[Jurnal] Assad: Rezim Suriah dan Strategic Worldview (5)

Artikel ini adalah intisari dari jurnal di Comparative Strategy yang berjudul Bashar’s Syria: The Regime and its Strategic Worldview, yang dipublikasikan secara online pada 23 Februari 2007 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/01495930601105412. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis.Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

[Baca bagian keempat]
Assad melambaikan tanganBashar Al Assad dan Proses Pengambilan Keputusan

Model pengambilan keputusan di masa Hafez yang hypercentralist mulai memudar setelah naiknya Bashar. Alasannya: (1) ‘Geng’ di lingkaran presiden mendapatkan perbedaan status ketika Suriah dipimpin oleh Bashar. Secara alamiah, Bashar merasa perlu untuk medapatkan saluran alternatif atas informasi dan penasihat yang selaras dengan pandangannya. Memudarnya hypercentralist dari para ‘penjaga tua’ dari Bashar, juga diikuti dengan integrasi para teknokrat muda yang telah mengubah psikologi birokrasi dalam partai dan membuka debat internal yang lebih luas. (2) Kemampuan Bashar untuk mengendalikan The Mokhabaratis jauh berkurang dibandingkan dari ayahnya. Kecenderungannya untuk menjadikan partai memiliki peran yang lebih sentral telah mengubah hubungan antara partai dengan presiden. Lebih luas dibandingkan dengan masa lalu, partai telah menjadi platform alami untuk mempengaruhi pemimpin. (3) Di sisi lain sampai batas-batas tertentu, kecenderungan Bashar yang membiarkan dirinya dikelilingi oleh teknokrat non-partisan dan akademisi yang berpendidikan Barat telah melemahkan ekslusivitas partai.

Bashar jelas memiliki tidak kemampuan maupun kecenderungan ayahnya yang multitasking dan mengatur manajemen mikro, dan lebih menyukai pendelegasian wewenang. Di banyak daerah, Bashar dilaporkan memimpin musyarawah atau konsultasi dengan para ahli tentang berbagai hal dan dikatakan bersedia mendengarkan pendapat dan rekomendasi atas berbagai masalah. Hal ini akhirnya mendorong persaingan para elit untuk menyampaikan pendapatnya ke telinga presiden.

Di era Hafez Al Assad, berbagai organ rezim melakukan perintah presiden atas dorongan kombinasi dari loyalitas pribadi, ketakutan, rasa hormat terhadap kebijaksanaan keputusan yang diambil, dan keyakinan dalam stabilitas tatanan yang ada saat itu. Namun komponen ini jauh lebih rendah di era Bashar. Hirarki operasional tidak berutang padanya, loyalitas yang didapat dari ‘geng’ orang-orang dekat di lingkaran presiden tidak memiliki semangat patuh pada perintah, dan keyakinan mereka terhadap rezim Bashar pun telah jauh berkurang.

Tidak seperti ayahnya, Bashar tidak memiliki hubungan pribadi dengan sebagian besar penasihatnya. Hal ini membatasi pengaruh para penasihat pada presiden pada waktu tertentu atau pada isu tertentu. Akibatnya, kemampuan Bashar untuk menerapkan keputusan yang diambil jauh lebih kecil dari ayahnya. Menurut salah satu hitungan, pada akhir tahun 2003 Bashar memutuskan tidak kurang dari 1.900 keputusan, hukum, dan perintah administratif; namun sebagian besar telah diabaikan atau diblokir oleh birokrasi partai Ba’th. Contohnya adalah keputusan Bashar (Juni 2003) untuk memberikan amnesti kepada untuk oposisi di pengasingan yang dijatuhi hukuman mati, ternyata diblokir oleh The Mokharabatis. Keputusan 408 yang menyerukan pemisahan antara aparat partai dengan aparatur negara juga tidak memiliki dampak nyata.

Faktor-faktor yang seolah-olah merupakan tujuan (ekonomi) dan geopolitik diinterpretasikan secara berbeda oleh berbagai tokoh di elit dan perbedaan-perbedaan ini memiliki pengaruh pada proses pengambilan keputusan yang berdampak pada rakyat. Banyak elit yang melihat ekonomi sehat sebagai asine qua nonfor terhadap ketahanan rezim dan kelangsungan hidup dan karena itu, mereka menyerukan reformasi ekonomi. Yang lain menunjukkan bahwa Suriah kacau di bahwa era Hafez dan kondisi ekonomi yang parah, menjadikan ekonomi sebagai pertimbangan untuk langkah-langkah politik guna mencapai status regional yang kuat untuk Suriah, kontrol domestik, dan kogesi elit (dengan memberikan tambahan penghasilan ekonomi ke elit tetapi tidak untuk masyarakat umum).

