
Anak-anak di kamp pengungsi Jabalia, Gaza (foto 14 Mei 2017/ Xinhua/Wissam Nassar)
Oleh: Majed Abusalama
Dalam beberapa hari terakhir, ketika Israel meningkatkan operasi militernya di Gaza, yang saya saya pikirkan hanyalah keponakan saya yang berusia satu tahun, yang tinggal bersama anggota keluarga saya yang lain di sebuah kamp pengungsi di sana.
Meskipun dia masih balita, dia sudah belajar untuk bergegas dan bersembunyi di balik kursi atau di bawah meja setiap kali dia mendengar ledakan yang disebabkan oleh serangan udara Israel.
Dia, seperti anak-anak lain di Gaza, memulai masa kecilnya pada suatu waktu dan di tempat di mana Israel secara teratur melakukan kejahatan perang dengan kekebalan hukum, yang tidak tahu malu.
Pada akhir serangan militer terakhir di Gaza (November 2019), pemerintah Israel menyatakan dengan penuh kemenangan bahwa mereka telah melakukan “surgical strike” (serangan pembedahan) di Gaza dan telah membunuh “teroris”. Sekali lagi, Israel menyatakan bahwa mereka melakukan serangan itu karena mereka memiliki “hak untuk mempertahankan diri” dan dunia mengamininya.
Tapi mari kita perhatikan tindakan Israel lebih dekat.
Israel menyebutnya dengan “target pembunuhan” (target killing), yaitu Komandan Jihad Islam Bahaa Abu al-Ata dan istrinya, Asmaa, diikuti oleh pemboman beberapa daerah lain di sekitar Jalur Gaza. Dengan kata lain, “pembantaian” (assasination) Abu al-Ata dan Asmaa, demikian kami menyebutnya di Palestina, hanyalah awal. Hingga Jumat pagi, “serangan pembedahan” Israel telah menewaskan 34 warga Palestina, hampir setengahnya adalah warga sipil, termasuk delapan anak-anak dan tiga wanita.
Tentunya tidak ada “pembedahan” dalam pengeboman yang membunuh tidak hanya terdakwa militan – tanpa hakim, juri, dan persidangan – tetapi juga istri, anak-anak, dan masyarakat umum. Seorang dokter bedah tidak membunuh secara massal, penjahat peranglah yang melakukannya.
Namun, “komunitas internasional” kembali menolak untuk mengutuk serangkaian pembunuhan di luar hukum dan penggunaan bom mematikan yang sembarangan di daerah-daerah sipil yang berpenduduk padat ini.
Avi Berkowitz, Wakil Asisten Presiden AS Donald Trump dan anggota terkemuka dari apa yang mereka sebut “Tim Perdamaian Timur Tengah” men-tweet: “AS sepenuhnya mendukung mitra & sekutu kami, Israel, dalam perjuangan mereka melawan terorisme dan kelompok teroris, Jihad Islam Palestina. ”
Uni Eropa, memfokuskan kemarahannya pada roket yang ditembakkan dari Jalur Gaza ke Israel sebagai balasan atas pembunuhan Abu al-Ata dan tetap diam atas akasi pembunuhan warga sipil Palestina oleh Israel.
“Pagi ini, Israel melakukan operasi di dalam Gaza dengan menargetkan seorang pemimpin senior Jihad Islam Palestina. Sebagai tanggapan, roket ditembakkan dari Gaza di Israel selatan dan tengah,” sebuah pernyataan dari layanan luar negeri UE mengatakan. “Penembakan roket pada penduduk sipil benar-benar tidak dapat diterima dan harus segera dihentikan.”
Saya berharap bisa mengatakan bahwa reaksi ini mengejutkan. Tapi kami, rakyat Gaza, terbiasa dengan keheningan dunia dalam menghadapi serangan brutal Israel terhadap kami. Selama 20 tahun terakhir, bahkan pernyataan paling simpatik yang datang dari Eropa hanya menyatakan kekhawatiran terhadap apa yang mereka sebut “eskalasi” dan sepenuhnya mengabaikan hukuman kolektif yang sedang dilakukan oleh Israel, serta penindasan dan pembungkaman rakyat Palestina. Dan pemerintah “pasca-kolonial” di seluruh dunia membuktikan bahwa mereka tidak belajar apa pun dari sejarah mereka sendiri dengan tetap diam tentang ketidakadilan yang dihadapi rakyat Palestina di tangan koloni pemukim Israel.

