Idlib – Reportase dari Ladang Pertempuran Terakhir di Suriah

Artileri Suriah&Rusia mengarah ke Front Al Nusra

Artileri Suriah&Rusia mengarah ke Front Al Nusra

Ditulis oleh: Andre Vltchek

Diterjemahkan oleh: Rossie Indira

Untuk sementara, tidak lagi terdengar suara senjata ditembakkan.

Saya sedang berada di dekat Idlib, benteng terakhir teroris di Suriah. kota tempat pejuang anti-pemerintah yang paling mematikan itu bersembunyi, mereka yang disuntikkan ke Suriah dari Turki, dengan’bantuan’ Arab Saudi, Qatar dan Barat, dan mereka siap untuk pertarungan terakhir.

Baru terjadi kemarin, mortir-mortir jatuh di beberapa desa yang dekat dengan garis depan yang tak terlihat, garis yang memisahkan pasukan pemerintah dan pasukan teroris dari Front Al Nusra. Sehari sebelumnya, dua ledakan mengguncang hanya beberapa meter dari tempat kami berdiri sekarang.

Mereka menyebutnya gencatan senjata. Tapi ternyata tidak. Gencatan senjata hanya di satu sisi saja. Lebih tepatnya: tentara Suriah menunggu, dengan sabar. Meriam-meriam sudah diarahkan ke posisi musuh, tetapi perintah dari Damaskus jelas: jangan menembak.

Musuh tidak pernah ragu. Mereka terus-menerus memprovokasi. Mereka menembak dan mengebom tanpa pandang bulu. Mereka membunuh. Di sepanjang garis depan, ribuan rumah sudah hancur. Tidak ada yang dikecualikan: perumahan, gedung olahraga, bahkan toko roti. Di sana ada rutinitas yang dijalani: penyerangan oleh teroris, operasi penyelamatan oleh pasukan bersenjata Suriah (SAA – Syrian Arab Army) dan Pasukan Pertahanan Nasional Suriah, yang kemudian segera membangun kembali kerusakan-kerusakan yang ada.

Ratusan ribu orang Suriah telah kehilangan nyawa dalam perang ini. Jutaan orang harus meninggalkan tanah air mereka. Jutaan orang menjadi terlantar di dalam negeri. Bagi banyak orang, konflik ini sudah menjadi rutinitas. Operasi penyelamatan menjadi rutin. Tugas membangun kembali menjadi rutin juga.

Saat ini sudah jelas bahwa kemenangan bagi rakyat Suriah sudah dekat. Suriah selamat dari kondisi terburuk. Memang masih berdarah-darah, tetapi sebagian besar wilayahnya mulai pulih. Perlahan-lahan rakyat kembali ke rumah mereka, baik yang dari Lebanon dan Turki, dari Jerman atau tempat pengungsian lain. Mereka mendapati puing-puing bekas rumah mereka. Mereka duduk dan menangis. Namun kemudian mereka bangkit dan mulai membangun kembali. Hal inilah yang terjadi di kota-kota: Duma, Homs, Aleppo, Deir ez-Zour.

Tetapi di desa-desa dan kota-kota sebelah utara Hama ke arah Idlib, perang masih jauh dari selesai.

Di kota Squalbiah, Komandan Nabel Al-Abdallah dari Pasukan Pertahanan Nasional (NDF) memberikan penjelasan sebagai berikut:

“SAA bisa saja dengan mudah menggunakan kekuatan yang mereka miliki dan menang secara militer; mereka bisa mengambil alih Idlib. Namun SAA berada di bawah komando Presiden Assad yang lebih suka menggunakan negosiasi. Jika kita merebut kota itu sekarang, maka akan memakan banyak korban.”

**

Wilayah yang dikuasai Al Nusra, termasuk RS militer mereka.

Wilayah yang dikuasai Al Nusra, termasuk RS militer mereka.

Situasinya tidak sesederhana seperti yang kita inginkan. Kemenangan mungkin saja sudah dekat, tetapi pihak Barat tidak menyerah, begitu juga Turki. Masih ada kantong-kantong yang dipegang oleh pasukan Amerika dan Perancis, dan di sekitar Idlib (termasuk Manbij), wilayah yang dikendalikan oleh para teroris masih cukup luas. Para teroris tersebut dipindahkan dari seluruh penjuru Suriah, sesuai dengan perjanjian yang disponsori oleh Rusia.

