Yordania merespon keras eksekusi mati yang dilakukan kelompok teroris transnasional Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) terhadap pilotnya, Moaz al-Kasasbeh. Sebagai balasan, Yordania pun segera mengeksekusi dua terpidana mati yaitu Sajida al-Rishawi dan Ziyad Karboli. Kecaman terhadap ISIS terus mengalir, termasuk dari Universitas al-Azhar Kairo. Grand Syaikh Al-Azhar Ahmad Tayyib menyerukan, ISIS harus diberangus. [1]
Rakyat Yordania juga tidak tinggal diam. Ribuan massa berunjuk rasa di Amman, ibukota Yordania, Rabu, 4 Februai 2015 untuk menuntut pembalasan atas kematian al-Kasasbeh. Aksi ini juga diikuti oleh Perdana Menteri Jordania Abdullah Ensour. [2]
Hiruk pikuk kutukan terhadap ISIS hari ini, seolah-olah telah menenggelamkan kenyataan bahwa Yordania, adalah negara yang turut berperan dalam pembentukan ISIS.
Pada tahun 2012, WND, mengungkapkan bahwa Yordania merupakan basis pelatihan pemberontak Suriah sejak tahun 2012. Saat itu, Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, mendukung kelompok yang disebut dengan Free Syrian Army, faksi pemberontak yang mereka sebut sebagai ‘moderat’. Militan ini, dilatih di wilayah perbatasan Yordania dan Turki, untuk kemudian memerangi Suriah yang dipimpin oleh Presiden Bashar al-Assad.
Dengan kesadaran, Yordania telah membiarkan wilayahnya sebagai tempat munculnya ekstremis.
Patterns of power alliances, atau konfigurasi kekuatan dari beberapa negara yang memiliki kepentingan serupa, cenderung akan membentuk sebuah aliansi, yang terkait satu sama lain. Dalam kebijakan perang atau militer, aliansi negara bersepakat untuk saling mendukung satu sama lain (Plano, Olton:1990). Dalam krisis Suriah yang meletus sejak tahun 2011, Yordania, telah tergabung dengan aliansi anti-Asssad, bekerja sama dengan AS, negara-negara Eropa, Arab dan Teluk.
Apa kepentingan Yordania atas Suriah?
Nicholas Seeley, koresponden CS Monitor menyebutkan bahwa secara keseluruhan, Yordania tidak memiliki niat untuk memusuhi Assad. Bahkan secara politik, ekonomi maupun stabilitas nasional, Yordania sangat dirugikan atas krisis Suriah. [3] Lebih dari setengah juta penduduk Suriah mengungsi ke Yordania, yang otomatis, akan menjadi beban bagi anggaran belanjanya. Lalu, dengan berkembangbiaknya kelompok ekstremis di daerahnya, hal ini akan menganggu stabilitas nasional, yang bisa berujung pada ketidak-percayaan rakyat terhadap Raja Abdullah II.
Namun apa daya, Yordania telah terikat dalam hubungan dengan negara-negara Barat dan Arab lainnya dalam urusan perdagangan. Sehingga, mau tak mau, sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Suriah, Yordania mengijinkan wilayahnya sebagai tempat pelatihan sekaligus pintu masuk bagi militan, untuk memerangi pasukan Suriah, untuk menggulingkan Assad.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah Iran. Para analis dari berbagai negara meyakini, bahwa salah satu tujuan menggulingkan Assad, adalah untuk melemahkan Iran. [4] Pengaruh Iran dikhawatirkan akan meluas dan mengancam keberadaan negara-negara Arab yang masih berbentuk monarki dengan raja-raja yang korup dan penindas.
Sejarah mencatat, Revolusi Islam Iran yang meletus pada tahun 1979 telah menumbangkan rezim Syah Reza Pahlevi. Wajar, jika kemudian muncul kekhawatiran bahwa Iran akan ‘mengekspor’ revolusi ke negara-negara tetangga. Rakyat Bahrain telah bangkit menuntut reformasi, demikian pula rakyat di provinsi Timur Arab Saudi. Bisa saja, rakyat Yordania pun akan bangkit untuk melawan penguasa. Untuk itu, tangan kaki Iran harus dipotong. Dan jika Assad jatuh, lalu Suriah dipimpin oleh boneka Arab dan Barat, maka dengan sendirinya kekuatan Iran akan melemah.
