Deportasi: Salah Satu Strategi Pembersihan Etnis oleh Rezim Zionis

Kisah Murad Ghazi al-Abbasi

Pada pagi hari Jumat, 3 Juni 2022, seorang pria Palestina, Murad Ghazi al-Abbasi, memeluk orang tua, istri dan enam anaknya di rumahnya di kota Silwan, selatan Masjid Al-Aqsa.  

Kemudian, Al-Abbasi (42 tahun) melangkahkan kaki, meninggalkan rumah dan keluarganya, menuju Ramallah, Tepi Barat. Dia tidak tahu, kapan bisa kembali lagi ke rumahnya, karena statusnya sekarang sudah “dideportasi secara permanen” oleh rezim Zionis.  Selama rezim Zionis berdiri, diperkirakan dia tidak akan bisa lagi menjejakkan kaki ke Jerusalem.

Inilah salah satu strategi pembersihan etnis yang dilakukan oleh Rezim Zionis di Jerusalem. Zionis ingin menjadikan keseluruhan wilayah Jerusalem sebagai wilayah khusus Yahudi-Zionis dan melalukan berbagai upaya pengusiran warga Palestina yang saat ini masih mendiami Jerusalem timur.

Al-Abbasi lahir, belajar dan bekerja di Silwan, sebuah area di Jerusalem. Abbasi tidak memiliki “kartu biru” atau KTP untuk orang Jerusalem karena ketika terjadi pendudukan Jerusalem pada perang 1967, dia terlewat dalam sensus yang dilakukan oleh Israel. Sebagian orang-orang Jerusalem diberi KTP khusus oleh Israel, sedangkan Al-Abbasi tidak kebagian.

Pada tahun 2001 Al-Abbasi menikahi seorang gadis Jerusalem (yang memiliki KTP) sehingga ia bisa mengajukan permintaan “penyatuan” ke Kementerian Dalam Negeri Israel (dalam hal ini, status Israel adalah “occupation forces” atau “kekuatan pendudukan” alias “penjajah” di kawasan Jerusalem timur).

Peta Palestina – Jerusalem

“Penyatuan” adalah prosedur untuk menyatukan keluarga Palestina melalui dokumen resmi, di mana salah satu pasangan berasal dari Tepi Barat atau Jalur Gaza, dan yang lainnya berasal dari Jerusalem atau kawasan pendudukan lainnya. Dengan cara, mereka mendapatkan dokumen sehingga bisa masuk ke Jerusalem.  Tanpa ada dokumen resmi, Israel melarang warga Palestina masuk ke Jerusalem.

Pada tahun 2015, setelah 15 tahun menikah, Al-Abbasi dapat menerima perlakuan “penyatuan”, dan setiap tahun ia pergi ke gedung Kementerian Dalam Negeri di lingkungan Wadi Al-Joz di Jerusalem untuk memperbaruinya. Sebelum itu, ia biasa mendapatkan izin masuk dan izin tinggal secara berkala, karena statusnya sebagai pegawai di Rumah Sakit Al-Makassed, di daerah Al-Tur, Jerusalem.

Tapi, tiba-tiba, tahun 2017, izin Abbasi dibekukan selama 8 bulan karena ia menyukai (menekan tombol LIKE) pada gambar seorang martir (syuhada) Palestina di Facebook.  Izin masuknya ke Jerusalem tidak diaktifkan lagi sampai ia mengajukan surat permintaan maaf untuk itu.

Al Abbasi kemudian berulang kali diperas oleh polisi dan intelijen Israel, dan ia hidup dalam ketakutan, karena sewaktu-waktu bisa ditangkap karena dokumennya yang bermasalah. Akhirnya, tahun 2021, dia ditangkap di gerbang Masjid Al-Aqsa, lalu diinterogasi berkali-kali. Abbasi meminta bantuan organisasi hak asasi manusia dan menyewa pengacara untuk pengurusan izin tinggalnya. Namun akhirnya, bulan Mei 2022, secara resmi “pemerintah” Israel menyatakan mendeportasi Al Abbasi. Juni 2022, Al Abbasi harus pergi, bila tidak, ia akan dipenjara.

Strategi Deportasi oleh Zionis

Strategi deportasi dilakukan oleh Zionis terhadap para tokoh dan aktivis dalam komunitas politik dan sosial Palestina tak lama setelah pendudukan tahun 1967. Namun praktik yang melanggar HAM tersebut terus berlanjut hingga kini, karena kurangnya upaya internasional untuk mencegah praktik semacam itu.

Sebelum berdirinya Otoritas Palestina, deportasi dilakukan rezim Zionis Yordania, Lebanon, Suriah dan beberapa tempat lain. Menyusul pecahnya gerakan Intifada Pertama, Israel meningkatkan deportasi para aktivis dan pemimpinnya.