Dan ceritanya tidak berhenti di situ: Sumber saya di Suriah memberitahu saya informasi terbaru:

“Sekitar 4 bulan yang lalu, muncul ‘ISIS baru’ di selatan Idlib, tidak jauh dari tempat kita berada sekarang. Mereka disuntikkan ke Suriah oleh Turki. Mereka mengenakan seragam baru, baju gamis putih. Sebelumnya, mereka dapat dikenali dari pakaian mereka yang berwarna hitam atau abu-abu – ‘gaya Afghanistan’. Sekarang, mereka menyebut diri mereka ‘Hurras Aldeen’, atau ‘The Guardians of Religion’ atau Kaum Penjaga Agama. Mengapa? Agar Amerika Serikat, dan Barat pada umumnya, akan terus mendukung mereka. Secara resmi, ISIS sudah masuk di dalam daftar organisasi teroris, tetapi ‘merek’ baru ini belum masuk.”

Saya bertanya kepada Komandan Nabel Al-Abdallah, apa yang sebenarnya diinginkan Barat? Dengan cepat dia menjawab:

“Pihak Barat ingin terorisme menyebar ke Rusia dan Cina. Banyak teroris bekerja dan bertarung langsung untuk kepentingan Amerika Serikat.

Kami harus mengamankan warga sipil yang tidak bersalah. Tetapi kami juga harus dengan cepat menemukan solusinya. Jika kami gagal, maka terorisme akan menyebar ke seluruh dunia.”

Saat itu kami berbincang di markas sementara sang Komandan sambil minum teh, sebelum kami berangkat ke garis depan.

Dia ingin mengatakan sesuatu. Dia berpikir bagaimana caranya karena tidak mudah. Tidak ada yang mudah dalam situasi ini, tetapi ia mencoba, dan apa yang dia ucapkan masuk akal:

“Jika kami tidak segera punya solusi, maka teroris akan merusak dunia. Masalah kita bukan hanya ISIS, tetapi di atas semua itu adalah ideologi yang mereka wakili. Mereka menggunakan Islam, mereka mengatakan bahwa mereka berperang atas nama Islam, tetapi mereka didukung oleh Amerika Serikat. Dan di sini, SAA, tentara dan pasukan pertahanan kami, berjuang untuk dunia, bukan hanya untuk Suriah.”

Kami berangkulan dan saya pergi. Beberapa orang stafnya mengantarku dengan menggunakan kendaraan militer ke pinggiran As Suqaylabiyah (juga dikenal sebagai Squalbiah). Dari sana, saya memotret sebuah rumah sakit dan posisi Front Al Nusra. Mereka ada di sana, hanya beberapa ratus meter tepat di depan saya.

Saya diberitahu bahwa posisi saya itu sangat terbuka, sangat mudah ditembak oleh musuh. Namun saya bekerja cepat. Dan untungnya, hari ini para teroris tidak berminat untuk menembak.

Sebelum kembali ke mobil, saya coba membayangkan bagaimana kehidupan di sana, di bawah pendudukan Front Al Nusra atau ISIS.

Dari bukit tempat saya berdiri, seluruh area tampak hijau, subur dan sangat indah. Tetapi saya tahu, saya benar-benar menyadari bahwa bagi mereka yang tinggal di rumah-rumah di bawah sana, hidup seperti di neraka; desa-desa dan kota-kota itu dikendalikan teroris-teroris yang paling brutal di bumi ini.

Saya juga tahu bahwa monster-monster teroris itu ada di sini atas perintah pihak asing yang berusaha menghancurkan Suriah, hanya karena pemerintah dan rakyatnya menolak untuk menyerah pada perintah-perintah imperialis Barat.

Di sini, yang terjadi bukan hanya teori. Kehidupan jutaan orang telah hancur. Di sini semuanya jelas dan praktis. Semua itu sebuah realitas di sini.

Dari kejauhan kami bisa dengar ada ledakan. Perang mungkin sudah berakhir di Damaskus, tetapi tidak di sini. Di sini belum berakhir.

**

perempuan-perempuan yang selamat dari ISIS

perempuan-perempuan yang selamat dari ISIS

Teman saya Yamen berasal dari kota Salamiyah, sekitar 50 kilometer dari Hama. Baru-baru ini saja daerah di sekitar kota asalnya itu dibebaskan dari kelompok-kelompok ekstremis.

Dua puluh kilometer sebelah barat Salamiyah terletak desa Al Kafat yang dulunya sebagian besar diduduki oleh Front Al-Nusra dan ISIS.

