AS Versus Arab di Suriah (2)

Baca bagian 1

BAGIAN 2

AS Menyokong Saddam Melawan Iran

Setelah terusir dari Irak dan Suriah, Kim Roosevelt melarikan diri dari Timur Tengah untuk bekerja sebagai eksekutif di industri perminyakan. Selama karirnya di CIA, ia telah mengabdi dengan baik. Agen CIA pengganti Roosevelt, James Critchfield, bersekongkol melakukan pembunuhan yang gagal terhadap Presiden Irak baru menggunakan saputangan beracun, ini menurut Weiner. Lima tahun kemudian, CIA akhirnya berhasil menggulingkan Presiden Irak dan melantik Partai Ba’ath di Irak.

Seorang pembunuh muda kharismatik bernama Saddam Hussein adalah salah satu pemimpin terkemuka dari Partai Ba’ath yang didukung CIA. Sekretaris Partai Ba’ath, Ali Saleh Sa’adi, yang menjabat bersama Saddam Hussein, mengatakan, “Kami menempati kekuasaan melalui kendaraan CIA,” menurut Said Aburish, seorang jurnalis dan penulis dalam bukunya, A Brutal Friendship: The West and the Arab Elite. Aburish menceritakan bahwa CIA menyiapkan sebuah daftar orang-orang “yang harus dibunuh secepatnya untuk segera meraih kemenangan” untuk Saddam dan komplotannya. Tim Weiner menulis bahwa Critchfield kemudian mengakui bahwa CIA pada dasarnya, “menciptakan Saddam Hussein.”

Selama tahun-tahun pemerintahan Reagan, CIA menyokong Saddam dengan uang miliaran dolar untuk pelatihan, senjata, dan intelijen perang pasukan khusus. CIA mengetahui bahwa ia menggunakan gas Mustard,  gas saraf, dan senjata biologis – termasuk virus antraks yang didapat dari pemerintah AS – dalam perang melawan Iran. Reagan dan direktur CIA, Bill Casey, menganggap Saddam sebagai teman potensial untuk industri perminyakan AS dan penghalang kokoh terhadap penyebaran Revolusi Islam Iran. Utusan mereka, Donald Rumsfeld, menghadiahi Saddam dengan taji koboi emas dan senjata kimia/senjata biologis dan senjata konvensional pada kunjungannya tahun 1983 ke Baghdad. Pada saat yang sama, CIA secara ilegal mensuplai musuh Saddam, Iran, dengan ribuan rudal anti-tank dan anti-pesawat untuk melawan Irak. Ini adalah kejahatan yang dikenal dengan nama “skandal Iran-Contra”. Jihadis dari kedua belah pihak kemudian membelokkan banyak senjata yang disediakan CIA melawan rakyat Amerika. [1]

Bahkan ketika America merencanakan kelanjutan intervensi di Timur Tengah, kebanyakan orang Amerika tidak menyadari bahwa banyak ‘serangan balik’ akibat kesalahan CIA sebelumnya-lah yang menjadi akar dari banyak krisis yang terjadi saat ini. Berbagai konspirasi CIA di Timteng terus telah berlangsung selama berdekade terus menggema di ibukota nasional, masjid-masjid, sekolah, dan madrasah, melampaui isu-isu demokrasi dan Islam moderat.

Diktatorisme di Iran dan Suriah, termasuk Bashar al-Assad dan ayahnya, telah memanfaatkan sejarah kudeta berdarah CIA sebagai dalih untuk menjalankan pemerintahan yang otoriter dan memperkuat aliansi mereka dengan Rusia. [2] Kisah-kisah kudeta CIA Itu sangat dikenal oleh rakyat Suriah dan Iran, mereka secara alami segera memaknai segala langkah AS sebagai bentuk intervensi AS dalam konteks sejarah mereka.

