Baca bagian 3
Bagian 4
AS Melempar Tanggung Jawab ke Sekutu Arabnya
Tapi kemudian, di tahun 2014, ISIS yang kita dukung ini malah membuat takut bangsa Amerika karena aksi-kasi pemenggalan kepala yang mereka lakukan, yang menggiring satu juta pengungsi Suriah menuju AS dan Eropa.
“Strategi-strategi berdasarkan gagasan bahwa ‘musuh dari musuhku adalah temanku’ adalah kebodohan,” kata Tim Clemente, yang memimpin Pasukan Gabungan Anti Terorisme FBI (2004-2008) dan menjabat sebagai penghubung antara FBI, Kepolisian Nasional Irak, dan militer AS di Irak.
“Kita membuat kesalahan yang sama seperti ketika kita melatih ‘mujahidin’ di Afghanistan. Saat orang-orang Rusia pergi, ‘teman-teman’ kita [mujahidin] mulai menghancurkan benda/bangunan kuno, memperbudak wanita, memotong tubuh [hukum qishash] dan menembaki kita,” Clemente menceritakan kepada saya dalam sebuah wawancara.
Ketika “Jihadi John” ISIS mulai membunuh tawanan-tawanannya di depan kamera TV, Gedung Putih mulai mengurangi narasi tentang penggulingan Assad dan lebih banyak tentang stabilitas regional. Pemerintahan Obama mulai membuat batas antara pemerintah dengan pemberontak yang kita danai itu. Gedung Putih mulai mengarahkan tuduhan [sebagai donatur ISIS] kepada sekutu-sekutu kita [Saudi, Turki, dll]. Pada tanggal 3 Oktober 2014, Wakil Presiden Joe Biden mengatakan kepada mahasiswa di Forum John F. Kennedy Jr. di Institut Politik di Harvard bahwa “sekutu kita di kawasan Timteng adalah masalah terbesar kita di Suriah.” Dia menjelaskan bahwa Turki, Arab Saudi, dan UEA “begitu ingin menggulingkan Assad”, bahwa mereka telah melancarkan “perang proxy Sunni-Syiah”, mereka menyalurkan “ratusan juta dolar dan puluhan ribu ton senjata ke siapa saja yang akan melawan Assad, di antaranya al-Nusra, dan al-Qaeda –dua kelompok yang bergabung pada tahun 2014 untuk membentuk ISIS.”
Biden tampak marah bahwa sekutu-sekutu kepercayaan kita tidak bisa dipercaya dalam mengikuti agenda Amerika. Sementara itu, di Timur Tengah, para pemimpin Arab secara rutin menuduh AS telah menciptakan ISIS, tuduhan yang tampak gila. Namun, banyak orang Arab, bukti-bukti keterlibatan AS begitu banyak sehingga mereka menyimpulkan peran penting AS dalam membina ISIS.
Bahkan, banyak dari para petempur ISIS dan komandan mereka adalah penerus ideologi dan organisasi para jihadis yang ditumbuhkan CIA selama lebih dari 30 tahun, dari Suriah, Mesir, hingga Afghanistan dan Irak.
Sebelum invasi Amerika, tidak ada Al Qaeda di Irak. Presiden George W. Bush menghancurkan pemerintah sekuler Saddam. Wakil Bush di Irak, Paul Bremer [menjabat sebagai pimpinan Coalition Provisional Authority in Iraq atau tepatnya ‘daerah pendudukan AS di Irak’], dalam kesalahan manajemennya yang fatal, secara efektif telah mendorong lahirnya ISIS. Bremer mengangkat Nouri Al Maliki yang bermazhab Syiah untuk berkuasa dan membubarkan Partai Ba’ath; ia juga memecat sekitar 700.000 orang yang sebagian besar Sunni dari pekerjaan mereka, mulai dari menteri hingga guru-guru sekolah. Dia kemudian memecat 380.000 orang tentara Irak, yang 80 persen-nya Sunni.
