Adaptasi-Adaptasi Strategi “Jihad” ISIS Selama Pandemi

kamp pengungsi anggota ISIS di Al Hawl (foto: Tempo)

kamp pengungsi anggota ISIS di Al Hawl (foto: Tempo)

Oleh: Ayu Rikza

(Mahasiswi Hubungan Internasional UPN “Veteran” Jawa Timur)

Pada 5 Juni 2020 media memberitakan bahwa Densus 88 menangkap terduga teroris yang terkait dengan jaringan ISIS, di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, dengan sejumlah barang bukti, termasuk bahan peledak. Kasus ini memunculkan pertanyaan, apakah di masa pandemi ini, ISIS masih melanjutkan aktivitas terorisme mereka?

Setelah melakukan penelusuran terhadap pemberitaan media massa, penulis menemukan bahwa ketika masyarakat dunia melakukan lockdown atau pun slowdown demi menekan penyebaran virus Covid-19, ISIS malah menggunakan pandemi COVID-19 sebagai senjata untuk membalas kekalahannya atas Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung koalisi AS pada Maret tahun lalu.

Meskipun organisasi teror yang berkonflik di perbatasan Suriah dan Irak ini telah menginstruksikan para pengikutnya untuk tidak melakukan perjalanan ke Eropa—yang mereka sebut sebagai pusat pandemi–ISIS  tetap menyerukan perang habis-habisan terhadap musuh mereka. Fokus pemerintah dan masyarakat global yang tersedot pada pandemi telah dimanfaatkan ISIS sebagai kesempatan untuk melancarkan propagandanya.

Politik “Murka Allah”

Dalam tajuk rencana di surat kabar mingguan yang diterbitkan ISIS, Al Naba, organisasi teror ini mengirim pesan kepada para anggotanya bahwa perang habis-habisan melawan musuh-musuh mereka akan terus berlanjut meski pandemi global berlangsung. ISIS juga melaporkan bahwa sistem keamanan nasional dan internasional yang dibentuk untuk memerangi ISIS saat ini telah mengambil langkah mundur. Misalnya pasukan koalisi global yang dibentuk untuk melawan ISIS (The Global Coalition Against Daesh) mengumumkan pada 20 Maret bahwa mereka menarik dan memposisikan ulang beberapa pasukannya di Irak karena kekhawatiran terinfeksi COVID-19. Situasi ini dimanfaatkan ISIS harus memaksimalkan keadaan tersebut.

ISIS gencar mempromosikan pandemi COVID-19 sebagai manifestasi dari “murka Allah”. Dalam Al Naba edisi 220,  dirilis sebuah artikel bertuliskan ayat Al-Quran surat Al-Buruj ayat 12 yang terjemahannya “Sungguh, pembalasan Tuhanmu sangat keras”. Penggunaan ayat ini menyiratkan pemahaman ISIS bahwa pandemi adalah “hukuman Tuhan bagi siapa saja yang menentang interpretasi mereka terhadap Nabi dan ajarannya”. Artikel itu juga menyebut penyebaran awal pandemi di Tiongkok sebagai hukuman Tuhan atas penganiayaan pemerintah Tiongkok terhadap Muslim Uighur di Tiongkok.

Dalam Al Naba edisi 227, ISIS mengembangkan teori “murka Tuhan” lebih lanjut dengan menerbitkan tajuk rencana dengan judul The Crusaders ‘Worst Nightmare. Artikel ini membahas kerugian ekonomi yang disebabkan oleh jam malam dan lockdown di negara-negara Barat. ISIS menekankan bahwa negara-negara “Tentara Salib” Barat berharap bahwa pengikut ISIS akan berhenti melakukan operasi yang menargetkan mereka atau sekutu mereka di luar negeri selama periode ini. ISIS meresponnya dengan menyerukan pembebasan para tahanan ISIS yang kini terlantar di penjara dan kamp-kamp pengungsian.

ISIS juga menggambarkan pandemi ini sebagai sebuah “siksaan menyakitkan” dari Tuhan bagi “negara-negara tentara salib”. ISIS berpendapat bahwa rasa takut akibat wabah ini memiliki efek yang lebih besar dibanding epidemi itu sendiri karena wabah ini menempatkan dunia Barat di ambang bencana ekonomi besar sebagai akibat dari pembatasan mobilisasi masyarakat global, rusaknya pasar, dan terganggunya kehidupan publik. Diperkirakan, narasi ISIS seputar COVID-19 telah berhasil menarik anggota baru dan memperkuat organisasi ini.