Pak Abdullah, Presiden Dewan Ismaili lokal, mengenang kengerian yang harus dialami oleh warganya:

“Di sini pernah ada dua ledakan bom mobil. Pada Januari 2014, 19 orang terbunuh, 40 rumah hancur total dan 300 rusak. Pertempuran terjadi hanya 200 meter dari sini. Baik Front Al-Nusra dan ISIS bekerja sama mengepung desa kami. Desa kami sangat dekat dengan salah satu jalan utama, jadi bagi para teroris, area ini adalah salah satu posisi strategis yang sangat penting. Akhirnya, seluruh area ini dibebaskan pada Januari 2018.”

Menurut mereka, siapa yang bersalah?

Pak Abdullah tidak ragu:

“Arab Saudi, Turki, Amerika Serikat, Eropa, Qatar …”

Kami berjalan melintasi desa ini. Beberapa rumah masih berupa reruntuhan, tetapi setidaknya sebagian besar telah diperbaiki. Di dinding-dinding dan di atas beberapa toko saya melihat potret seorang wanita muda cantik yang terbunuh dalam salah satu serangan teroris. Total ada 65 orang penduduk desa yang dibantai. Sebelum perang, populasi desa ini 3.500 orang, tetapi trauma perang dan menjadi miskin karena perang, membuat banyak orang memutuskan untuk pergi dan sekarang tinggal 2.500 penduduk yang tinggal di sini. Mereka membudidayakan pohon zaitun dan berternak domba dan sapi.

Sebelum kunjungan saya ini, saya telah diberi tahu bahwa pendidikan memainkan peran yang sangat penting dalam mempertahankan tempat ini dan menjaga moral agar tetap tinggi selama hari-hari paling gelap dalam pertempuran dan krisis. Pak  Abdullah mengkonfirmasikan hal ini:

“Manusia punya otak yang bisa menyelesaikan masalah dan mengatasi krisis. Dalam perang seperti ini, pendidikan sangatlah penting. Atau lebih tepatnya, pembelajaran, bukan hanya pendidikan. Al-Nusra dan ISIS – mereka identik dengan ignorance (ketidakpedulian atau kebodohan). Jika otak Anda kuat, maka dengan mudah Anda dapat mengalahkan ketidaktahuan. Saya pikir kami berhasil di sini. Dan lihatlah kondisi kami sekarang: desa miskin ini punya 103 orang mahasiswa yang tersebar di berbagai universitas di Suriah.”

Ketika kami melanjutkan perjalanan ke bagian timur, potret besar kakak temanku Yamen menghiasi banyak pos militer. Dia adalah salah satu komandan legendaris di sini, tetapi terbunuh pada tahun 2017.

Kemudian saya melihat sebuah kastil yang berukuran besar sekali dan usianya mungkin lebih dari dua milenium. Kastil ini menghadap kota Salamiyah. Ada ladang-ladang yang hijau di sekelilingnya, banyak sekali yang indah di seluruh penjuru Suriah.

“Kembalilah dan kunjungi semua keindahan ini ketika perang berakhir,” kata seseorang dengan bercanda.

Tapi saya tidak melihatnya sebagai lelucon.

“Saya pasti akan kembali ke sini,” pikirku. Tetapi kita harus menang dulu, dan sesegera mungkin! Untuk memastikan bahwa tidak akan ada lagi yang menjadi korban.

**

Sesampainya di penginapan di Salamiyah, saya hanya menurunkan tas di kamar, dan meminta kamerad-kamerad saya untuk mengantarkan saya lebih jauh ke timur. Saya ingin melihat dan merasakan bagaimana hidup di bawah kendali ISIS, dan bagaimana kondisi mereka sekarang.

Yang terlihat di sekitar kami hanyalah reruntuhan. Saya sudah melihat banyak reruntuhan yang mengerikan di beberapa kota dalam kunjungan saya sebelumnya: di sekitar Homs dan di pinggiran kota Damaskus.

Di sini saya melihat reruntuhan pedesaan, dan ternyata sama mengerikannya dengan yang terjadi di semua kota besar di Suriah.

Seluruh area ini sebelumnya merupakan garis depan. Tempat kegaduhan selama berada di tangan kelompok-kelompok teroris, terutama ISIS.

Sekarang area ini berupa ladang ranjau. Jalan-jalan sudah dibersihkan dari ranjau, tetapi tanah ladang belum; demikian pula apa yang tersisa dari desa-desa itu.

