Meskipun AS sudah angkat kaki dari Afghanistan setelah berperang selama 20 tahun di salah satu negara termiskin di dunia itu, namun AS masih terus berupaya melanjutkan dominasinya.
Setelah pemerintah Afghanistan runtuh secara tiba-tiba dan dikuasainya Kabul oleh Taliban pada hari Minggu 15 Agustus 2021, kini pasukan AS hanya terpusat di Bandara Kabul Afghanistan, sementara Kedutaan Besar AS telah ditinggalkan dengan tergesa-gesa. Pemerintah AS telah salah menghitung kecepatan Taliban dalam mengambil alih kekuasaan di Kabul.
Namun kini, AS menggunakan “soft powerâ€-nya untuk menekan Afghanistan. Pemerintahan Biden telah membekukan aset Afghanistan yang sebagian besar disimpan di AS. Jumlah total aset Afghanistan pekan lalu (saat Taliban mulai berkuasa) adalah 9 miliar USD, sebanyak 7 miliar USD disimpan di Federal Reserve dalam bentuk likuid dan emas.
“Setiap aset Bank Sentral yang dimiliki pemerintah Afghanistan di Amerika Serikat tidak akan diberikan kepada Taliban,†kata seorang pejabat AS kepada The Washington Post.
Sekitar 80% dari anggaran tahunan Afghanistan saat ini bersumber dari kantong Amerika Serikat dan pemerintah asing lainnya. Setelah Taliban berkuasa, IMF dan Bank Dunia telah menyatakan menahan bantuan mereka; demikian pula Jerman. Western Union juga menghentikan operasinya, sehingga pengiriman uang ke Afghanistan terhambat. AS telah menerapkan berbagi sanksi kepada Taliban, termasuk Executive Order 13224, yang isinya: melarang segala transaksi dengan Taliban. Executive Order ini ditandatangani oleh Presiden George W. Bush setelah serangan 11 September 2001.
Sanksi ekonomi ini jelas akan membuat salah satu negara termiskin di planet ini akan mengalami kesulitan besar. Sanksi ekonomi adalah melanggar HAM. Hal ini dinyatakan oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada tanggal 6 Mei 2019,  dalam mengomentari penerapan sanksi terhadap Iran, Venezuela, dan Kuba. Menurut Dewan HAM PBB, “penggunaan sanksi ekonomi [oleh pemerintah AS] untuk tujuan politik melanggar hak asasi manusia dan norma-norma internasional” dan memicu terjadinya bencana kemanusiaan yang jauh lebih besar.
Selama dua dekade terakhir, pemerintahan AS melakukan proyek “pembangunan bangsa†(nation-building) di Afghanistan, yang diwujudkan dalam pembentukan militer Afghanistan. AS membiayai dan melatih 300.000 militer Afghanistan, dan mempersenjatai dengan peralatan militer AS terbaru. Dalam periode 2001-2019, AS menghabiskan $133 miliar untuk proyek “pembangunan bangsa†ini.
Kini, China dan Rusia telah mendekat dengan Taliban, sementara AS menyaksikan proyek perangnya yang bernilai 2,2 triliun dolar itu sia-sia. Itulah sebabnya AS mengambil langkah yang jauh lebih agresif daripada para pesaingnya itu. AS mungkin tidak memiliki kehadiran fisik di Afghanistan di masa depan, tetapi sanksi ekonominya dapat mematikan lebih banyak rakyat sipil daripada angkatan bersenjatanya. Selama 20 tahun ini, lebih dari 150.000 rakyat sipil Afghanistan tewas di tangan tentara AS.
Sementara itu, Taliban sejak berbulan-bulan lalu terlihat melakukan langkah-langkah politik yang lebih pragmatis, berusaha menunjukkan bahwa mereka lebih rasional daripada Taliban 20 tahun yang lalu. Misalnya, Taliban bertemu dengan pemerintah China, Rusia, dan Iran. Februari 2021, para petinggi Taliban datang Turkmenistan, sebuah negara dengan cadangan gas alam terbesar keempat di planet ini. Di Turkmenistan, Taliban  berjanji untuk mendukung pembangunan pipa gas melalui Afghanistan dan memberikan jaminan stabilitas. Mereka juga membahas pembangunan infrastruktur kereta api di Afghanistan.
Namun, skeptisisme masih tinggi, apakah kelompok ini akan memenuhi janjinya, yaitu menjaga perdamaian, mendirikan pemerintahan yang inklusif, termasuk dengan menegakkan hak-hak kaum perempuan.
Diadaptasi dari tulisan Robert Inlakesh oleh Redaksi ICMES.