Rangkuman Berita Utama Timteng Selasa 11 Juni 2019

rouhani dan menlu jerman Heiko MaasJakarta, ICMES: Presiden Iran Hassan Rouhani mendesak negara-negara Eropa agar melawan “terorisme ekonomi” Amerika Serikat (AS) terhadap Iran dan memenuhi kewajiban mereka sesuai kesepakatan nuklir.

Mantan Direktur Dinas Rahasia Amerika Serikat (CIA) John Brennan menyatakan bahwa kebijakan tekanan presiden negara ini, Donald Trump, terhadap Teheran tidak akan berhasil karena resistensi sudah menjadi budaya di Iran.

Kantor Humas Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyatakan bahwa sebanyak 29 orang Palestina gugur syahid dan 312 lainnya terluka akibat serangan pasukan Zionis Israel pada bulan Mei lalu.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menegaskan bahwa negaranya dan Suriah akan merespon telak setiap serangan kawanan teroris di provinsi Idlib, Suriah.

Berita selengkapnya:

Rouhani Minta Eropa Melawan “Terorisme Ekonomi” AS Terhadap Iran

Presiden Iran Hassan Rouhani mendesak negara-negara Eropa agar melawan “terorisme ekonomi” Amerika Serikat (AS) terhadap Iran dan memenuhi kewajiban mereka sesuai kesepakatan nuklir Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang ditandatangani Iran dan enam negara terkemuka dunia pada tahun 2015.

Desakan itu dinyatakan Rouhani di Teheran pada Senin sore (10/6/2019), dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas yang berkunjung ke Iran dan telah menemui sejawatnya Mohammad Javad Zarif pada hari sebelumnya.

“Kami mengharapkan kesediaan Eropa berdiri dan melawan terorisme ekonomi AS terhadap bangsa Iran dan memenuhi kewajibannya sesuai dengan JCPOA,” ungkap Rouhani kepada Heiko Maas.

Dia mengingatkan bahwa setelah AS keluar dari perjanjian itu, Iran sebenarnya bisa saja melakukan hal yang sama sesuai Pasal 36 JCPOA, tapi lebih memilih untuk tetap bersabar dan memberi kesempatan kepada para penandatangan lain.

Kementerian Luar Negeri Jerman Kamis pekan lalu menyatakan  bahwa kunjungan Maas ke Iran utamanya adalah untuk mengupayakan penyelamatan JCPOA, menyusul penarikan AS secara sepihak dari kesepakatan ini pada Mei tahun lalu.

Di bawah JCPOA, Iran berjanji membatasi program nuklirnya dengan imbalan penghapusan sanksi terkait nuklir yang dikenakan terhadap Teheran.

Presiden AS Donald Trump menarik negaranya keluar dari JCPOA pada Mei 2018 dan memberlakukan kembali sanksi keras terhadap Iran sehingga AS mendapat kecaman internasional.

Pada peringatan pertama penarikan AS dari perjanjian nuklir, Iran mengumumkan akan menangguhkan pelaksanaan beberapa komitmennya kepada JCPOA, akan berhenti mengekspor kelebihan uranium dan air berat, dan menetapkan jangka waktu 60 hari untuk lima pihak yang tersisa dalam kesepakatan itu untuk mengambil langkah-langkah praktis guna memastikan kepentingannya dalam menghadapi sanksi AS. (presstv)

Mantan Direktur CIA: Tekanan AS Cenderung Gagal Karena Iran Punya Kultur Resistensi

Mantan Direktur Dinas Rahasia Amerika Serikat (CIA) John Brennan menyatakan bahwa kebijakan tekanan presiden negara ini, Donald Trump, terhadap Teheran tidak akan berhasil karena resistensi sudah menjadi budaya di Iran.

“Amerika Serikat (AS) hendaknya mengabaikan cara buntu menekan rezim Iran karena negara ini memiliki budaya resistensi,” ujarnya, seperti dilansir surat kabar Irlandia, Irish Times News, dan dikutip Fars, Senin (10/6/2019).

Dia menjelaskan, “Dengan mundur dari perjanjian nuklir, memasukkan Korps Garda Revolusi (IRGC), dan mendesak pihak-pihak Eropa agar mengabaikan komitmennya pada perjanjian itu maka asumsi yang dominan di Iran ialah bahwa pemerintahan Trump pada akhirnya bermaksud mengggulingkan rezim (Iran).”

