“Black Lives Matters”, Demikian Pula dengan Nyawa Bangsa Yaman

yemen childrenOleh: Redaksi ICMES

Perhatian dunia saat ini tersedot oleh aksi demo besar-besaran di AS, memrotes tindakan polisi Minnesota yang membunuh seorang warga kulit hitam, George Floyd. Mereka bergerak antara lain dengan slogan “Black Lives Matters” (Nyawa Orang Kulit Hitam Berharga).

Bukankah demikian pula dengan nyawa orang Yaman? Sayangnya, dunia tidak banyak peduli. Media mainstream sangat minim meliput konflik di Yaman. Kini, setelah virus Corona merebak, tiba-tiba saja PBB yang selama ini terlihat pasif, bersama Arab Saudi, yang selama 5 tahun membombardir Yaman, merasa perlu untuk mengadakan konferensi penggalangan dana “penanggulangan Covid di Yaman”.

Konferensi virtual itu direncanakan tanggal 2 Juni dengan target mengumpulkan dana 2,4 miliar USD. Pada 28 Mei 2020, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengumumkan bahwa kota Aden di Yaman selatan memiliki tingkat kematian tertinggi di dunia akibat COVID-19, dimana 70 persen dari penduduk yang terinfeksi virus ini meninggal dunia. Guterres mengatakan bahwa situasi di Yaman sangat “tragis” dan menyeru komunitas internasional untuk menunjukkan solidaritas kepada bangsa Yaman, dengan cara memberikan dana bantuan. [1]

Berapakah jumlah kematian akibat covid di Yaman? Data tanggal 1 Juni: ada 323 infeksi, 80 meninggal, dan 14 sembuh. Sementara itu, akibat bombardir yang dilakukan Arab Saudi dan UAE terhadap Yaman selama lima tahun terus-menerus, angka kematian mencapai lebih dari 10.000 orang. Belum lagi bila dihitung angka kematian sebagai akibat tidak langsung dari bombardir tersebut, misalnya hancurnya infrasktruktur membuat sistem sanitasi sangat buruk dan wabah cholera merebak sehingga mengakibatkan kematian banyak orang. Diperkirakan, jumlah kematian akibat penyakit dan kelaparan, mencapai lebih dari seratus ribu (100.000) jiwa, sebagian besarnya anak-anak.

Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dengan restu dari negara-negara Barat, telah mengakibatkan penderitaan besar bagi penduduk lokal serta memperpanjang teror dan ketakutan di wilayah tersebut. Selain korban langsung (akibat bom-bom yang diledakkan oleh pesawat tempur Saudi), Arab Saudi juga melakukan berbagai pelanggaran HAM. Salah satu laporan dari Human Rights Watch (HRW) menunjukkan bahwa Arab Saudi melakukan pelanggaran hak asasi penduduk Yaman, terutama di wilayah al-Mahrah, sejak akhir Juni tahun lalu.

Direktur HRW untuk Timur Tengah, Michael Page, dalam wawancara dengan Press TV mengatakan sebagai berikut.

“Pasukan Saudi dan sekutu Yaman-nya melakukan pelanggaran serius pada penduduk lokal Al-Mahrah, ini adalah satu ketakutan lain yang menambah daftar perilaku ilegal koalisi yang dipimpin Saudi di Yaman. …Arab Saudi sangat merusak reputasinya di hadapan bangsa Yaman saat melakukan tindakan kekerasan dan tak ada pihak yang mau bertanggung jawab atas tindakan tersebut”.

Menurut laporan HRW, di antara tindakan kekerasan yang dilakukan Saudi adalah penahanan ilegal, penyiksaan,  penculikan, dan mewajibkan pemindahan tahanan ke Arab Saudi. Sebelumnya, HRW juga sudah melaporkan kejahatan internasional lain yang dilakukan oleh koalisi Amerika dalam menghadapi kebangkitan Houthi di wilayah itu, antara lain pengeboman terhadap rumah-rumah, area bisnis, dan rumah sakit. Pada Februari, setidaknya 30 penduduk Yaman tewas dalam serangan udara yang dilakukan militer Saudi di wilayah Utara, di distrik Jawf al-Maslub. Dikatakan bahwa serangan dilakukan sebagai balasan atas jatuhnya pesawat Saudi oleh pasukan Houthi.

