Analisis Israel yang Aneh Tentang Kurikulum Suriah Beredar di Timur Tengah

vltcheckOleh: Andre Vltchek

(Diterjemahkan oleh: Rossie Indira)

Teman saya, seorang pejabat senior PBB yang tinggal di Amman, Yordania, baru-baru ini menerima newsletter dari “IMPACT-se”, sebuah lembaga di Israel. Secara sederhana, laporan mereka diberi judul “Merumuskan Kembali Buku Teks Sekolah Selama Perang Saudara”.

Laporan tersebut berisi analisis menyeluruh tentang kurikulum di Suriah.

Tidak diragukan, isinya tentu hal-hal yang menarik: manipulatif, negatif, tapi menarik. Laporan ini telah tersebat ke berbagai tempat lain di Timur Tengah; ke Lebanon, misalnya, negara yang bahkan kata “Israel” pun hampir tidak pernah diucapkan.

Karena dibuat di Israel, dapat ditebak bahwa laporan tersebut mengecam Suriah, ideologinya, dan pendirian anti-imperialis yang tegas dari Presiden al-Assad.

Namun demikian, hal ini bisa menjadi bumerang. Kutipan yang diambil dari kurikulum Suriah dapat memberikan kesan baik kepada para pakar pendidikan, maupun masyarakat umum, jika mereka bisa mendapatkan kutipan-kutipan tersebut. Dan dengan esai ini saya mencoba untuk memfasilitasi hal tersebut.

Hal-hal yang menurut laporan itu keterlaluan dan tercela, bisa saja dianggap oleh orang lain sebagai hal yang sangat masuk akal dan positif. Mari kita baca, ini yang dikutip oleh “IMPACT-se”, sambil tetap curiga:

Saddam Hussein telah mengambil alih kekuasaan, dan periode itu kita menyaksikan sejumlah perang di wilayah Teluk Arab. Yang pertama adalah perang dengan Iran, yang disebut Perang Teluk Pertama (1980-1988), yang terjadi melalui hasutan Amerika Serikat, untuk melemahkan kedua negara. Buku Sejarah, Kelas 12, 2017–18, hal. 105.

Tulisan yang baik, bukan? Tapi secara filosofis, kurikulum ini lebih baik lagi. Bayangkan, karya intelektual yang brilian ini sebenarnya sudah diajarkan kepada semua anak-anak Suriah di sekolah-sekolah umum mereka, sementara di Eropa dan Amerika Utara, anak-anak dijejali propaganda arus utama neo-kolonialis. Tidak mengherankan jika anak-anak Suriah jauh lebih tahu tentang apa yang terjadi di dunia. Tidak mengherankan kalau sekarang jutaan pengungsi Suriah sudah siap untuk pulang ke tanah airnya, setelah mereka dilecehkan di luar negeri, dan setelah menyadari betapa propaganda Barat telah mengindoktrinasi dan mencuci otak oleh orang-orang di seluruh dunia.

“IMPACT-se” terus mengutip kurikulum Suriah, dengan naifnya mereka berpikir bahwa kata-kata yang terukir di sana akan membuat takut dunia:

Kompetisi dan perjuangan ini semakin memburuk ketika sistem kapitalis berkembang dan pasukan pendudukan baru seperti Amerika Serikat mengambil kendali atas politik internasional. Mereka mengeksploitasi supremasi ilmiah, teknologi, ekonomi dan militernya untuk memperluas pengaruhnya dan [mendapatkan] kendali atas kemampuan bangsa-bangsa di dunia. Hal ini dilakukan bekerjasama dengan para sekutunya untuk meningkatkan kehadirannya di arena internasional sebagai satu-satunya adidaya yang tak terbantahkan. Pendidikan Nasional, Kelas 8, 2017–18, hlm. 81. (Amerika Serikat) berusaha mempertahankan supremasinya dengan memonopoli perkembangan teknologi, mengendalikan kekayaan dan sumber energi di dunia, yang paling penting tentu saja minyak, dan memaksakan hegemoninya pada komunitas internasional. Pendidikan Nasional, Kelas 8, 2017–18, hlm. 82.”

Kutipan di atas bisa saja ditulis oleh Peter Koenig, seorang ekonom yang progresif, atau oleh pengacara internasional Christopher Black, atau, bahkan mungkin oleh saya sendiri.