Lonjakan Serangan Tak Terduga

Selama pandemi, intensitas serangan ISIS meningkat dalam upaya untuk memperluas kembali pengaruhnya. Serangan berfokus terutama di wilayah yang disengketakan di Irak. Dua pejuang Peshmerga terbunuh dan seorang lainnya cedera dalam serangan ISIS di kota Kolajo di wilayah Kurdistan pada 7 Maret. Kemudian, pada 9 Maret, ISIS menargetkan The Popular Mobilization Forces (PMF) yang ditempatkan di dekat bandara militer Haliwa di barat Tuz Khurmatu. Serangan ISIS menewaskan dua tentara PMF dan melukai tiga lainnya.

Pada surat kabar Al-Naba edisi 9 April, ISIS juga mengklaim bertanggung jawab atas 29 serangan terpisah di Irak dalam delapan hari sebelumnya, serta 11 serangan di Suriah selama periode yang sama. Pada hari yang sama, ISIS melancarkan kampanye besar-besaran di kota Al-Sukhnah, Provinsi Homs, Suriah timur. Kampanye ini menewaskan 32 tentara Suriah dan 26 pejuang ISIS.

Di bulan berikutnya, serangan yang dilakukan oleh ISIS juga mengalami lonjakan. Sebagaimana dilaporkan oleh CNN, pada 8 Mei 2020, ISIS meningkatkan laju serangan terhadap pasukan keamanan Irak di pedesaan utara Baghdad. The Washington Post menerbitkan berita pada hari yang sama tentang seorang militan ISIS meledakkan dirinya di gerbang depan markas intelijen Kirkuk. Pada 12 Mei 2020 ISIS juga melancarkan aksi bom bunuh diri di provinsi Nangahar, Afghanistan, yang menewaskan sedikitnya 25 orang pada pemakaman seorang mantan komandan polisi.

Pada kuartal pertama tahun 2020, ISIS memang telah berusaha meningkatkan frekuensi dan keganasan operasinya di Irak, Suriah, Maladewa, Mozambik dan Afghanistan. ISIS juga berusaha menyerang fasilitas militer AS di Jerman meski pun gagal.

Jam malam yang diberlakukan di seluruh Irak karena COVID-19, penangguhan pasukan koalisi internasional yang dipimpin AS dari kegiatan mereka di wilayah ini selama dua bulan, dan penarikan AS dari enam pangkalan militer di Irak juga dimanfaatkan ISIS untuk meningkatkan mobilitas dan kapabilitasnya untuk melakukan serangan teror.

ISIS memutar strategi dengan beroperasi di daerah yang memiliki celah keamanan. Pasca pasukan koalisi menghentikan logistik dan dukungan intelijen mereka kepada pemerintah Irak, banyak tempat yang memiliki penurunan pengawasan. Selain itu, serangan ISIS kini mengambil bentuk operasi seperti penembakan hit-and-run dan pengeboman bunuh diri dengan sasaran rumah sakit dan pos pemeriksaan militer. Hal ini disebabkan kedua tempat tersebut memiliki kaitan erat dengan tanggung jawab tambahan tentara Irak di era COVID-19.

Apakah ISIS Masih Ancaman Keamanan?

Mengutip Barry Buzan dalam People, State, and Fear, keamanan adalah usaha untuk terbebas dari ancaman. Ancaman di sini dimaksudkan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan terganggunya atau hilangnya eksistensi sebuah entitas, baik itu negara ataupun individu. Dari sudut pandang ini, strategi propaganda dan penyerangan ISIS selama pandemi masih sangat relevan untuk memandang ISIS sebagai ancaman keamanan yang berbahaya. Hal ini dikarenakan kondisi entitas negara dan individu terdampak pandemi di Suriah dan Irak mengalami politisasi yang menyebabkan semakin canggihnya strategi teror dan kekerasan yang dilakukan ISIS.

Penjelasan singkat di atas menunjukkan bahwa ancaman terorisme belum usai meskipun ada pandemi. Pelaku teror berusaha sekeras mungkin untuk beradaptasi dengan kondisi terkini demi tercapainya tujuan pergerakan mereka. Untuk itu, penyelenggara keamanan nasional tidak boleh mengabaikan ancaman teror dari organisasi seperti ISIS selama COVID-19. Penguatan sektor keamanan di negara-negara yang menjadi basis hidupnya organisasi kekerasan harus tetap dilakukan, terutama pada sektor yang mengalami penurunan kontrol atau sektor-sektor vital militer dan penanganan COVID-19. Tentu hal ini membutuhkan solidaritas bersama dari negara, organisasi internasional, serta masyarakat sipil sebab di saat yang sama kita semua juga tengah menghadapi ancaman keamanan manusia yang pelik, yakni pandemi.[]