Kamp Pengungsi Jabalia, Gaza
Saya dibesarkan di Kamp Pengungsi Jabalia di Gaza. Saya adalah anak pengungsi yang tidak memiliki kewarganegaraan, tinggal bersama orang tua saya, empat paman saya, istri dan anak-anak mereka, dan kakek-nenek di total lima kamar.
Saya hidup melalui Intifada Pertama. Saya hidup dalam ketakutan terus-menerus pada tentara yang menggerebek rumah kami dan menangkap ayah dan paman saya karena kegiatan politik mereka. Saya menyaksikan penembakan di dekat taman kanak-kanak saya. Saya tinggal di sekolah dasar yang ditembaki. Sekolah saya dibombardir dengan amunisi fosfor putih, senjata yang ilegal. Kemudian saya mengalami kebrutalan respons Israel terhadap Intifada Kedua. Saya tumbuh menjadi remaja dan kemudian menjadi dewasa dengan melalui banyak serangan, invasi, dan pembantaian.
Kemudian saya menjadi jurnalis, pekerja kemanusiaan dan pembela HAM.
Saya melakukannya karena saya ingin membantu bangsa saya dan mendokumentasikan kejahatan perang Israel yang mengerikan, dan memperlihatkannya kepada dunia. Pada Januari 2014, ketika saya mengorganisir protes di dekat zona penyangga di timur Gaza dengan para pemuda lainnya, saya ditembak di kaki dengan peluru tajam. Padahal saat itu, kami hanya menanam pohon lemon dan zaitun secara damai. Saya selalu mendorong perlawanan rakyat yang damai di Gaza. Sayangnya, Israel jarang membiarkan situasi tetap “damai” di Gaza, seperti yang telah kita saksikan setiap minggu sejak dimulainya Great March of Return pada Maret 2018.
Saya beruntung bisa selamat dan mendapatkan kesempatan untuk meninggalkan Gaza pada bulan-bulan berikutnya. Saya trauma karena apa yang terjadi pada saya, tetapi saya tidak punya waktu untuk fokus pada apa yang saya rasakan. Dengan dimulainya Operation Protective Edge, kami bangsa Palestina diserang sekali lagi. Saya harus melaporkan dan menceritakan kisah kami, sambil menghabiskan setiap detik setiap hari dengan penuh kekhawatirkan atas nasib keluarga saya. Saya memulai tur keliling Eropa, untuk memberi tahu orang-orang tentang penderitaan warga Gaza semampu saya. Saya juga akan menempuh pendidikan MPhil (Magister Filsafat) dalam studi perdamaian dan transformasi konflik di Norwegia. Saya sekarang menetap di Berlin.
Saya sekarang mungkin aman di Eropa, tetapi ribuan anak Gaza, termasuk keponakan saya Ela’a, berusaha untuk bertahan hidup dalam kondisi buruk yang sama seperti yang dulu pernah saya lalui. Saya takut Ela’a akan memiliki masa kecil yang menyedihkan seperti yang saya miliki, jika tidak lebih buruk. Jika keadaan tidak berubah, dan berubah dengan cepat, dia akan menghabiskan sebagian besar masa kecilnya bersembunyi dari bom Israel di belakang kursi dan di bawah meja. Dan bahkan selama masa “perdamaian” dia harus menanggung kondisi yang mengerikan di tempat yang disebut “tidak layak huni” oleh PBB.
Air di Gaza sekarang tidak bisa diminum. Airnya terkontaminasi, dan langka karena pengepungan brutal Israel dan pemboman infrastruktur. Buruknya kualitas air menyebabkan kematian dan penyakit.
Warga Gaza hanya mendapatkan listrik enam hingga delapan jam setiap hari, kadang-kadang tidak mendapatkan listrik selama 24 jam penuh. Kerawanan pangan juga tinggi di Jalur Gaza. Para petani tidak diizinkan menanam tanaman pangan di tanah yang berdekatan dengan apa yang disebut “zona penyangga”, yaitu di sepanjang pagar yang didirikan Israel karena alasan “keamanan”. Sekitar 30 persen dari lahan pertanian Gaza tidak dapat diolah tanpa risiko pribadi yang parah, menyebabkan hilangnya mata pencaharian sangat banyak orang. Nelayan juga tidak dapat melemparkan jala mereka dengan bebas, karena blokade laut Israel tidak memungkinkan mereka untuk sepenuhnya menggunakan perairan teritorial Gaza. Rumah keluarga saya di Gaza berjarak 1,5 km dari laut dan kami rutin mendengar kapal perang Israel menembaki para nelayan Palestina.
