebaskan wilayah dari dominasi PLO, Israel memantapkan dirinya sebagai kekuatan penjajah. Sementara itu, alih-alih mencoba untuk bersekutu dengan Syiah, tentara Israel menghina dan memprovokasi mereka. Israel mengusir PLO, namun di saat yang sama, kaum Syiah dihina oleh Israel. AMAL melemah. Beberapa anggota AMAL menuntut sikap yang tegas terhadap Israel, dan peristiwa inilah yang memicu lahirnya Hizbullah pad atahun 1982. Pendirian Hizbullah didukung oleh penyebaran ribuan Garda Revolusi Iran, yang tujuan utamanya adalah untuk melawan serangan Israel.

Setelah Israel membunuh pemimpin Hizbullah Abbas Musawi pada tahun 1992, Hassan Nasrallah dipilih untuk memimpin organisasi dan sejak saat itu, ia memainkan peran menonjol dalam kebijakan di Lebanon dan kawasan regional. Nasrallah telah memperluas pengaruh Hizbullah dalam komunitas Syiah, dan berhasil mengecilkan perbedaan mereka dengan masyarakat lainnya maupun para pemimpin di Lebanon. Tujuan utamanya telah melawan pendudukan Israel di wilayah Lebanon selatan. Selain menciptakan milisi terlatih dan memiliki motivasi yang kuat, Nasrallah juga memfokuskan pada penyediaan dan memperluas pelayanan sosial kepada masyarakat Syiah. Di bawah kepemimpinannya, Hizbullah bisa berpartisipasi dalam pemilu Lebanon dan memenangkan kursi baik di Perlemen (legislatif) dan maupun Pemerintahan (eksekutif). Meskipun bekerjasama yang erat dengan Iran, Nasrallah tidak menganjurkan penciptaan sebuah negara Islam ala Iran di Lebanon.

Keberhasilan revolusi di Iran merupakan kegembiraan besar di komunitas Syiah Lebanon atas karena berbagai alasan. Pertama, mayoritas Syiah baik di Iran maupun Lebanon merupakan penganut Itsna Asyariah. Menurut John Esposito, ‘These are the followers of the twelve imams regarded as the rightful successors of the Prophet’.

Kedua, dua komunitas ini selalu memiliki hubungan dekat. Banyak ulama Lebanon yang menerima pendidikan teologi dan pelatihan di Iran. Helena Cobban menulis, ‘When Iran’s new Safavid ruler decided in the early sixteenth century that Shi’ism should be the official religion of his new state there, he imported scores of ulama from Lebanon to teach the new belief to his formerly Sunni subjects’.

Ketiga, penggulingan Shah menunjukkan secara dramatis bagaimana komunitas Syiah bisa terorganisasi dengan baik dan bisa melakukan mobilisasi. Mengingat hubungan tradisional yang kuat antara Syiah di Iran dan mereka di Lebanon, Teheran menggelontorkan dana dan militer yang cukup besar ke Lebanon, yang akhirnya digunakan untuk mempersenjatai Hizbullah dan untuk menjalankan berbagai layanan sosial, termasuk rumah sakit, sekolah dan sanitasi.

Tujuan Iran mendanai Syiah di Lebanon adalah untuk memperluas pengaruhnya di kawasan negara-negara Teluk dan dunia Arab, terutama sebelum jatuhnya Saddam pada tahun 2003. Lebanon dianggap sebagai kesuksesan sejarah (karena akhirnya pengaruh Syiah dan Iran di Lebanon sangat kuat). Kedua, Iran memandang Lebanon sebagai sarana untuk menghadapi AS dan Israel. Ketiga, dukungan Iran untuk Syiah Lebanon menunjukkan komitmen Republik Islam untuk melenyapkan ketertindasan di dunia Muslim.

[Lanjut ke bagian dua]