Tindakan Bremer melucuti satu juta anggota militer Sunni Irak dari pangkat, properti, kekayaan, dan kekuasaan mereka memunculkan kemarahan mereka, yang di saat yang sama memiliki pendidikan, kecakapan, keterampilan, dan kepemilikan senjata berat. Mereka pun membentuk milisi pemberontak dengan nama Al Qaeda Irak (AQI).
AQI-lah yang kemudian didanai oleh sekutu-sekutu kita di Timteng untuk menyerbu Suriah mulai tahun 2011. Pada April 2013, AQI berubah nama menjadi ISIS. Menurut Dexter Filkins dari New Yorker, “ISIS dijalankan oleh dewan mantan jenderal Irak. … Banyak dari mereka dulunya anggota Partai Ba’ath yang sekuler, lalu beralih jadi muslim radikal di penjara-penjara Amerika [antara lain Guantanamo].
Uang sebanyak 500 juta Dolar yang dikirim Obama sebagai ‘bantuan militer’ bagi ‘oposisi Suriah’ hampir semuanya jatuh ke tangan ISIS. Tim Clemente, mantan ketua Pasukan Gabungan Anti Terorisme FBI (2004-2008), mengatakan kepada saya bahwa perbedaan antara konflik Irak dan Suriah adalah bahwa jutaan lelaki Suriah lebih memilih melarikan diri ke Eropa daripada tetap berjuang untuk bangsa mereka [sementara di Irak, warganya tetap tinggal di Irak].
Penjelasan Clemente menunjukkan bahwa orang-orang moderat Suriah melarikan diri dari perang, dan memandang ini bukan perang mereka. Mereka hanya ingin lepas dari perang antara tiran Assad yang didukung Rusia versus pasukan ‘jihadis’ yang kita dukung demi proyek jalur pipa gas. Anda tidak dapat menyalahkan orang-orang Suriah untuk tidak mendukung bangsa mereka di antara pertarungan Washington dan Moskow. Negara-negara adidaya telah membuat orang Suriah idealis dan moderat “tidak punya pilihan”. Dan tidak ada yang mau mati untuk jalur pipa. [1]
Jadi, Apa Jawabannya?
Mengapa orang-orang Arab tidak menyukai kehadiran kita di Suriah? Jika tujuan AS adalah perdamaian jangka panjang di Timur Tengah, pemerintahan yang dijalankan sendiri oleh orang-orang Arab sendiri, serta keamanan nasional AS, kita harus melakukan intervensi baru di wilayah tersebut dengan melihat sejarah dan keinginan yang kuat untuk mempelajarinya. Hanya ketika orang-orang Amerika memahami konteks sejarah dan politik dari konflik ini, kita akan bisa mengawasi dengan tepat keputusan yang diambil para pemimpin kita. Dengan menggunakan gambaran dan bahasa yang sama seperti Perang Irak tahun 2003 melawan Saddam Hussein, pemimpin AS kembali membawa bangsa Amerika untuk percaya bahwa intervensi Suriah adalah perang idealis melawan tirani, terorisme, dan fanatisme agama.
Kita cenderung mengabaikan, bahkan sinis terhadap pandangan orang-orang Arab yang melihat krisis saat ini sebagai tayangan ulang skenario lama tentang jalur pipa dan geopolitik. Tapi, jika kita ingin memiliki kebijakan luar negeri yang efektif, kita harus melihat konflik Suriah sebagai perang untuk menguasai sumber daya, tidak berbeda dari klandestin dan perang minyak diam-diam di masa lalu, di Timur Tengah, selama 65 tahun terakhir.