Perubahan Peta Perempuran
Tidak ada yang mengira, jika perang Suriah akan berlangsung begitu lama, dan Assad tidak bisa dijatuhkan dengan mudah. Perlahan, kelompok pemberontak Suriah mulai pecah, dan saling menyerang satu sama lain. [5] Pada awalnya, baik kelompok FSA ataupun Jabhat al-Nusra, keduanya bekerja sama dalam memerangi pasukan Suriah. Namun perlahan, mereka saling bunuh.
Kondisi ini semakin diperkeruh dengan kedatangan Al-Qaeda Irak yang melebarkan sayapnya ke Suriah, dan menjelma menjadi ISIS. Bentrokan antar- kelompok jihadis semakin menjadi-jadi. Dan dalam berbagai bentrokan antar jihadis ini, biasanya pihak yang kalah hanya akan diberikan dua pilihan: mati atau bergabung dengan pemenang. Dan semakin menguatnya ISIS, merupakan pertanda bahwa kelompok-kelompok militan lainnya telah bergabung dengan ISIS.
Hal ini juga telah dikonfirmasi oleh Presiden Suriah Bashar al-Assad. [6] Ia menyebutkan bahwa kelompok pemberontak yang disebut ‘moderat’ semakin lama semakin melemah, lantaran anggotanya banyak bergabung dengan ISIS.
Kemunculan ISIS, yang mempertontonkan kebiadaban tiada tara, pada akhrinya menjadi legitimasi bagi Amerika Serikat untuk menyerang Suriah, dengan alasan memerangi terorisme. AS membentuk pasukan koalisi anti-ISIS, dan Yordania sudah kepalang basah, kali ini pun tidak dapat mengelak. Pasukan ini lantas menyerang ISIS melalui udara.
Serangan atas ISIS, Hanyalah Sebuah Kedok
Presiden Assad juga menuduh bahwa klaim AS dan sekutunya memerangi ISIS di Suriah hanyalah sebuah kedok. Menurutnya, pasukan koalisi ini tidak benar-benar serius. Setidaknya ada beberapa alasan, yaitu;
Pertama, pesawat tempur pasukan koalisi berkali-kali terekam menjatuhkan senjata / logistik di dekat kamp-kamp ISIS. [7] Misalnya, yang terjadi pada pertengahan Oktober 2014. Namun kepada media, AS mengaku bahwa hal itu adalah sebuah kecelakaan dan tidak disengaja. Apakah publik percaya? Sepertinya tidak. Percaya bahwa pasukan AS salah mengenali antara pasukan ISIS dengan pasukan Kurdi adalah hal yang amat naif, apalagi, pasukan ini terdiri dari tentara terlatih. Mereka juga menggunakan pesawat C310 yang memiliki kemampuan terbang rendah, sehingga seharusnya bisa mendeteksi kawasan konflik dengan mata telanjang.
Awal tahun 2015, sebuah pesawat tempur milik koalisi pimpinan AS sekali lagi menjatuhkan senjata di kawasan yang dikendalikan ISIS, tepatnya di distrik al-Dor, Provinsi Salahuddin. Dari laporan yang dirilis Press TV, pada Minggu, 5 Januari 2015, Sekretaris Jenderal Badr Organization Hadi al-Ameri mengatakan ada bukti kuat bahwa pesawat koalisi melemparkan senjata dan berbagai bantuan kepada ISIS. Sehingga klaim bahwa koalisi AS sedang berupaya menumpas ISIS, adalah sebuah kebohongan.
Kedua, terekam tenda- tenda pelatihan ISIS di garis perbatasan Turki, yang instrukturnya mengenakan seragam tentara. [8] Dan pada tenda yang berada di hamparan padang pasir tersebut, tercetak tulisan ‘US’. Bukti ini semakin menguatkan peran AS dalam melatih ISIS.
Ketiga, Assad menyatakan bahwa wilayah Suriah yang dikuasai ISIS semakin meluas pasca serangan pasukan koalisi. [9] Wall Street Journal memberikan keterangan senada, dengan merilis peta perbandingan wilayah yang dikuasai oleh ISIS pada bulan Agustus 2014 dan Januari 2015.