Rumsfeld bertemu Saddamm di Baghdad (1983)

Rumsfeld bertemu Saddamm di Baghdad (1983)

Pipa Migas Suriah

Ketika pers Amerika mengulang-ulang narasi bahwa militer AS mendukung pemberontakan Suriah sebagai murni kemanusiaan, banyak orang Arab melihat konflik Suriah hanyalah perang proxy (menggunakan pasukan boneka atau kaki-tangan) untuk memperebutkan jalur pipa dan geopolitik. Mari kita mempertimbangkan fakta-fakta dalam mendukung perspektif ini.

Dalam pandangan bangsa-bangsa Arab, perang AS melawan Bashar Assad tidak dimulai dengan demo damai ala Arab Spring tahun 2011. Sebaliknya perang ini telah dimulai pada tahun 2000, ketika Qatar mengusulkan untuk membangun jalur pipa sepanjang 1.500 kilometer dengan nilai 10 milliar dolar, membentang dari Qatar, melalui Arab Saudi, Yordania, Suriah, lalu Turki dan masuk ke pasar Eropa. Qatar dan Iran memiliki cadangan gas alam terkaya di dunia. Namun embargo perdagangan internasional hingga saat ini membuat Iran tidak bisa mengekspor gasnya ke luar negeri. Sementara itu, gas Qatar bisa mencapai pasar Eropa hanya kalau cair dan dikirimkan melalui laut, sehingga volumenya terbatas dan berbiaya tinggi. Jalur pipa yang diusulkan akan menghubungkan langsung Qatar ke pasar energi Eropa melalui terminal distribusi di Turki, yang akan menghemat banyak biaya transportasi. Jalur pipa Qatar/Turki akan memberi kesempatan kepada kedua negara untuk mendominasi pasar gas dunia serta memperkuat Qatar, sekutu dekat Amerika di dunia Arab. Qatar adalah tuan rumah dari dua pangkalan besar militer Amerika dan kantor pusat Komando Sentral AS di Timur Tengah (US Central Command).

Uni Eropa, yang mengimpor 30 persen kebutuhan gasnya dari Rusia, sama-sama menginginkan jalur pipa ini, karena mereka akan mendapatkan gas dengan harga murah serta terbebas dari ketergantungan suplai dari Rusia, sehingga punya daya tawar politik lebih besar di hadapan Putin. Sementara itu, Turki, pelanggan gas terbesar kedua Rusia, ingin mengakhiri ketergantungannya kepada musuh lamanya itu dan hendak memposisikan diri sebagai pusat transaksi energi Asia-Eropa. Jalur pipa Qatar juga akan menguntungkan Arab Saudi karena dapat meningkatkan dominasinya di Suriah, negeri yang selama ini lebih dekat kepada Iran. Tujuan geopolitik Saudi adalah untuk menahan laju kekuatan ekonomi dan politik dari rivalnya, Iran karena Iran adalah negara Syiah dan sekutu dekat Bashar Assad. Monarki Saudi memandang pengambilalihan Irak oleh pemerintahan Syiah yang disponsori AS (rezim Nouri Al Maliki),  serta baru-baru ini, dicabutnya embargo perdagangan terhadap Iran oleh AS sebagai ancaman bagi dominasinya di kawasan. Saudi memerangi Yaman dan melakukan genosida di sana karena memandang milis Houthi adalah proxy Iran.[3]

pipa migas qatar vs iran

Pipa migas Qatar vs Iran

Tentu saja, Rusia, yang mengekspor 70 persen gasnya ke Eropa, melihat jalur pipa Qatar/Turki sebagai ancaman eksistensial. Dalam pandangan Putin, jalur pipa Qatar adalah sebuah persekongkolan NATO untuk mengubah status quo, mengikis kekuatan Rusia di Timur Tengah, mencekik ekonomi Rusia dan mengakhiri pengaruh Rusia di pasar energi Eropa. Pada tahun 2009, Assad mengumumkan bahwa ia menolak menandatangani perjanjian jalur pipa tersebut “untuk melindungi kepentingan sekutu kita, Rusia.”

