Forever Wars (Perang Selamanya) Amerika Serikat

serangan bom Israel di Gaza (Mei 2021)

serangan bom Israel di Gaza (Mei 2021)


Di antara dampak serangan Israel ke Gaza selama 11 hari di bulan Mei yang lalu adalah semakin menguatnya tuntutan agar AS menghentikan bantuan maupun penjualan senjata dari AS kepada Israel.

Menurut data dari Kongres AS, Israel adalah penerima kumulatif terbesar bantuan luar negeri AS sejak Perang Dunia II. Sampai saat ini, Amerika Serikat telah memberikan Israel 146 miliar Dollar AS dalam bentuk bantuan bilateral dan pendanaan pertahanan rudal. Hampir semua dana bantuan bilateral AS kepada Israel berupa bantuan militer, meskipun dari tahun 1971 hingga 2007, Israel juga menerima bantuan ekonomi yang signifikan.

Pada tahun 2016, pemerintah AS dan Israel menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) periode 10 tahun ketiga tentang bantuan militer (2019-2028). Di bawah ketentuan MOU ini, AS berjanji untuk memberikan bantuan militer sebesar 38 miliar Dollar AS (33 Dollar AS dalam bentuk hibah Pembiayaan Militer Asing ditambah 5 miliar Dollar AS dalam bentuk pertahanan rudal). MoU di periode 10 tahunan sebelumnya (2008-2018) nilai hibah AS untuk Israel adalah 30 miliar Dollar AS.

Namun demikian, penyerahan bantuan ini perlu persetujuan Kongres (parlemen AS). Kini, muncul suara-suara di Kongres menuntut penghentian bantuan dan penjualan senjata ke Israel.

Misalnya, anggota Kongres dari Republikan, Alexandria Ocasio-Cortez, berorasi, “Selama beberapa dekade, AS telah menjual miliaran dolar persenjataan ke Israel tanpa pernah mengharuskan mereka untuk menghormati hak-hak dasar Palestina. Dengan melakukan itu, kita secara langsung berkontribusi pada kematian, pengusiran, dan pencabutan hak jutaan orang.”

Perang-Perang AS di Timur Tengah

Bantuan AS ke Israel berada dalam rangkaian perang-perang AS di Timur Tengah. Seperti pernah dikatakan Trump, AS tidak akan berada di Timur Tengah kalau bukan untuk menjaga Israel.

Data hasil riset terbaru yang dirilis oleh kelompok antiperang CODEPINK pada 2021, AS dan sekutunya telah menjatuhkan sedikitnya 326.000 bom dan rudal ke negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara sejak tahun 2001. Irak, Suriah, Afghanistan, dan Yaman adalah negara-negara yang paling parah merasakan kekerasan, tetapi Lebanon, Libya, Pakistan, Palestina, dan Somalia juga menjadi sasaran.  Jumlah total rata-rata 46 bom dijatuhkan per hari selama 20 tahun terakhir.

Sumber data dari riset ini adalah rilis resmi militer AS, serta data dari Biro Jurnalisme Investigasi, Proyek Data Yaman, dan Yayasan Amerika Baru. Angka 326.000 tersebut pun masih perkiraan terendah karena pemerintahan Trump berhenti menerbitkan angka-angka pengebomannya pada tahun 2020, yang berarti tidak ada data untuk Irak, Suriah, atau Afghanistan setidaknya pada dua tahun kebelakang.  Yang juga tidak dihitung adalah bom atau rudal yang digunakan dalam serangan helikopter, serangan senjata AC-130, rentetan bom dari pembom AS, atau operasi kontra-pemberontakan atau kontra-terorisme di bagian lain dunia.

Perang di Era Biden

Bulan Februari 2021, Presiden Joe Biden telah memberi perintah untuk menyerang milisi Irak di Suriah, menjatuhkan 1,75 ton bom di sebuah desa perbatasan dan menewaskan 22 orang.  Langkah itu dilaporkan sebagai tanggapan atas serangan di pangkalan militer AS di Irak; pangkalan yang, tahun lalu, diminta oleh parlemen Irak dengan suara bulat untuk ditutup.