Dan hanya ketika kita melihat konflik ini sebagai perang proxy atas jalur pipa gas, peristiwa demi peristiwa menjadi dapat dipahami. Ini satu-satunya paradigma yang menjelaskan mengapa anggota Republik di Capitol Hill [Parlemen] dan pemerintahan Obama [Demokrat] masih terpaku pada [agenda] perubahan rezim daripada stabilitas regional, mengapa pemerintahan Obama tidak menemukan satupun kaum moderat Suriah yang mendukung perang, mengapa ISIS meledakkan sebuah pesawat penumpang Rusia, mengapa Saudi mengeksekusi ulama Syiah yang berkuasa hanya agar kedutaan mereka dibakar di Teheran, mengapa Rusia membom para petempur non-ISIS dan mengapa Turki menembak pesawat tempur Rusia. Jutaan pengungsi yang sekarang membanjiri Eropa adalah pengungsi dari perang jalur pipa dan salah langkah CIA.
Clemente membandingkan ISIS dengan FARC Kolombia –sebuah kartel narkoba dengan ideologi revolusioner untuk menginspirasi para prajuritnya. “Anda harus memikirkan ISIS sebagai kartel minyak,” kata Clemente. “Pada akhirnya, uang adalah alasan untuk menguasai. Ideologi agama adalah alat untuk menginspirasi tentara-tentaranya guna memberikan nyawanya bagi sebuah kartel minyak.”
Setelah kita mengupas konflik ini dari lapisan kemanusiaan dan mengakui konflik Suriah sebagai perang minyak, strategi kebijakan luar negeri kita menjadi jelas. Seperti orang-orang Suriah melarikan diri ke Eropa, tidak ada orang Amerika yang mau mengirim anak mereka untuk mati demi jalur pipa. Oleh karena itu, prioritas utama AS seharusnya adalah mengurangi kecanduan minyak Timteng, dan hal ini bisa dilakukan seiring dengan independensi energi AS. Selanjutnya, kita perlu secara drastis mengurangi kehadiran militer kita di Timur Tengah dan mengijinkan orang-orang Arab mengontrol negeri-negeri Arab. Selain bantuan kemanusiaan dan menjamin keamanan perbatasan Israel, AS tidak memiliki legitimasi yang sah untuk berperan dalam konflik ini. Fakta menunjukkan bahwa AS berperan dalam menciptakan krisis, namun sejarah menunjukkan bahwa kita memiliki sedikit kemampuan untuk mengatasinya.
Saat kita merenungkan sejarah, kita akan menahan nafas saat mendapati betapa banyaknya intervensi kekerasan di Timur Tengah sejak Perang Dunia II oleh AS, yang mengakibatkan kegagalan yang menyedihkan dan membawa pukulan balik yang mahal dan mengerikan. Tahun 1997, menurut laporan Departemen Pertahanan AS, “data menunjukkan korelasi kuat antara keterlibatan AS di luar negeri dan peningkatan serangan teroris melawan AS”. Mari kita hadapi: apa yang kita sebut “perang melawan teror” sesungguhnya perang demi minyak. Kita telah menyia-nyiakan 6 triliun Dolar dalam tiga perang luar negeri dan dalam menciptakan ‘perang keamanan nasional’ di dalam negeri sejak pengusaha minyak Dick Cheney memproklamasikan “Perang Panjang” (long war) pada tahun 2001.
Satu-satunya pemenang dalam semua perang ini adalah para kontraktor militer dan perusahaan minyak yang telah mengeruk keuntungan finansial sangat besar, badan-badan intelijen yang kekuasaannya semakin membesar sehingga merugikan kebebasan kita, dan para jihadis yang memanfaatkan intervensi kita sebagai alat perekrut yang paling efektif [mereka merekrut jihadis dengan alasan ‘jihad melawan kafir AS’–pent].
Kita telah mengkompromikan nilai-nilai kita, membantai pemuda kita sendiri, membunuh ratusan ribu orang yang tidak bersalah, menumbangkan idealisme kita dan menyia-nyiakan harta nasional kita demi petualangan sia-sia dan mahal di luar negeri. Dalam proses ini, kita telah membantu musuh terburuk kita dan mengubah AS yang pernah menjadi mercusuar kebebasan dunia menjadi sebuah negara yang warganya diawasi ketat demi ‘keamanan nasional’ dan negara yang terasingkan secara moral di dunia internasional.