Dominasi Suriah atas politik regional juga masih diperdebatkan. Ada yang memandang Suriah adalah relevansi atas kondisi yang diperlukan untuk menciptakan minat regional dan internasional dalam kelangsungan hidup rezim, yang lain mengklaim bahwa keterlibatan Suriah (di Lebanon, Irak, dan dengan Palestina) sebenarnya kontraproduktif bagi kelangsungan hidup rezim. Harga yang harus dibayar Suriah atas dukungannya teradap terorisme di Palestina, instabilitas Lebanon dan pemberontakan di Irak, menurut mereka, jauh melampaui keuntungan yang mereka dapat untuk mempertahankan status Suriah. Tampaknya perdebatan ini diintegrasikan dalam proses pengambilan keputusan di Damaskus.

Ketidakmampuan rezim dalam membaca kondisi strategis disampaikan dalam laporan Mehlis. Tidak ada keraguan bahwa selama proses penyelidikan Mehlis, rezim Suriah melihat DK PBB 1559 tidak lebih dari sebuah plot untuk menekan Suriah. Mereka tidak memahami bahwa perlahan bisa saja kehilangan legitimasi dan akan memungkinkan Amerika Serikat untuk memberlakukan sanksi kepada Suriah.

Bashar, bagaimanapun juga telah mempertahankan satu sifat dari kebijakan ayahnya: keengganan untuk mengarahkan konfrontasi militer dengan Israel. Keengganan ini dibuktikan ketika eskalasi antara Israel dan Hizbullah di wilayah Har Dov / Shab’a antara Golan Heights dan Lebanon yang mengancam akan menyebar ke arah konfrontasi Israel-Suriah. Setiap kali kemungkinan muncul, Bashar memilih untuk tidak menanggapi, bahkan terhadap pengeboman yang dilakukan Israel di salah satu kamp militer Suriah dan kamp pelatihan militer Palestina di dekat Damaskus.

Pengambilan keputusan, tentu saja, hanya sebuah titik pada vektor yang diawali dengan pengumpulan dan analisis informasi mengenai isu-isu penting dan berakhir pada implementasi keputusan. Proses di bawah Bashar tergolong lemah tidak hanya di tahap pertama (mengumpulkan informasi secara benar), lalu dalam pengambilan keputusan itu sendiri (berat kontinjensi dan konsekuensi, risiko, dan pemetaan program), tetapi juga dalam pelaksanaan keputusan.

Sementara Hafez al-Asad mungkin paling dikenal karena taktik negosiasinya yang tangguh, pertemuan tanpa istirahat, filibuster monolog tentang sejarah, penolakan untuk berbicara bahasa apapun selain Bahasa Arab. Dia, bagaimanapun, juga dikenal karena kehandalannya yang luar biasa untuk menjalin kesepakatan.

Sampai sejauh mana gaya negosiasi Hafez dikaitkan dengan budaya ataupun nilai-nilai nasional? Dan sejauh mana negosiasi yang bisa diharapkan dari rezim Bashar ataupun rezim Suriah di masa depan? Tampaknya ada fenomena yang kemudian dikenal sebagai ‘taktik negosiasi Suriah’ terutama dalam negosiasi antara Suriah-Israel melalui Amerika Serikat, yang dilakukan oleh orang-orang kepercayaan Hafez. Tidak seperti kasus Iran, Jepang, Tiongkok, dan Amerika Serikat, ketika gaya negosiasi dapat dikaitkan dengan karakteristik dan nilai-nilai budaya, nampaknya hal ini tidak berlaku untuk Suriah. Hafez memiliki gaya negosiasi yang berlatar belakang perwira militer dari komunitas minoritas dengan budaya defensif yang bersifat rahasia. Ia telah berjuang hingga sampai di puncak, pengkhianati dan dikhianati, dan kemampuan negosiasinya telah diasah selama puluhan tahun. Sementara latar belakang Bashar tidak memiliki satupun faktor ini.

Bashar hanya terlibat pada sedikit negosiasi dengan dunia luar sejak menjadi penguasa, dan ini tidak cukup untuk membangun gambaran yang dapat diandalkan sebagai gaya negosiasi khas Bashar dengan pihak asing. Bukan karena minimnya kesempatan negosiasi, melainkan karena Bashar ragu-ragu untuk menempatkan dirinya dalam posisi yang memaksanya mengambil keputusan strategis.

Dalam beberapa kasus ketika Bashar telah terlibat dalam negosiasi, berikut ini adalah beberapa sikapnya yang menjadi sorotan: (1) Bashar dikatakan melakukan pengarahan sebelum berlangsungnya pertemuan dengan perwakilan asing. Namun tampaknya ia kurang memiliki kapasistas sebagaimana ayahnya. (2) Bashar tidak bernegosiasi ataupun mengambil keputusannya sendiri. Ia tergantung kepada tim dan menangguhkannya kepada mereka. Kerap terjadi dinamika antara para penasehat yang berupaya agar sarannya dipakai oleh Presiden. (3) Bashar cenderung bersikap liberal dengan memanfaatkan posisinya yang lemah. Dalam pesan-pesannya ia kerap menunjukkan bahwa dirinya tidak melakukan kontrol secara total (atau seperti yang ia sebutkan secara eksplisit: saya bukan seorang diktator).

[Lanjut ke bagian enam]