Oleh: Dina Y. Sulaeman
Tanggal 13-17 Oktober 2018, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengadakan acara Indonesian Solidarity Week for Palestine yang juga dihadiri oleh Menlu Palestina, Riyad al-Maliki. Beliau selama beberapa hari mengunjungi berbagai forum di Indonesia (antara lain, kuliah umum di Gedung Merdeka Bandung dan UI, serta bertemu Presiden Jokowi dan DPR, serta acara ‘Walk for Peace and Humanity’).
Saya mendapat kesempatan untuk hadir dalam salah satu acara terbatas yang melibatkan beberapa akademisi, peneliti, dan tokoh-tokoh agama. Buat saya, ini kesempatan yang sangat menarik (dan langka), karena bisa mendengar langsung berbagai cerita di balik layar upaya diplomasi demi mencapai kemerdekaan Palestina dari pelaku utama (=data primer).
Saya akan menceritakan sebagian dari yang disampaikan Al Maliki di forum tersebut.
Bagaimana pandangan Otoritas Palestina terhadap Israel?
Otoritas Palestina/Palestinian Authority (selanjutnya disingkat PA) didominasi oleh Partai Fatah. Fatah mencita-citakan negara Palestina yang sekuler dan demokratis. Sebaliknya, menurut Al Maliki, Hamas menginginkan negara Islam (khilafah) dan berideologi Ikhwanul Muslimin serta berjejaring dengan IM di berbagai negara. Perbedaan yang sangat mendasar di antara keduanya memang menjadi masalah yang besar; namun PA selalu berusaha membangun persatuan. Upaya terbaru adalah rekonsiliasi yang dimediasi Mesir, namun masih banyak hambatan yang belum bisa diselesaikan.
PA memandang bahwa Israel sangat superior, memiliki kekuatan senjata dan dana yang sangat besar, jauh berbeda dengan Palestina yang diembargo, diblokade, dimiskinkan, dan dihalangi mobilitasnya. Sehingga, dalam pandangan PA, perlawanan bersenjata tidak mungkin dilakukan dan akan semakin banyak warga sipil yang menjadi korban. Al Maliki mengkritik sebagian pihak yang menyatakan, “Israel berhak membela diri” [dan karenanya sah saja disuplai senjata tercanggih dari AS sementara Palestina diembargo]. Menurutnya, “Ini pernyataan yang tidak logis. Israel membela diri dari apa? Bukankah mereka yang memiliki segala kekuatan militer?”
Yang dilakukan PA adalah: melakukan perlawanan non-violance (tanpa kekerasan); membangun persatuan bangsa; mempertahankan kegigihan/resistensi melawan penjajahan; dan menjalin kerjasama dengan organisasi internasional dan berbagai negara untuk mendapatkan dukungan bagi kemerdekaan Palestina. Menurut Al Maliki, “Israel memang superior, tapi kami punya keberanian, dan kami punya negara-negara sahabat yang selalu mendukung kami; keberadaan para sahabatlah yang membuat kami terus bertahan.”
PA Menolak Rancangan Perdamaian Buatan ‘Three Musketeer’
Penyelesaian konflik Palestina-Israel sangat bergantung pada AS. Lobbyist Israel di Washington telah sangat sukses menanamkan doktrin bahwa kepentingan nasional AS sama dengan kepentingan nasional Israel. Jadi, selama AS yang sangat adidaya dan punya sangat banyak uang itu terus melindungi Israel, situasinya akan terus seperti saat ini. Apapun upaya masyarakat internasional untuk menghentikan kejahatan Israel akan terhalang oleh veto dari AS.
President Trump membentuk tim inti yang ditugasi menjadi mediator bagi penyelesaian konflik ini, yaitu Jared Kushner (menantu Trump), Jason Greenblatt (Utusan AS untuk Timteng), dan David Melech Friedman (Dubes AS untuk Israel). Al Maliki (dan berbagai media) menyebut tiga orang ‘the three musketeer’. Ketiganya adalah orang AS keturunan Yahudi dan sangat pro-Israel. Tak heran bila rencana perdamaian yang mereka usulkan (dan diklaim sebagai ‘Rencana Baru Abad Ini’) sangat berat sebelah. Greenblatt pernah mengatakan, “AS tidak akan mengusulkan rencana perdamaian yang tidak memenuhi semua aspek keamanan Israel.”