Menurut juru bicara Houthi, Yahya Saree, “Seperti biasa, saat agresi paling brutal AS-Saudi memperoleh balasan menyakitkan di medan perang, mereka akan melakuan serangan balik dengan menargetkan warga sipil.”

Pada bulan Maret, armada kapal berisi 450 tentara Amerika mendarat di Yaman, sebagai tambahan untuk jumlah tak pasti dari pasukan gabungan Inggris, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Berdasarkan informasi dari al-Mashhad, ini adalah tahap pertama proyek pengiriman 3000 pasukan AS dan Inggris ke Yaman, yang nantinya akan mendarat di wilayah Aden, Lahai,  Saqtari, Shabweh dan al-Mohreh, melengkapi pengepungan sesungguhnya pada negara itu dari berbagai penjuru geografis.

Sebagai tambahan,  dua kapal perang AS bersandar di Balhaf, pelabuhan utama ekspor gas alam Yaman. AS mengklaim bahwa gerakannya di wilayah itu adalah “memerangi terorisme”, namun beberapa pengamat politik menjelaskan bahwa AS berkeinginan untuk mengintervensi pemerintahan Yaman, dengan menyiapkan basisnya di wilayah itu, untuk “menstabilkan” situasi negara itu.

Krisis di Yaman adalah bencana kemanusiaan nyata, dalam dimensi yang sama dengan perang sipil di Suriah. Namun begitu, perhatian yang diberikan untuk negara termiskin di wilayah Timur Tengah ini sangat minim, terutama di masa pandemi. Kini, Covid-19 dijadikan sebagai sarana untuk mengaburkan akar masalah dan mengalihkan perhatian dunia dari berbagai pergerakan ilegal pasukan imperialis, yaitu ribuan pasukan AS yang tiba di Yaman dan semakin agresifnya tentara Israel di Tepi Barat.

Faktor lain yang benar-benar diabaikan, lebih serius dari agresi militer, adalah krisis kesehatan masyarakat dan kerawanan pangan. Menteri Kesehatan Yaman, Saif al-Haidri, baru-baru ini mengingatkan dampak dari pengabaian masyarakat international atas kondisi Yaman:

“Setidaknya lima setengah juta anak-anak di bawah usia 5 tahun menderita kekurangan gizi. …seorang anak tewas tiap sepuluh menit di Yaman.  …80 persen anak-anak di Yaman berada dalam kondisi kerdil/stunting dan kurang darah akibat kurang gizi.  …dua ratus ribu wanita pada usia subur atau mereka hamil atau melahirkan anak yang kurang gizi, ini mengancam kehidupan anak-anak.”

Begitulah, saat perhatian dunia teralihkan pada virus Corona, kejahatan kemanusiaan terus dilakukan AS dan sekutunya, Inggris, Saudi, dan UAE, tanpa mendapat hukuman. Ratusan ribu orang Yaman menderita sakit dan kelaparan tanpa ada pertolongan kemanusiaan. Kasus Covid memang menambahkan penderitaan yang sudah ada. Namun, ketika PBB justru bekerja sama dengan pelaku kejahatan perang di Yaman dengan kedok “menggalang dana untuk Covid”, adakah harapan yang masih tersisa bagi bangsa Yaman?

(Diadaptasi dari tulisan Lucas Lairoz, peneliti Hubungan Internasional di Universitas Federal Rio de Janeiro, Brasil)

[1] https://sputniknews.com/middleeast/202005281079447862-yemen-city-of-aden-leads-world-with-highest-covid-19-mortality-rate-of-70—un-chief

BACA sebelumnya: Perang Yaman, Untuk Apa dan Untuk Siapa?