Menurut Brennan, tindakan Trump mengangkat John Bolton sebagai penasehat keamanan nasional dan Mike Pompeo sebagai menteri luar negeri merupakan salah satu penyebab meningkatnya tekanan AS terhadap Iran.

Dia menambahkan bahwa sejak menjabat sebagai presiden AS pada tahun 2017 Trump mengambilkan kebijakan keras terhadap Iran, dan setelah satu setengah tahun masa jabatannya itu dia menarik AS secara sepihak dari perjanjian nuklir Iran serta menerapkan embargo terhadapnya, kemudian menekan pihak-pihak lain, terutama negara-negara Eropa, agar mengikuti jejaknya meninggalkan perjanjian itu. (fars)

29 Orang Palestina Gugur dan 300-an Terluka Pada Bulan Lalu

Kantor Humas Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyatakan bahwa sebanyak 29 orang Palestina gugur syahid dan 312 lainnya terluka akibat serangan pasukan Zionis Israel pada bulan Mei lalu.

Disebutkan bahwa 27 dari 28 syuhada itu gugur akibat serangan udara Israel ke Jalur Gaza, dan di antaranya terdapat satu anggota tim penyelamat, empat wanita yang dua di antaranya hamil, dan empat anak kecil.  Dua syuhada lainnya gugur di Tepi Barat ditembak pasukan Israel yang mencari warga Palestina pelaku penikaman.

Pasukan Israel juga melukai 312 warga Palestina di Jalur Gaza serta menangkap 370 orang Palestina yang beberapa di antaranya anak kecil serta empat orang wanita.

Lebih jauh, Israel menerapkan tahanan rumah pada puluhan warga Palestina di kota Quds (Yerussalem) serta meminta uang tebusan untuk pembebasan mereka.

PLO juga melaporkan eskalasi pembangunan permukiman Zionis dengan menyebutkan bahwa Kementerian Perumahan Israel telah mempertimbangkan pembangunan 805 unit rumah baru di Quds.

Mengenai kerusakan akibat serangan Israel pada Mei lalu, PLO mencatat bahwa 100 rumah dan tempat usaha hancur secara total, dan 700 rumah serta tiga sekolah rusak. (fars)

Menlu Rusia: Serangan Teroris di Idlib Akan Dibalas Sengit

Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menegaskan bahwa negaranya dan Suriah akan merespon telak setiap serangan kawanan teroris di provinsi Idlib, Suriah.

“Para teroris melanjutkan serangan roket dan nirawaknya ke posisi-posisi tentara Suriah di berbagai kawasan negara ini dan Pangkalan Udara Hmeimim Rusia. Kami maupun tentara Suriah tidak akan membiarkan serangan ini tanpa balasan, ” ujarnya dalam jumpa pers bersama sejawatnya dari Mali, Tiebile Drame, Senin (10/6/2019).

Mengenai laporan adanya pengiriman bantuan Turki kepada kawanan bersenjata di Idlib, Lavrov mengaku pihaknya tidak menerima laporan demikian.

“Sejauh ini kami belum menerima laporan demikian. Kami tidak memiliki informasi terkait dengan sumber bantuan senjata, tapi kami mengetahui bahwa Idlib penuh dengan senjata negara-negara Barat,” tuturnya.

Dia menambahkan bahwa untuk mencegah tindakan provokatif kawanan bersenjata maka kelompok-kelompok oposisi Suriah harus secepatnya memisahkan diri dari kawanan teroris yang bercokol di Idlib.

Wilayah selatan Idlib belakangan ini diwarnai pertempuran antara tentara Suriah dan kawanan teroris yang meningkatkan serangan terhadap tentara Suriah dari beberapa arah, sementara tentara Suriah bermaksud membalasnya dengan dibantu jet tempur Rusia.

Pertempuran itu berlangsung hebat dan tercatat lebih sengit daripada tahun lalu meskipun berlaku Perjanjian Sochi untuk zona de-eskalasi di provinsi Idlib, dan di berbagai kawasan di sana juga masih ada pospos pemantau Turki, Rusia, dan Iran.

Pada Ahad pekan lalu tentara Suriah berhasil membebaskan distrik Kfar Nabudeh di utara Hama setelah terlibat pertempuran selama beberapa hari. (fars)