Menlu Al Maliki mengatakan bahwa dalam ‘rancangan perdamaian’ yang dibuat ‘the three musketeer’ itu, enam isu penting dan mendasar tentang Palestina diabaikan begitu saja, yaitu: perbatasan, permukiman illegal (settlement), pengungsi, air, keamanan, dan status Yerusalem. Inti dari rancangan itu adalah menukar isu tentang penjajahan, kejahatan kemanusiaan, dengan isu ekonomi. Palestina diberi insentif ekonomi, tapi ke-6 isu fundamental itu diabaikan.
“Bagaimana mungkin Palestina mau menerima rencana “perdamaian” yang sama sekali tidak menghiraukan enam masalah fundamental itu?” kata al-Maliki.
Ini penjelasan saya [Dina] tentang 6 isu tersebut:
(1) masalah perbatasan wilayah; bangsa Palestina sudah bersedia menerima wilayah 1967 (Gaza+Tepi Barat+ Jerusalem timur) sebagai wilayah negara Palestina. Tapi yang terjadi, Israel terus melakukan perampasan tanah di Tepi Barat. (2) Permukiman illegal: Israel terus membangun permukiman khusus Yahudi di atas tanah-tanah yang dirampas itu, (3) pengungsi: ada 5 juta orang Palestina yang menjadi pengungsi; hak-hak mereka harus dipulihkan; tapi yang terjadi adalah AS justru menghentukan bantuannya pada UNRWA yang selama ini menangani urusan para pengungsi.
(4) Air: orang Israel menguasai sumber-sumber air dan membuat orang Palestina kekurangan air; bahkan sumber air digunakan untuk mengairi peternakan ayam (dan ayamnya dieskpor) sementara warga Palestina dibiarkan kekeringan, tidak kebagian air; (5) keamanan: tentara Israel semena-mena melakukan penembakan, penahanan, dan pembatasan mobilitas warga Palestina. Bahkan (ini cerita dari al-Maliki), Presiden Mahmoud Abbas pun tidak bisa keluar dari rumahnya sendiri di Ramallah tanpa seizin tentara Israel. (6) Status Yerusalem: AS telah melakukan pelanggaran konvensi internasonal dan resolusi PBB dengan mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedubes AS ke kota itu.
Trump, Three Musketeer, dan the Deep State
Nah, ini cerita menarik di balik layar yang disampaikan Al Maliki. Dalam berbagai perundingan, Trump awalnya menggunakan akal sehatnya. Misalnya, saat diberi tahu betapa pembangunan permukiman oleh Israel adalah illegal dan melanggar hukum internasional, Trump spontan langsung menyuruh timnya untuk meminta Israel agar menghentikan aksi illegal itu. Tapi, ketiga penasehat itu (the three musketeer) langsung memotong Trump dan menolak instruksinya dengan menyebut, “Jangan! Nanti kita bermasalah dengan Israel!”
Lalu, ketika Trump diberi tahu soal opsi two state solution (dua negara Israel-Palestina berdiri berdampingan), dia langsung setuju, tapi lagi-lagi dicegah oleh the three musketeer, dengan alasan, nanti Israel marah. Bahkan ketika pihak Palestina menyatakan menerima opsi ada pasukan perdamaian AS di Tepi Barat (asal tidak ada satupun tentara Israel di sana), Trump pun setuju dan ingin mengirim pasukan, tapi tentu saja dihalangi lagi oleh the three muskeeteer.
Bahkan Trump pernah mengulangi konperensi persnya di AS, karena di konpers pertama dia mengucapkan dukungan pada two-states solution. Ini bertentangan dengan keinginan Israel. Akhirnya konpers diulang dan Trump mengatakan, “If the Israelis and Palestinians want one-state, that’s OK with me. If they want two states, that’s OK with me. I’m happy if they’re happy.”
[Note: one-state yang dimaksud di sini adalah versi Israel, yaitu berdirinya satu negara Israel dimana semua wilayah Palestina diambil alih dan orang Palestina diusir keluar; seluruh jejak-jejak Palestina diruntuhkan dan di-Yahudi-sasi; dan proses ini sedang berlangsung. Saya pernah menulis tentang opsi one-state solution versi ‘berkeadilan’, bisa dibaca di sini [1]. Sementara itu, PBB, dan pemerintah Indonesia, mendukung two-state solution]
Kisah yang diceritakan al-Maliki tentang bagaimana proses negosiasi di balik layar itu membuktikan apa yang banyak ditulis orang mengenai “the deep state”. Siapapun presiden AS, kebijakan perangnya dan sikapnya terhadap Israel akan tetap sama. Bahkan profesor HI di AS pun sudah menulis bahwa sikap AS yang terus mendukung Israel (dan membuang sangat banyak uang pajak rakyat untuk berperang demi Israel dan memberi hibah uang rutin setiap tahun pada Israel) bertentangan dengan kepentingan nasional AS sendiri [2]. Saya pernah menulis buku Obama Revealed [3] yang memberikan bukti-bukti bagaimana presiden AS (terutama Obama) sangat dikooptasi oleh lobbyist Israel dan menteri-menterinya pun dipilih dari mereka yang memiliki jaringan kuat dengan Israel.