Mereka yang menciptakan kurikulum Suriah ini telah menggabungkan dua hal dengan cemerlang: 1) fakta yang tak terbantahkan, 2) kesederhanaan yang elegan! Seharusnya kurikulum ini bukan hanya untuk anak-anak  di Timur Tengah, tetapi untuk anak-anak di seluruh dunia.

Lihatlah bagaimana mereka meringkas sejarah modern dengan terampil dan jujur:

“Setelah hilangnya keseimbangan internasional dan hegemoni tunggal mengambil alih dunia, Amerika Serikat mulai mencari alasan untuk membenarkan intervensinya di negara lain. Mereka menduduki Afghanistan pada tahun 2002, dengan dalih memerangi “terorisme” untuk mewujudkan tujuan politik dan ekonominya. Salah satu tujuannya adalah membangun pangkalan militer canggih yang dekat dengan negara-negara yang dianggapnya berbahaya (Rusia, China, India, Iran, dan Korea Utara). Selain itu, Afghanistan punya banyak sumber daya alam (seperti bijih besi dan gas). Pada tahun 2003, Amerika Serikat – dibantu oleh sekelompok negara lain – menyatakan perang terhadap Irak dengan dalih bahwa Irak punya senjata pemusnah massal dan membantu terorisme. Pendudukan ini terjadi setelah pengepungan yang tidak adil dan serangan udara terhadap kota-kota dan lembaga-lembaga di Irak, walau tanpa izin dari majelis umum PBB dan Dewan Keamanan. Pendidikan Nasional, Kelas 8, 2017–18, hlm. 82

 

Membuat dunia menjadi satu bentuk, satu struktur dan satu model, yang merupakan model paling kuat yang sekarang mengendalikan dunia, secara ekonomi dan militer — yaitu model Amerika. Hegemoni sistem kapitalis… mengubah dunia menjadi pasar konsumen untuk produk-produk dan gagasan-gagasan Barat, sementara melucuti bangsa itu dari prinsip-prinsipnya, adat istiadat dan tradisinya, menghapuskan kepribadian dan identitasnya, awalnya dengan melemahkannya dan kemudian secara bertahap menghilangkan bangsa-bangsa dan budaya-budaya. Pendidikan Nasional, Kelas 12, 2017–18, hlm. 31.

 

Menurut “IMPACT-se”, hal-hal tersebut di atas seharusnya membuat para pembaca takut dan menunjukkan bukti betapa jahatnya ‘rezim di Damaskus’!

Kebalikannyalah yang benar.

Seorang pendidik internasional (non-Barat), yang saat ini tinggal di Timur Tengah, menjelaskan kepada saya sambil ngopi. Saya pikir pernyataan di bawah ini merupakan ringkasan yang baik tentang apa yang dirasakan oleh mereka yang mempelajari kurikulum Suriah:

“Pendidikan mencerminkan visi masyarakat tertentu. Inti dari apa yang diharapkan masyarakat dari warganya tercantum di dalam kurikulum. Setelah dengan hati-hati membaca analisis atas kurikulum dan buku teks Suriah yang baru, keyakinan saya menjadi lebih kuat tentang betapa hebatnya masyarakat Suriah yang sebenarnya.”

Anak-anak Douma - Suriah (2017, Reuters)

Anak-anak Douma – Suriah (2017, Reuters)

*

Mari kita lihat ‘sisi yang lain’, yaitu mereka yang kritis terhadap pendidikan di Suriah, mereka yang mencari nafkah dengan membuat kritik semacam itu dan dari cara mereka menentang sistem tersebut.

ESCWA (Komisi Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Asia Barat) yang berbasis di Beirut, Lebanon, punya sebuah prakarsa/inisiatif yang didefinisikan sebagai ‘masa depan Suriah untuk fase pembangunan perdamaian’. ‘Proses’ ini melibatkan ahli-ahli Suriah dari semua lapisan masyarakat.

Tetapi siapakah para ahli tersebut? Pada tahun 2018, dalam pertemuan para pakar di bidang pendidikan, daftar ini mencakup spesialis-spesialis berikut:

  • Mantan dosen (pendidikan dan hukum) dari Universitas Aleppo
  • Mantan dosen dari Universitas Damaskus
  • Kepala sebuah LSM pendidikan di Lebanon
  • Akademisi dan peneliti yang sekarang tinggal di Turki dan Jerman
  • Konsultan-konsultan Independen

Jelas sekali jika peserta Suriah yang hadir pada pertemuan ini adalah para ‘mantan’. Yang berarti para eksil, kader-kader anti-pemerintah, dan kebanyakan berafiliasi ke organisasi-organisasi Barat (terutama organisasi-organisasi yang berbasis di Prancis atau Jerman). Tidak satu pun orang dari pemerintah Suriah yang sah yang diundang! Sebuah pendekatan khas Barat: “tentang mereka, tanpa mereka”.