Saya memotret sebuah tank yang dulunya milik ISIS, yang sudah terbakar dan rusak parah. Tank tua buatan Uni Soviet yang dulunya milik tentara Suriah. Tank itu dirampas oleh ISIS, namun kemudian dihancurkan oleh SAA atau pesawat Rusia. Di sebelah tank tersebut ada sebuah peternakan ayam yang sudah hancur terbakar.

Bapak Letnan yang menemani saya, melanjutkan penjelasannya dengan suara monoton tentang hal-hal mengerikan yang terjadi di sana:

“Hari ini ada 8 orang yang terbunuh oleh ranjau darat di luar kota Salamiyeh.”

Kami keluar dari kendaraan dan berjalan perlahan menyusuri jalan yang penuh dengan lubang.

Tiba-tiba, pak Letnan berhenti:

“Dan di sini sepupu saya mati kena ranjau juga.”

**

Kandang ISIS untuk orang-orang 'sesat' dan 'pendosa'

Kandang ISIS untuk orang-orang ‘sesat’ dan ‘pendosa’

Kami sampai di desa Hardaneh, tetapi hampir tidak ada lagi yang tersisa di sini. Hanya ada reruntuhan di mana-mana. Sebelumnya, 500 orang tinggal di sini, dan sekarang tinggal 30 orang saja. Di sinilah terjadi pertempuran sengit melawan ISIS. 13 orang lokal terbunuh, 21 tentara ‘mati syahid’. Warga sipil lainnya terpaksa pergi.

Bapak Mohammad Ahmad Jobur adalah seorang administrator lokal (el muchtar) berusia 80 tahun:

“Pertama, kami perang melawan ISIS, tetapi mereka mengalahkan kami. Sebagian besar dari kami harus pergi. Sekarang beberapa sudah kembali, tetapi baru sedikit… Ya, sekarang sudah ada listrik lagi, setidaknya 3 jam sehari, dan anak-anak kami bisa pergi ke sekolah. Sekolah yang lama sudah dihancurkan oleh ISIS, sehingga sekarang anak-anak dikumpulkan dan diantar ke kota yang lebih besar untuk mendapatkan pendidikan. Semua penduduk desa ingin kembali, tetapi sebagian besar keluarga tidak punya uang untuk membangun kembali rumah dan lahan pertanian mereka. Pemerintah sudah membuat daftar orang-orang yang tempat tinggalnya hancur. Mereka akan mendapatkan bantuan, tetapi bantuan akan didistribusikan secara bertahap.”

Tentu saja harus secara bertahap karena banyak sekali kota dan desa yang hancur hampir di seluruh negara mereka.

Apakah penduduk desa merasa optimis tentang masa depan?

“Ya, sangat optimis,” kata kepala desa. “Kalau kami dapat bantuan, kalau kami  dapat membangun kembali, maka semua akan pulang.”

Namun kemudian mereka menunjukkan kepada saya sumur-sumur air yang dihancurkan oleh ISIS.

Semua memang tersenyum tapi mereka juga menangis. Sejauh ini baru 30 orang yang pulang. Berapa banyak yang akan pulang tahun ini?

Saya bertanya kepada bapak kepala desa, apa tujuan utama ISIS?

“Mereka tidak punya tujuan, tidak punya logika. ISIS diciptakan oleh Barat. Mereka mencoba menghancurkan segalanya, desa ini, wilayah ini, seluruh negara ini. Sangat tidak masuk akal… cara pikir mereka tidak seperti kita… mereka hanya membawa kehancuran.”

**

Soha adalah sebuah desa lebih jauh lagi ke timur, tempat di mana pria, wanita dan anak-anak dipaksa untuk hidup di bawah kendali ISIS.

Saya diundang ke sebuah rumah tradisional. Orang-orang duduk dalam lingkaran. Beberapa wanita muda menyembunyikan wajah mereka, tidak mau difoto. Saya hanya bisa menebak mengapa. Yang lain sih tidak peduli. Apa yang telah terjadi disini; kengerian apa yang telah mereka alami? Tidak ada yang berani mengatakannya.

Desa tradisional ini dihuni oleh suku asli yang sangat konservatif.

Testimoni mulai keluar:

“Pertama, mereka melarang kami merokok dan bercukur. Wanita harus menutup wajah dan kaki mereka; mereka harus mengenakan pakaian hitam… Peraturan yang ketat diberlakukan… pendidikan dilarang. ISIS mendirikan penjara yang mengerikan… Mereka sering memukuli kami dengan selang karet di depan umum. Beberapa orang dipancung. Kepalanya dipamerkan di alun-alun.”