Kata Al-Maliki, keberadaan ‘the three musketeer’ yang sangat pro Israel jelas membuat posisi AS sama sekali tidak ideal untuk menjadi mediator. Itulah sebabnya Otoritas Palestina menolak ‘rancangan damai’ yang mereka tawarkan.
Bagaimana Tanggapan Al Maliki Terhadap Aksi Boikot Produk Israel?
Saya berkali-kali menulis di blog/FP tentang gerakan boikot produk Israel dan menyatakan bahwa ini adalah gerakan perlawanan non-violence dari masyarakat sipil sedunia. Perlawanan dengan cara serupa dulu di tahun 1980-an berhasil menumbangkan Rezim Apartheid Afrika Selatan. Ide dasar aksi boikot Israel adalah memberikan tekanan ekonomi sehingga diharapkan rezim Zionis yang apartheid bisa bubar, lalu digantikan oleh rezim demokratis yang beritikad baik menjalin perdamaian dan serius mencari solusi konflik dengan bangsa Palestina.[4]
Saya pun menanyakan tanggapan Sang Menlu yang ternyata pernah menjadi akademisi ini (dia punya PhD di bidang teknik sipil dan pernah menjadi dosen sekaligus aktivis perjuangan kemerdekaan Palestina).
Saya tanya, “Bagaimana pendapat Anda mengenai aksi boikot Israel yang banyak digelorakan di media sosial?”
Al-Maliki menjawab, yang intinya, bila masyarakat sipil (civil society) melakukannya tentu sangat baik, apalagi bila memanfaatkan media sosial untuk menyuarakan pembelaan kepada Palestina. “Media sosial adalah media yang sangat penting pada zaman ini,” kata Al Maliki.
Tapi, dalam posisi sebagai pemerintah, pihaknya tidak bisa secara frontal menyerukan boikot karena akan memberikan pesan yang berbeda (kontradiktif) ketika di saat yang sama mereka sedang melakukan berbagai upaya diplomatik.
Apa yang Bisa Dilakukan Masyarakat Internasional?
Dalam acara tersebut, juga hadir perwakilan dari UNRWA yang menjelaskan betapa besarnya kebutuhan dana untuk membantu dan melindungi para pengungsi Palestina (yang jumlahnya mencapai 5 juta orang). Selama ini 30% dana UNRWA disumbang oleh AS; namun sejak September 2018, AS menghentikan bantuan tersebut (sebagai ‘hukuman’ karena PA menolak ‘rancangan damai’ yang bias/pro-Israel itu). Jumlah bantuan AS tahun 2016 ke UNRWA adalah 355 juta USD (tapi di saat yang sama, AS memberikan dana hibah pertahun lebih dari 3 miliar USD ke Israel –untuk tahun 2019, Trump sudah meminta dana hampir 4 miliar USD untuk diberikan Israel; dan pada 2016, Obama menandatangani perjanjian bantuan paket militer sebesar 38 miliar USD untuk Israel). [5]
Untuk mengisi ‘kekosongan’ dana tahun ini akibat pemutusan bantuan dari AS, sejumlah negara Arab telah memberikan bantuan. Namun, untuk tahun-tahun selanjutnya, semua pihak perlu saling membantu. Menurut Menlu Retno L. Marsudi, pemerintah Indonesia berupaya membantu dengan cara menggalang dana dari berbagai organisasi masyarakat sipil, dari berbagai kalangan, lintas budaya dan lintas agama, Baznas, dan filantropis.
Sebagaimana selalu ditegaskan oleh pemerintah Indonesia, dari awal (zaman Sukarno) sampai sekarang: Indonesia selalu konsisten membantu perjuangan Palestina hingga menjadi negara yang merdeka dan berdaulat karena inilah amanah UUD 45, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Saya akhiri tulisan ini dengan kembali mengutip pidato Presiden Joko Widodo (11/5/18), “Kita bersama rakyat Indonesia akan terus berjuang bersama rakyat Palestina. Palestina akan selalu ada dalam setiap helaan napas diplomasi Indonesia.”
#VivaPalestine
#IndonesiaSolidarityWeekForPalestine
—
[1] “One State Solution”
[2] Soft file paper Prof Mearsheimer