Kemarin, sumber anonim dari pejabat pemerintahan mengklaim bahwa Biden membatalkan serangan ke Suriah untuk kedua kalinya setelah diperingatkan bahwa ada wanita dan anak-anak di daerah target.  Meskipun tidak ada bukti yang ditunjukan dan para pejabat menolak untuk dicatat, Departemen Luar Negeri AS dan media mainstream memberitakan info ini dengan mencitrakan bahwa AS adalah pihak yang bersikap keras terhadap musuh-musuhnya sekaligus juga pejuang hak asasi manusia.

Perang, Perang, dan Lebih Banyak Perang

AS telah berperang hampir setiap tahun sejak keberadaannya sebagai negara merdeka, berperang dalam 227 tahun dari 244 tahun sejarahnya.  Barack Obama dan Donald Trump menawarkan retorika anti-perang ketika mereka berkampanye pilpres, namun keduanya melanggar janji itu setelah menjabat. Pada 2016, Obama membom tujuh negara secara bersamaan dan mendapat julukan “Raja Drone.”  Trump meningkatkan perang di Yaman dan bahkan melakukan pembunuhan terhadap Jenderal Iran, Qassem Soleimani, ketika dia berada di Irak untuk pembicaraan perdamaian regional.  Presiden AS ke-45 itu juga mengizinkan penggunaan “Mother of All Bombs,” sebuah bahan peledak seberat 21.000 pound (9.500 kg) yang dijatuhkan di Provinsi Nangarhar Afghanistan pada bulan April 2017.

Kini, di masa awal pemerintahan Biden, sudah muncul tanda-tanda bahwa akan ada lebih banyak perang.  Meskipun Biden telah berjanji untuk mengakhiri peran AS di Yaman, “bahasa bersayap” yang dipakai Departemen Luar Negeri memperjelas bahwa AS hanya kembali ke posisi Obama dalam konflik tersebut.  Biden berjanji hanya untuk mengakhiri dukungan untuk kampanye “ofensif” Saudi dan membatasi penjualan senjata “relevan”.  Namun pemerintahannya segera mulai menekankan dan mengecam serangan Houthi di Arab Saudi, dan menegaskan kembali komitmennya untuk membantu Riyadh “mempertahankan” diri dari agresi Houthi.  Utusan AS Timothy Lenderking bahkan memuji Arab Saudi atas “dukungannya yang murah hati selama beberapa dekade untuk rakyat Yaman.”

Di Israel, Biden telah sepenuhnya mendukung keputusan Trump untuk memindahkan Kedutaan Besar Amerika ke Yerusalem, sebuah langkah kontroversial yang secara efektif menyetujui pendudukan Israel di Palestina.  Wakil Presiden Kamala Harris pun telah mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di mana dia menegaskan kembali “komitmen teguh” Gedung Putih untuk Israel dan keamanannya.

Sementara itu, di Iran, Biden telah menjauh dari upaya mencabut sanksi dan kembali ke meja perundingan JCPOA yang ditinggalkan Trump.  Sepertinya dia akan melanjutkan kebijakan Trump dan bahkan menyebutkan serangannya ke Suriah sebagai “pesan” bagi Iran.

Namun, dampak perang-perang itu tidak terlalu dirasakan oleh publik AS.  Seperti yang ditulis Benjamin dan Davies (laporan CODEPINK), “Publik Amerika dan dunia hampir sepenuhnya tidak mengetahui tentang kematian dan kehancuran yang terus dilakukan oleh para pemimpin AS atas nama rakyatnya.”  Dengan pemaparan data mengenai sedemikian banyaknya perang yang dilakukan AS di luar negeri, CODEPINK berharap opini publik AS bisa berubah.[]

Diadaptasi dari tulisan Alan Macleod, sumber. Penerjemah: Nita H.

Baca artikel analisis sebelumnya: “Endgame Rezim Zionis Telah Dimulai”