Assad semakin membuat marah negara-negara Teluk setelah ia kemudian menandatangani MoU “jalur pipa Islam” yang disetujui Rusia, yaitu jalur pipa gas yang membentang dari ladang gas Iran, lalu ke Irak, masuk Suriah, dan berakhir di pelabuhan Lebanon, sebelum kemudian masuk ke pasar Eropa. “Jalur pipa Islam” (Islamic Pipeline) ini tentunya akan membuat Iran, bukan Qatar, yang menjadi pemasok utama untuk pasar energi Eropa dan secara drastis akan meningkatkan pengaruh Teheran di Timur Tengah dan dunia. Israel juga bertekad untuk menggagalkan jalur pipa tersebut karena akan memperkaya Iran dan Suriah, serta kemungkinan akan memperkuat Hizbullah dan Hamas.

Laporan rahasia dari agen-agen intel AS, Saudi, dan Israel menunjukkan bahwa saat Assad menolak jalur pipa Qatar itu, para strategis militer dan intelijen dengan cepat menyepakati proyek ‘pemberontakan Sunni’ di Suriah demi penggulingan Bashar Assad. Proyek ini dipandang sebagai cara tepat untuk mencapai tujuan bersama, yaitu pembangunan pipa gas Qatar/Turki. Pada tahun 2009, menurut WikiLeaks, segera setelah Bashar Assad menolak jalur pipa Qatar, CIA mulai mendanai kelompok-kelompok oposisi di Suriah. Penting untuk dicatat bahwa ini adalah kejadian sebelum munculnya demo-demo anti-Assad pada era “Arab Spring”.

Catatan Redaktur ICMES:

[1] Skandal Iran – Contra menurut versi Iran adalah merupakan strategi perang. Saat itu, Iran sudah terdesak dalam menghadapi agresi Saddam, dan kekurangan senjata. Pihak Iran melakukan upaya diplomatik rahasia, menyebar isu bahwa Imam Khomeini sudah hampir meninggal; selain itu Iran juga menawarkan akan membebaskan warga AS yang disandera Hizbullah sebagai kompensasi dari penjualan senjata tersebut. Pemerintah Reagan setuju untuk menyuplai senjata kepada Iran. Iran pun berhasil memukul mundur Irak, dan perang berakhir tahun 1988.

Kalimat Kennedy “Jihadis dari kedua belah pihak kemudian membelokkan banyak senjata yang disediakan CIA melawan rakyat Amerika” juga perlu dikritisi, jihadis mana yang dimaksud? Iran tidak pernah melakukan serangan kepada negara manapun dan satu-satunya “jihad” yang dikobarkan Iran adalah jihad melawan agresi Irak (jadi posisi Iran adalah sebagai negara berdaulat yang diserang oleh rezim Saddam yang didukung oleh AS, Eropa, Soviet, dan negara-negara Arab  secara bersamaan, pada era 1980-1988).

[2] “Diktatorisme” pemerintah Iran dan Suriah seperti apa yang dimaksud Kennedy? Bukankah Kennedy sendiri menulis bahwa kedua negara ini sepanjang sejarah modernnya menjadi korban aksi-aksi kudeta yang direncanakan CIA? Sangat wajar bila kedua negara melakukan pengamanan ekstra menjaga kedaulatan negara;  dan hal ini biasanya dianggap “diktator” oleh masyarakat Barat, termasuk Kennedy sendiri. Bagaimana dengan AS yang juga semena-mena menangkapi warga Muslim yang dicurigai teroris serta membangun Guantanamo yang sangat brutal? Apa pemerintah AS juga perlu disebut “diktator”?

[3] Narasi  bahwa Iran berada di balik suku Houthi sebenarnya sudah dibantah oleh intel AS sendiri. Bernadette Meehan, Dewan Keamanan AS mengatakan bahwa Iran tidak memiliki komando dan kontrol atas kelompok Houthi. http://www.huffingtonpost.com/2015/04/20/iran-houthis-yemen_n_7101456.html

Bersambung ke Bagian 3