Pasukan Koalisi, Tidak Memiliki Posisi Tawar
Kendati terdiri dari gabungan benyak negara, namun pasukan koalisi AS tidak mampu membebaskan dua sandera asal Jepang, ataupun membebaskan sang pilot Yordania. Ketiganya, dieksekusi dengan cara yang kejam, dan pasukan koalisi tidak dapat berbuat banyak.
Andre Vltcheck, penulis buku “Indonesia, Archipelago of Fear” mengungkapkan, bahwa merupakan sebuah keniscayaan jika kelompok ekstremis yang pada mulanya disponsori AS, lambat laun menjadi liar dan tidak bisa dikendalikan.[10] Kenyataan yang terjadi di lapangan jauh lebih parah, karena selain tidak mampu mengendalikan ISIS, pasukan koalisi juga tidak memiliki posisi tawar.
Jika kita melihat ke belakang, pada Maret 2014, pemerintah Suriah berhasil membebaskan 13 biarawati yang ditawan oleh kelompok Jabhat al-Nusra, dengan melakukan barter. [11] Keberhasilan ini tidak terlepas dari terdesaknya pasukan al-Nusra di lapangan oleh tentara Suriah, sehingga mereka pun bersedia bernegosiasi.
Pasukan koalisi anti-ISIS, tidak memiliki kekuatan di daratan, dan mereka hanya menggempur melalui udara. Cara ini tidaklah efektif, mengingat ISIS adalah kelompok militan yang menyebar di berbagai titik dan sulit untuk dideteksi. Alih-alih menyerang ISIS, justru korban yang paling banyak jatuh akibat serangan udara adalah rakyat sipil yang tidak berdosa.
Yordania, Bermain Api dan Terbakar
Apa yang terjadi pada Yordania hari ini, adalah hasil dari kebijakannya mendukung terorisme di masa lalu. Berbagai persoalan pelik kini semakin terlihat jelas di depan mata. Ada kekhawatiran jika suatu saat pada jihadis ini akan kembali dan menyebarkan teror di negaranya masing-masing.
Namun, masih ada waktu bagi Yordania untuk memperbaiki kekacauan ini. Ajakan Suriah untuk bekerjasama memerangi terorisme, bisa menjadi sebuah langkah awal yang baik. [12] Hanya saja, beranikah Yordania menyambut ajakan ini dan berpaling dari negara-negara Barat dan AS yang menjadi sekutunya? Keputusan sepenuhnya ada pada Yordania, dan jika peluang ini diabaikan, maka Yordania harus bersiap untuk menghadapi kekacauan yang lebih besar.
—
Tulisan ini disalin dari situs liputanislam.com
Ref:
[1] http://liputanislam.com/terorisme/isis/al-azhar-isis-harus-dibunuh-disalib-dan-dimutilasi/
[2] http://liputanislam.com/terorisme/isis/ribuan-demonstran-di-amman-tuntut-pembalasan-darah-pilot-yordania/
[3] http://www.csmonitor.com/World/Middle-East/2013/0913/War-in-Syria-The-stakes-for-Jordan
[4] http://liputanislam.com/analisis/isis-dan-upaya-menyerang-iran-2/
[5] http://liputanislam.com/tabayun/perang-takfiri-vs-takfiri-di-suriah-hingga-indonesia/
[6] http://liputanislam.com/wawancara/bashar-al-assad-kami-tawarkan-amnesti-asal/
[7] http://liputanislam.com/tabayun/pasukan-koalisi-pimpinan-as-kembali-jatuhkan-senjata-untuk-isis/
[8] https://www.youtube.com/watch?v=IaPWVlTIVaA
[9] http://liputanislam.com/wawancara/bashar-al-assad-akibat-serangan-udara-as-wilayah-yang-dikuasai-isis-meluas/
[10] http://ic-mes.org/politics/terorisme-siapa-yang-seharusnya-dipersalahkan-1/
[11] http://liputanislam.com/tabayun/mempertanyakan-artikel-arrahmah-tukar-guling-biarawati-dengan-muslimah/