“Ketika ISIS datang, mereka membawa serta budak mereka – orang-orang yang diculik dari Raqqah. Beberapa wanita dirajam di depan umum. Wanita-wanita lain dilempar sampai mati dari atap dan dari tempat-tempat tinggi lainnya. Mereka memotong tangan… Banyak wanita yang dipaksa untuk menikahi para pejuang ISIS…”

Testimoni di atas diikuti dengan keheningan yang tidak nyaman, sebelum topik berubah.

“Mereka membunuh 2 pria dari desa ini…”

Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya lebih banyak, lebih banyak lagi.

Beberapa anak muda bergabung dengan ISIS. 3 atau 4… ISIS membayar $200 kepada setiap pejuang yang baru bergabung. Dan tentu saja, mereka menjanjikan surga bagi para pejuang itu…

Di salah satu desa, mereka menunjukkan sebuah kandang besi yang sudah berkarat untuk ‘orang kafir’ dan ‘orang-orang yang berdosa’. Mereka dikurung di sana seperti binatang buas, dan dibiarkan di tempat terbuka.

Saya melihat bangunan ‘polisi’ ISIS yang hancur. Saya juga ditawari beberapa dokumen yang tercecer di lantai, tapi saya tidak mau mengambilnya, bahkan tidak untuk ‘suvenir’.

Testimoni terus mengalir:

“Mereka memancung orang hanya karena punya ponsel… penduduk desa setempat banyak yang hilang… mereka diculik…”

Akhirnya saya harus menyetop testimoni-testimoni ini. Saya hampir tidak bisa memproses semua yang disampaikan. Mereka berebut untuk memberikan testimoni. Nanti suatu hari, harus ada yang mencatat semuanya, merekamnya, dan mengarsipkannya. Saya melakukan apa yang bisa saya lakukan sekarang, tetapi saya sadar bahwa hal itu tidak cukup. Tidak akan pernah cukup. Skala tragedinya terlalu besar.

Gadis kecil ini menyaksikan pemenggalan kepala oleh ISIS

Gadis kecil ini menyaksikan pemenggalan kepala oleh ISIS

Pada saat itu hari sudah menuju gelap… dan kemudian benar-benar gelap. Saya harus kembali ke Salamiyeh untuk beristirahat sebentar, untuk tidur selama beberapa jam, dan kemudian kembali lagi ke garis depan, di mana tentara Suriah dan Rusia dengan berani menghadapi musuh. Mereka melakukan apa yang bisa mereka lakukan untuk mencegah para gangster yang disponsori oleh Barat dan sekutunya, kembali ke daerah-daerah yang sudah dibebaskan di negara ini.

Tetapi sebelum tertidur, saya teringat akan seorang gadis kecil yang selamat dari pendudukan ISIS. Dia berdiri menyandarkan punggungnya ke dinding. Dia menatapku, lalu mengangkat tangannya dan jari-jarinya bergerak cepat  seperti menggorok lehernya.

**

Berkendara ke front perang bersama Komandan Simon.

Berkendara ke front perang bersama Komandan Simon.

Keesokan harinya, Komandan Pasukan Pertahanan Nasional di Muhradah, Simon Al Wakel, mengantarku berkeliling kota sampai ke pinggiran kota dengan senjata Kalashnikov diletakkan di sebelah kursinya. Kami melakukan ‘tur’ secara cepat dan tanpa basa-basi:

“Di sinilah mortir-mortir jatuh dua hari lalu, di sana ada pembangkit listrik yang sudah dirampas kembali dari teroris, dan ini adalah sebuah  gimnasium besar yang diserang oleh para teroris hanya karena mereka benci gadis-gadis kami unggul dalam bola voli dan bola basket.”

Kami berbincang-bincang dengan penduduk setempat. Komandan Simon terpaksa beberapa kali harus berhenti di tengah jalan, orang-orang yang tidak dikenalnya memeluknya dan mencium kedua pipinya.

“Saya sudah jadi target lebih dari 60 kali,” katanya. Salah satu mobil bekasnya terlantar di tempat parkir yang terpencil, setelah dibom dan dibakar oleh para teroris.

Sambil mengangkat bahu, dia berkata:

“Rusia dan Turki menegosiasikan gencatan senjata, tetapi jelas sekali para teroris tidak menghormati perjanjian apa pun.”