Deportasi ini mencapai puncaknya pada Desember 1992 di mana 418 aktivis dari Hamas dan Jihad Islam dideportasi ke Lebanon Selatan sebagai balasan atas operasi militer mereka.  Tahun 1992 itu pula, untuk pertama kalinya ada keinginan internasional mewajibkan pemerintah Israel untuk mengembalikan orang-orang buangan ke tempat tinggal asalnya, dalam bentuk resolusi PBB 799, dimana beberapa orang dikembalikan  ke rumah dan yang lainnya ke penjara Israel.

Resolusi PBB mengurangi tindakan deportasi oleh Israel. Akan tetapi, menyusul pecahnya Intifada Kedua pada September 2000, deportasi dilakukan lebih gencar lagi.  Pada Mei 2002, ketika Israel meluncurkan “Operasi Perisai Pertahanan,” 39 militan Palestina berlindung dalam Gereja Kelahiran Yesus di Betlehem, lalu mereka diasingkan ke Jalur Gaza dan ke beberapa negara Eropa. Sejak saat itu, tak seorang pun dari mereka yang diizinkan pulang.  Di antaranya, Abdullah Awad, meninggal di pengasingan, dan pemerintah Israel tidak mengizinkan jenazahnya dikuburkan di kampung halamannya.

Dengan semakin gencarnya serangan terhadap Jerusalem timur secara umum dan masjid  Al Aqsa secara khusus, oleh Israel, setelah terbentuknya pemerintah nasionalis dan ekstrimis Israel yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu, strategi deportasi semakin digencarkan juga.

Puluhan orang Palestina dilarang memasuki masjid Al Aqsa atau kota Jerusalem untuk jangka waktu yang berbeda-beda. Langkah Israel ini dilakukan dengan sistematis dan jelas ditujukan untuk mematahkan keinginan dan semangat warga Jerusalem, serta untuk mendorong mereka putus asa dan keluar dari kelompok perjuangan.

Kebijakan deportasi ini juga berlaku bagi tahanan Palestina yang ditahan di penjara Israel.  Sejumlah tahanan Palestina sempat melakukan mogok makan sebagai protes atas penahanan administrative (penahanan tanpa melalui prosedur pengadilan) yang jelas bertentangan dengan norma-norma internasional dan konvensi internasional. Mereka kemudian dideportasi ke Jalur Gaza.

Korban lain dari strategi deportasi Israel adalah para anggota dewan legislatif Palestina terpilih dari Jerusalem, yaitu Mohammed Abu Teir, Mohammed Totah dan Ahmed Atton, serta mantan Menteri Urusan Yerusalem, Khaled Abu Arafa.  Meskipun para anggota dewan legislatif Palestina telah dipilih dengan prosedur demokratis dalam pemilihan Januari 2006, yang  disetujui oleh AS dan Israel, namun mereka kehilangan status kependudukan mereka di Jerusalem.

Melalui strategi deportasi ini, Israel berupaya mengosongkan Jerusalem timur (termasuk kawasan Al Aqsa) agar masjid Al Aqsa jatuh ke dalam kekuasaan mereka secara penuh. Israel memberlakukan hukuman kolektif, pengusiran, dan deportasi keluarga para martir, aktivis, dan politisi. Tindakan Israel ini secara terang-terangan melanggar Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat. Seharusnya, komunitas internasional meminta sesi darurat Dewan Keamanan PBB untuk membahas apa yang dilakukan Israel di Jerusalem, yaitu hukuman kolektif, penghancuran rumah, deportasi, pengusiran dan pemindahan terhadap warga Palestina.

“Jiwa Saya Tetap di Jerusalem”

Sejak awal tahun 2022,  Al Jazeera Net telah mendokumentasikan deportasi 8 warga Palestina dari kota Jerusalem, yang terakhir adalah Murad al-Absi. Sementara itu, sumber organisasi hak asasi manusia melaporkan bahwa Kementerian Dalam Negeri Israel telah mencabut hak tinggal di Jerusalem dari setidaknya 14.500 warga Palestina, dengan berbagai dalih, sejak pendudukan seluruh kota pada tahun 1967.

Deportasi yang dilakukan terhadap Al-Abbasi membuatnya kehilangan pekerjaan, hidup tanpa rumah dan keluarga, di Ramallah. Padahal, ia adalah satu-satunya pencari nafkah untuk keluarganya di Jerusalem. Keluarganya tidak bisa ikut ke Ramallah karena takut rezim Zionis akan menarik dokumen kependudukan mereka di Jerusalem.

Menjelang kepergiannya, Al Abbasi mengatakan, “Saya tidak akan kehilangan harapan, tidak peduli apapun yang mereka lakukan, saya akan kembali pada akhirnya;  karena akar saya ada di sini, yang pergi hanyalah tubuh saya, tapi jiwa saya akan tetap di Jerusalem.”

Sumber: deportation policy dan occupation tool

https://nena-news.it/palestine-occupation-and-deportation-policy/