Puing-puing mendominasi pemandangan di Gaza. Pengepungan yang dilakukan Israel (sejak 2017) terhadap Gaza membuat bahan-bahan bangunan tidak bisa memasuki perbatasan Gaza. Karena itulah, setelah setiap serangan Israel, bangunan yang rusak dan hancur tidak dapat dibangun kembali.
Blokade tidak hanya menghalangi masuknya barang-barang, tetapi juga melarang warga meninggalkan penjara terbuka ini. Rumah sakit kekurangan obat-obatan dan peralatan, namun pasien harus mendapatkan izin dari Israel untuk pergi berobat ke tempat lain; banyak yang mati saat menunggu izin itu.
Siswa yang ingin belajar di luar negeri juga tidak dapat pergi. Saya adalah salah satu dari sedikit yang beruntung. Setelah lebih dari setahun mencoba, berjuang dan menunggu, saya berhasil keluar. Banyak orang lain tidak seberuntung itu.
Jadi masa depan seperti apa yang benar-benar dimiliki keponakan saya dan anak-anak lain di Gaza? Meminum air beracun, bahan makanan yang tidak bisa dimakan, menghindari bom dan berdoa agar suatu hari dia bisa mendapatkan selembar kertas dari penyiksanya sehingga dia bisa meninggalkan penjara tempat dia dilahirkan? Menjadi bagian dari statistik PBB yang memberi tahu dunia untuk kesekian kalinya tentang bencana kemanusiaan di Gaza dan seberapa jahatnya pengepungan dan pembantaian yang dilakukan Israel?

Cadangan air yang didistribusikan PBB di Gaza (AFP)
Namun, komunitas internasional terus bertindak seolah-olah rakyat Gaza yang harus disalahkan atas penderitaan mereka sendiri. Seolah-olah 365 kilometer persegi tanah yang berusaha dipertahankan oleh warga Gaza adalah negara yang sebenarnya, dengan tentara, angkatan laut, kubah besi, pesawat tempur, tempat berlindung, teknologi militer terbaru yang didanai oleh AS dan negara-negara Eropa. Seolah-olah dua juta orang yang diperas di jalur Gaza ini sedang berperang dengan perlengkapan yang setara dengan Israel, dan mereka bukanlah pengungsi miskin yang sedang dijajah, dilanggar, dan dirampas haknya selama puluhan tahun.
Abu al-Ata adalah seorang “teroris” karena mengangkat senjata melawan penindasan rakyatnya, jadi dia “melalui operasi pembedahan” dihilangkan (keluarganya menjadi “kerusakan sampingan”) tanpa proses hukum dan bagi komunitas internasional semua ini bukanlah masalah.
Warga Palestina yang tidak bersenjata adalah “ancaman” keamanan ketika melakukan aksi protes di dekat pagar Israel, sehingga 213 dari mereka terbunuh, termasuk 46 anak-anak, dua wanita, sembilan orang cacat, empat paramedis dan dua jurnalis, sementara 14.115 orang terluka dan itu pun “tidak apa-apa” buat dunia.
Dua juta warga Palestina yang tinggal di Gaza adalah ancaman demografis utama bagi Israel, sehingga mereka disimpan dalam kondisi yang tidak manusiawi dan kadang-kadang dibom – dan itu “tidak masalah”.
Bagi mereka yang disebut “komunitas internasional” ini, semua kejahatan yang dilakukan terhadap Palestina tampaknya dapat dimaafkan.
Di dunia ini, di bawah pengawasan “komunitas internasional” ini, keponakan kecil saya Ela’a akan tumbuh dewasa, sebagai seorang gadis Palestina dari Gaza. Suatu hari, kami akan mengingat mereka yang peduli dan mendukung perjuangan kami, dan kami akan meminta pertanggungjawaban orang-orang yang memilih untuk terlibat dalam kejahatan perang Israel melalui sikap diam mereka.
Diterjemahkan oleh DYS. Sumber.