Dan orang-orang yang melayani kepentingan Barat ini diharapkan membantu mendefinisikan komponen pendidikan yang dianggap vital untuk “rekonsiliasi dan kohesi sosial di Suriah pasca-perang.”

Dapat diperkirakan, alih-alih mempromosikan rekonsiliasi, pidato-pidato mereka malah penuh dengan kebencian, pahit dan agresif, anti-Suriah dan pro-Barat. ‘Para ahli’ tersebut menggunakan terminologi seperti: ‘Hegemoni rezim Suriah’, ‘Partai Ba’ath hanya mementingkan ideologi, tidak pernah memberikan identitas kepada warga Suriah’ (mereka sebenarnya menuntut agama untuk dijadikan sebagai ‘identitas’, menggantikan negara Suriah yang saat ini sekuler), ‘Kita perlu bicarakan apa yang sebenarnya terjadi di tahun 2011, apa yang menyebabkan terjadinya perang di tahun 2011. Tanpa membicarakan itu, maka semua tidak masuk akal’ (tetapi ‘kebenaran tentang 2011’ dalam pikiran mereka tidak ada hubungannya dengan fakta bahwa Barat mendorong pemberontakan anti-pemerintah, menyuntikkan kader-kader jihadis [ke Suriah] dan memicu perang saudara yang brutal yang bertujuan untuk menggulingkan sebuah negara sosialis).

Maksud utama mereka tampaknya: ‘Perang ini telah memperkuat budaya kebencian’.

Memang benar, namun bukan karena negara Suriah, berkat orang-orang seperti para ‘ahli’ itu!

Apa yang sebenarnya mereka inginkan? Agama, bukan sekularisme; kapitalisme, dan bukan sosialisme; dan tentu saja, persepsi Barat tentang ‘demokrasi’ dan bukan visi negara yang patriotik dan pan-Arab yang mandiri.

*

Tidak peduli bagaimana mau melihatnya, sistem pendidikan Suriah, termasuk kurikulumnya, tampak lebih superior dibandingkan negara-negara tetangganya. Mungkin itulah sebabnya mengapa sistem pendidikan Suriah ini diawasi dengan ketat dan diserang.

Bagaimanapun, bukankah tujuan utama Barat, di tahun 2011 dan sesudahnya, adalah untuk menghancurkan lagi sebuah negara sosialis dan internasionalis yang tugas utamanya adalah melayani rakyatnya?

Dan mengapa pula Israel ini? Apa sih yang dikeluhkan oleh “IMPACT-se”? Apakah yang paling menjengkelkan di dalam kurikulum Suriah? Jawabannya mungkin ada pada paragraf di bawah ini, dengan kata-kata dan analisis mereka sendiri:

“Kurikulum Suriah didasarkan atas identitas nasional Suriah dengan prinsip-prinsip melakukan perjuangan yang terus-menerus untuk mewujudkan satu Bangsa Arab yang mencakup semua negara Arab, yang merupakan satu negara,”Tanah Air Arab.” Buku-buku teks menyiratkan bahwa perbatasan yang membagi-bagi negara-negara Arab adalah buatan/artifisial, dan hal ini telah dipaksakan oleh kolonialisme Eropa.”

Bagi sebagian besar dari kita, sebenarnya hal ini tidaklah buruk, kan?

Anak-anak Douma - Suriah (2017, Reuters)

Anak-anak Douma – Suriah (2017, Reuters)

Atau mungkin ada di paragraf ini:

“Perbatasan yang ada sekarang ini adalah perbatasan politik, ditarik berdasarkan kebijakan kekuatan-kekuatan kolonial yang menguasai wilayah tersebut, terutama Prancis dan Inggris. Perbatasan tersebut tidak tumpang tindih dengan batas-batas alami yang sudah digunakan untuk memisahkan Tanah Air Arab dari negara-negara tetangga mereka. Jadi, perubahan penting yang terjadi di perbatasan-perbatasan tersebut adalah semata-mata untuk kepentingan negara-negara Barat tersebut di atas dan merugikan tanah Arab. Geografi Tanah Air Arab dan Dunia, Kelas 12, 2017–2018, hlm. 13.”