Kami kembali ke garis depan. Dia menunjukkan meriam-meriam Suriah yang tertuju ke posisi Front Al Nusra. Markas besar teroris di sana terlihat jelas, tidak terlalu jauh dari reruntuhan Benteng Sheizar yang megah.

Pertama, saya lihat tentara Suriah mengoperasikan beberapa peralatan Soviet yang sudah usang serta peralatan Rusia yang lebih baru: kendaraan-kendaraan bersenjata, tank, “Katyushas”. Kemudian saya lihat ada beberapa orang Rusia yang tinggal di dua rumah dengan pemandangan langsung ke lembah dan wilayah musuh.

Sekarang, tentara Suriah dan Rusia bahu-membahu menghadapi kantong teroris terakhir.

Saya melambai tangan pada tentara-tentara Rusia, dan mereka balas melambaikan tangan pula.

Semua orang tampak dalam suasana hati yang baik. Kami menang. Kami ‘hampir sampai di sana’.

Kita semua tahu bahwa masih terlalu dini untuk merayakannya. Teroris dari seluruh dunia berkumpul di dalam dan sekitar kota Idlib. “Pasukan Khusus” Amerika, Inggris, dan Prancis beroperasi di beberapa bagian negara itu. Militer Turki terus mengendalikan sebagian besar tanah Suriah.

Cuaca cerah. Ladang hijau subur dan indah. Benteng di dekat sana amat megah. Hanya dibutuhkan sedikit lebih banyak tekad dan daya tahan, dan negara yang indah ini akan sepenuhnya dibebaskan.

Kita semua sadar tentang hal ini, tapi belum ada yang berani merayakannya. Tidak ada yang tersenyum. Ekspresi wajah kamerad-kamerad Suriah dan Rusia serius. Mereka waspada melihat ke bawah ke arah lembah dengan senjata siap tembak. Mereka berkonsentrasi penuh. Apa pun bisa terjadi, kapan saja.

Saya tahu mengapa mereka tidak tersenyum; kita semua tahu: Kita bisa mengalahkan musuh segera. Perang mungkin berakhir sebentar lagi. Tetapi ratusan ribu orang Suriah sudah meninggal.

**

Esai ini pertama kali diterbitkan oleh NEO – New Eastern Outlook: https://journal-neo.org/2019/03/05/idlib-reportage-from-the-last-front-in-syria/

**

Andre Vltchek adalah seorang filsuf, novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia sudah meliput perang dan konflik di berbagai negara. Buku-buku terbarunya antara lain  “China and Ecological Civilization” yang ditulis bersama John B. Cobb, Jr.,  “Revolutionary Optimism, Western Nihilism”, “The Great October Socialist Revolution”, novel revolusionernya Aurora, dan buku bestseller-nya: “Exposing Lies Of The Empire”. Bukunya tentang Indonesia diberi judul: “Indonesia – Archipelago of Fear”, dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Indonesia – Untaian Ketakutan di Nusantara”. Silahkan lihat buku-buku lainnya disini.  Rwanda Gambit adalah film dokumenternya tentang Rwanda dan DRCongo, dan film/dialognya dengan Noam Chomsky “On Western Terrorism”. Sekarang ini Andre Vltchek tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Timur Tengah, dan terus berkarya di berbagai belahan dunia. Dia dapat dihubungi melalui website-nya atau Twitter-nya.

Rossie Indira adalah seorang penulis dan penerbit di PT. Badak Merah Semesta, sebuah penerbitan yang mandiri dan progresif. Buku terbarunya “Bude Ocie di Maroko” adalah cerita perjalanannya ke Maroko, dan merupakan buku ke-2 dari serial “Surat dari Bude Ocie”, buku cerita perjalanannya ke Amerika Latin yang diterbitkan oleh penerbit Kompas. Bersama Andre Vltchek, Rossie menulis sebuah buku perbincangan dengan penulis terkemuka Asia Tenggara Pramoedya Ananta Toer yang diberi judul Exile (diterjemahkan ke dalam bahasa Korea, Spanyol dan bahasa Indonesia). Badak Merah menerbitkan terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Terasing! – di negeri sendiri”.  Rossie juga menjadi penterjemah dan manajer produksi dalam film dokumenter “Terlena – Breaking of a Nation” tentang genosida di Indonesia pada tahun 1965. Rossie dapat dihubungi melalui website-nya atau twitter-nya.