Duka Cita Imperialis untuk Raja Abdullah

King Abdullah and Bush

King Abdullah and Bush

Oleh: Patrick Martin*

Dengan begitu rendah dan hipokrit, para imperialis telah menjilat pemerintah baru Arab Saudi pasca kematian Raja Abdullah. Mereka pun memberikan ‘upetinya’ dalam beragam bentuk. Di London, pemerintah Inggris mengibarkan bendera setengah tiang, mulai dari gedung-gedung pemerintah hingga Istana Buckingham. Lalu Pangeran Charles dan Perdana Menteri David Cameron pun bertolak ke Arab Saudi, untuk menyampaikan bela sungkawa.

Lain lagi dengan Amerika Serikat. Presiden Barack Obama mengumumkan bahwa ia menunda perjalanan diplomatiknya ke India, dan memilih untuk melayat ke Arab Saudi terlebih dahulu. Gedung Putih juga mengeluarkan pernyataan, tentang ketulusan dan kehangatan persahabatan antara Presiden Obama dan Raja Abdullah.

Dan pengganti Raja Abdullah adalah Salman, pria berusia lanjut yang dilaporkan menderita Alzheimer. Simon Henderson, Direktur Gulf and Energy Policy Program at the Washington Institute on Near East Policy, menulis bulan lalu, “Otak Salman jelas telah rusak oleh demensia. Pengunjung melaporkan bahwa setelah bercakap-cakap beberapa menit, ia terlihat kacau.”

Kondisi kesehatannya ini, diprediksi akan mengurangi waktunya menjabat sebagai ‘boneka’. Gedung Putih, Pentagon dan Departemen Luar Negeri AS, memastikan bahwa Salman, segera mengkonfirmasi untuk menunjuk Pangeran Muqrin, 69, sebagai penggantinya kelak.

Lebih lanjut dijelaskan, dari sudut pandang imperialisme AS, ada sosok yang jauh lebih disukai, yaitu Pangeran Mohammaed bin Nayef, 55, Menteri Luar Negeri Arab Saudi. Ia telah dipersiapkan sebagai penerus Muqrin. Sebagai Kepala Operasi Anti-Terorisme Arab Saudi, ia telah membina hubungan yang sangat baik dengan CIA dan Pentagon.

Wall Street Journal mencatat, “Pangeran Mohammed telah lama dipandang sebagai calon yang disukai Washington di antara para pangeran muda yang bercita-cita menjadi raja.”

Kolaborasi erat antara Washington dan rezim Saudi, terlihat dari berbagai intervensi AS di Timur Tengah. Meski AS mengkampanyekan demokrasi, namun imperialisme AS di Timur Tengah justru dengan mengandalkan rezim yang paling reaksioner dan zalim. Selama 70 tahun, telah dibuat kesepakatan bahwa AS akan mempersenjatai Saudi, dan membantu menghadapi ancaman internal maupun eksternal, dengan imbalan pasokan minyak dan dukungan Arab Saudi terhadap kebijakan luar negeri AS secara umum.

Selama satu dekade lebih, AS telah berkoar tengah mengoperasikan ‘perang melawan teror’, atau yang sekarang disebut oleh Obama sebagai ‘perjuangan melawan ekstremisme’. Namun faktanya, dasar kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah adalah menjadi sekutu sebuah rezim yang mendukung kelompok fundamentalisme Islam di seluruh kawasan.

Pada 1980-an, pemerintahan Reagan dan Arab Saudi bersama-sama mensponsori mujahidin Afghanistan, militan fundamentalis Islam yang direkrut oleh CIA, dan dibayar oleh Arab Saudi, untuk melawan rezim yang didukung oleh Uni Soviet di Afghanistan. Kolaborasi AS-Saudi di Afghanistan memunculkan Al-Qaeda, yang dipimpin oleh Osama bin Laden.

Setelah berlalu sekian lama, lalu AS, dibawah kepemimpinan Presiden Bush, telah menyerang Afghanistan dengan dalih memerangi teroris Al Qaeda. Peristiwa 9/11 juga dijadikan alasan baginya untuk menyerang Irak, yang saat itu dipimpin oleh Saddam Hussein.

Baru-baru ini, Arab Saudi mendukung perang AS-NATO terhadap Libya. Setelahnya, Arab Saudi juga mensponsori intervensi yang dilakukan atas Suriah untuk menggulingkan Bashar al-Assad. Bagaimanapun, kehancuran Suriah –yang merupakan sekutu Iran, merupakan hal baik baik Arab Saudi.

Secara keseluruhan, aliansi AS-Saudi telah menjadi petaka bagi masyarakat Timur Tengah. Irak, Suriah, Libya dan sekarang Yaman, di perbatasan selatan Arab Saudi, telah hancur lebur oleh serangan militer, baik yang dilakukan dengan cara menginvansi di daratan seperti di Libya atau Irak, ataupun dengan menggunakan drone seperti yang dilakukan di Yaman.

Pasukan militer Saudi juga dikerahkan ke Bahrain, untuk menekan gejolak revolusi yang dikehendaki rakyat, sekaligus mendukung rezim Al-Khalifa. Sedangkan pada tahun 2013, AS dan Saudi kembali mendukung kudeta militer oleh Jenderal Al-Sisi yang terjadi di Mesir.

Di Suriah, dolar dan senjata dari Amerika – Saudi disediakan sebagai ‘bahan bakar’ kemunculan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Dan ISIS, semakin melebarkan sayapnya ke Irak, dan berhasil merebut kota-kota strategis seperti Fallujah dan Mosul, yang telah mengakibatkan pertumpahan darah semakin meluas.

Contoh terbaru dari kolaborasi AS-Saudi adalah keputusan OPEC yang menolak pengurangan produksi minyak, sehingga harga minyak di pasaran jatuh, bahkan di bawah 50 USD per barrel. Tujuannya, tak lain untuk menekan Rusia dan Iran. Dengan jatuhnya harga minyak, otomatis kedua negara yang menggantungkan pada ekspor minyak itu akan mengalami kerugian besar.

Namun, taktik ini tak ubahnya pisau bermata dua. Di AS, akibat harga minyak yang jatuh, industri fracking pun gulung tikar dan memicu pengangguran massal di Texas, North Dakota dan negara bagian AS lainnya. Tak hanya itu, harga minyak ini juga mengakibatkan jebolnya anggaran nasional hingga 40 miliar USD, sehingga, AS harus menarik cadangan devisa.

Hal lain yang sering luput diperhatikan adalah besarnya pengangguran dan kemiskinan di Arab Saudi, kendati negara ini kaya minyak. Studi yang dirilis oleh CIA memperkirakan ada sekitar 506.000 orang usia muda akan masuk ke dalam bursa kerja pada tahun 2015, sedangkan separuh dari total populasi di Arab Saudi berusia di bawah 25 tahun. Warga Arab Saudi yang bekerja, hanya berjumlah 1,7 juta – dari total 8,4 pekerja yang ada di negara itu. Sebagian besar pekerja adalah para imigran. Artinya, Saudi akan menghadapi tantangan yang luar biasa berat dalam menjaga kestabilan internal. Mampukah pemuda-pemuda Arab Saudi menghadapi tantangan ke depan?

Kekuatan monarki yang paling reaksioner ala Arab Saudi, yang berpadu dengan imperialisme ala AS, tak ayal telah melahirkan berbagai bencana. Kesenjangan ekonomi, meluasnya konfik sektarian, dan meningkatnya intervensi militer.

*Tulisan ini diterjemahkan dari artikel asli di Global Research oleh Putu Heri, Peneliti ICMES