Yang sangat mengesankan adalah bagaimana kurikulum Suriah membahas periode Soviet tentang sekutu dekatnya – Rusia:

“Kita akan berkenalan dengan Rusia sebelum Revolusi Komunis, dan apa yang menyebabkan terjadinya renaisans/kebangkitan politik, ekonomi, sosial dan intelektual, mulai dari Perang Dunia I sampai ke pembubaran Uni Soviet dan pembentukan Federasi Rusia pada tahun 1991. Sejarah, Kelas 8, 2017–18, hlm. 98.

 Revolusi Sosialis di Rusia terjadi karena harus menghadapi rezim kekaisaran. Mereka menyatakan pendirian negara sosialis pertama di tahun 1917. [Revolusi] didasarkan pada aturan para pekerja dan kaum tani, dan hal tersebut memberikan dampak global karena mereka mendukung gerakan-gerakan pembebasan nasional. Sejarah Dunia Modern dan Kontemporer, Kelas 11, 2017–18, hlm. 168.

 Gorbachev mengambil alih kepemimpinan negara dan partai pada tahun 1988, dan bercita-cita untuk melaksanakan rencana rekonstruksi ekonomi, sosial dan ideologis. Namun, negara-negara imperialis berkomplot melawan takdir Uni Soviet dan mengambil keuntungan dari korupsi administratif dan kondisinya yang terdiri dari berbagai bangsa, menyebabkan dibubarkannya pada tahun 1991 dan dibentuknya Federasi Rusia sebagai gantinya. Sejarah, Kelas 8, 2017–18, pp. 99–100.”

 

Sebenarnya, jika saya bisa, jika saya diizinkan, saya ingin penerbit saya (Badak Merah) untuk menerbitkan kurikulum Suriah, atau setidaknya bab sejarah dan politiknya, agar semua orang di luar Suriah dapat membacanya.

Apa yang dilihat oleh “IMPACT-se”nya Israel sebagai hal-hal yang mengkhawatirkan atau bersifat negatif, untuk sebagian besar orang di seluruh dunia dan khususnya di wilayah Arab, pasti akan menganggap hal-hal tersebut sebagai hal-hal yang benar, optimis dan amat berharga untuk diperjuangkan.

Apakah para ahli dari “IMPACT-se” begitu naif sehingga mereka tidak menyadarinya? Atau ada tujuan lain? Mungkin kita tidak akan pernah tahu.

Namun demikian, terima kasih karena telah mengingatkan kami betapa hebatnya kurikulum Suriah! Hal ini jelas-jelas menunjukkan betapa hebatnya negara Suriah!

*

Copyright © Andre Vltchek, 2018

 

Andre Vltchek adalah seorang filsuf, novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia sudah meliput perang dan konflik di berbagai negara. Buku-buku terbarunya “Revolutionary Optimism, Western Nihilism”, “The Great October Socialist Revolution”, novel revolusionernya Aurora, dan buku bestselling-nya yang non-fiksi dan politis: “Exposing Lies Of The Empire”. Bukunya tentang Indonesia diberi judul: “Indonesia – Archipelago of Fear”, dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Indonesia – Untaian Ketakutan di Nusantara”. Silahkan lihat buku-buku lainnya disini. Silahkan lihat Rwanda Gambit, film dokumenternya tentang Rwanda dan DRCongo, serta film/dialognya dengan Noam Chomsky “On Western Terrorism”. Sekarang ini Andre Vltchek tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Timur Tengah, dan terus berkarya di berbagai belahan dunia. Dia dapat dihubungi melalui website-nya atau Twitter-nya.

 Rossie Indira adalah seorang penulis dan penerbit di PT. Badak Merah Semesta, sebuah penerbitan yang mandiri dan revolusioner. Buku terbarunya “Bude Ocie di Maroko” adalah cerita perjalanannya ke Maroko, dan merupakan buku ke-2 dari serial “Surat dari Bude Ocie”, buku cerita perjalanannya ke Amerika Latin yang diterbitkan oleh penerbit Kompas. Bersama Andre Vltchek, Rossie menulis Exile, perbincangan dengan Pramoedya Ananta Toer. Badak Merah menerbitkan terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Terasing! – di negeri sendiri”.  Rossie juga menjadi penterjemah dan manajer produksi dalam film dokumenter “Terlena – Breaking of a Nation” tentang genosida di Indonesia pada tahun 1965. Rossie dapat dihubungi melalui website-nya atau twitter-nya.