Para Bapak Bangsa (founding father) Amerika telah memperingatkan kita untuk menolak keterlibatan tentara di negara asing dalam kata-kata John Quincy Adam, “pergi ke luar negeri untuk mencari monster untuk dihancurkan.” Orang-orang bijak memahami bahwa imperialisme di luar negeri tidak sesuai dengan demokrasi dan hak-hak sipil yang dimiliki bangsa ini. Piagam Atlantik meneriakkan cita-cita para Bapak Bangsa, bahwa setiap bangsa harus memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Selama tujuh dekade terakhir, Dulles bersaudara, geng Cheney, kubu neokonservatif, dan sejenisnya telah membajak prinsip-prinsip dasar idealisme Amerika ini dan menggunakan tentara dan intelijen kita untuk melayani kepentingan dagang perusahaan-perusahaan besar, khususnya perusahaan minyak dan kontraktor militer, yang telah menciptakan pembunuhan dalam konflik ini.
Sudah waktunya bagi orang-orang Amerika untuk menolak imperialisme baru ini dan kembali ke jalan idealisme dan demokrasi. Kita harus membiarkan orang-orang Arab memerintah di negeri mereka sendiri dan memanfaatkan energi kita untu membangun bangsa kita sendiri. Kita perlu memulai proses ini, tidak dengan menginvasi Suriah, tetapi dengan mengakhiri kecanduan terhadap minyak yang telah menghancurkan [diri sendiri dan Timteng—pent.] dan telah menyesatkan kebijakan luar negeri AS selama setengah abad. (TAMAT)
Penerjemah: Ayu Lestari. Sumber: http://www.politico.eu/article/why-the-arabs-dont-want-us-in-syria-mideast-conflict-oil-intervention/
—
Catatan Redaksi ICMES:
[1] Narasi ini memiliki bias, bila kita bandingkan dengan beberapa data berikut:
- Pada Pemilu 3 Juni 2014 Assad kembali terpilih dengan 88,7% suara. Turn-out vote saat itu atau jumlah orang dengan hak pilih yang datang ke kotak suara adalah 73,42% atau sekitar 10,2 juta orang.
- Angka 4 juta pengungsi Suriah ke Eropa pun sebenarnya masih diragukan, angka ini dimunculkan oleh media mainstream dan LSM-LSM pendukung perang Suriah. Kenyataannya, gelombang pengungsian dari negara-negara Muslim ke Eropa telah dimulai sejak 2011, yaitu sejak tergulingnya Qaddafi. Data UNHCR menyebut bahwa selama 2014 saja, total 3500 migran (dari berbagai negara) tewas dalam upaya mereka mencapai Eropa. Pada 27 Agustus 2015, dua kapal yang mengangkut 500 migran tenggelam di perairan Zuwara, Libya. Sebelumnya, pada Februari 2015, 300 migran dari Afrika Utara tenggelam di laut Mediterania, berasal dari Pantai Gading, Senegal, Gambia, Niger, Mali, dan Mauritania (data dari International Organisation for Migration-IOM). Sedemikian masifnya gelombang pengungsi dari Afrika ini, sampai-sampai Italia sejak Oktober 2013 meluncurkan operasi khusus bertajuk Mare Nostrum, segera setelah terjadinya tragedi Lampedusa di mana 366 migran tewas tenggelam.
- Data dari BBC menyebutkan, sepanjang 2014-2015, pengungsi Suriah ke Eropa berjumlah 106.039 orang, Afghanistan 61.826, Pakistan 6.641, Kosovo 23.260, Eritrea 23.878, Nigeria 10.747, dan negara-negara Sub Sahara Afrika lainnya 9.766. Selain itu, lebih dari 300.000 orang meninggalkan Libya pada Januari-Agustus 2015, dan angka ini meningkat 40% dari tahun 2014.
- Reportase the Telegraph menunjukkan sebaliknya, dukungan kepada Assd http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/middleeast/syria/10770311/Syria-As-the-bombs-fall-the-people-of-Damascus-rally-round-Bashar-al-Assad.html