Rangkuman Berita Utama Timteng Selasa 29 Agustus 2023

Jakarta, ICMES. Sekjen Hizbullah Sayid Hassan Nasrallah bersumpah bahwa Rezim Zionis Israel akan mendapat reaksi sengit jika mencoba melakukan upaya pembunuhan di wilayah Lebanon.

FILE – In this August 2, 2013 file photo, Hezbollah leader Sheik Hassan Nasrallah speaks during a rally to mark Jerusalem day, or Al-Quds day, in the southern suburb of Beirut, Lebanon. NasrallahÂ’s boast that he has 100,000 armed fighters that can be deployed against internal rivals came as a surprise to many Lebanese, not least because it was addressed to a domestic audience rather than the groupÂ’s archenemy Israel. Experts say the number — almost 20,000 more than the Lebanese army — is an exaggeration but is likely to further ratchet up anxiety of a return to sectarian fighting in the small country roiled by a series of devastating crises. (AP Photo/Hussein Malla, File)

Media Israel menyoroti pidato terbaru pemimpin Hizbullah Sayid Hassan Nasrallah, terutama ancamannya untuk menanggapi keras jika Israel melakukan upaya pembunuhan di wilayah Lebanon.

Iran menyatakan pihaknya telah mencapai kesepakatan dengan Irak untuk perlucutan senjata dan relokasi pemberontak Kurdi di Irak utara dalam beberapa minggu.

Berita Selengkapnya:

Sekjen Hizbullah Bersumpah Israel akan Direspon Keras Jika Upayakan Pembunuhan

Sekjen Hizbullah Sayid Hassan Nasrallah bersumpah bahwa Rezim Zionis Israel akan mendapat reaksi sengit jika mencoba melakukan upaya pembunuhan di wilayah Lebanon.

Ancaman terhadap Israel itu dikemukakan dalam pidato di televisi pada Senin malam (28/8), yang disampaikan pada peringatan pembebasan perbatasan utara dan timur Lebanon oleh tentara negara ini bersama para pejuang Hizbullah pada 28 Agustus 2017 dari pendudukan kawanan teroris ISIS dan kelompok-kelompok teroris takfiri lainnya.

Peristiwa itu oleh Nasrallah disebut sebagai “pembebasan kedua” setelah pembebasan pertama pada tahun 2000, ketika Hizbullah, bersama dengan kelompok pejuang Lebanon lainnya, berhasil memaksa pasukan pendudukan Israel mundur dari Lebanon Selatan dan wilayah Bekaa Barat.

Dalam pidatonya pada hari Senin, Sayid Nasrallah menyatakan Israel telah melakukan banyak pembunuhan, namun tak sanggup melemahkan gerakan resistensi terhadapnya.

“Tidak ada ancaman yang mampu menghentikan barisan resistensi dan pergerakannya, melainkan justru akan membuatnya lebih teguh dan kuat,” tegasnya.

Dia menambahkan, “Tidak ada upaya pembunuhan di tanah Lebanon yang menargetkan warga negara Lebanon, Palestina atau Iran atau negara lain yang tidak ditanggapi,” tambahnya.

Dia juga menyebutkan, “Musuh harus mengakui bahwa mereka telah menemui jalan buntu historis, eksistensial dan strategis, dan tidak ada jalan keluarnya.”

Mengenai situasi terkini di  Suriah, di mana beberapa daerah kerap dilanda rasa protes anti-pemerintah Suriah, Sekjen Hizbullah mengatakan bahwa apa yang terjadi di Suriah telah direncanakan oleh Amerika Serikat (AS), yang juga telah meminta bantuan kepada sejumlah negara di kawasan.

“Sejak hari pertama, komandan perang yang sedang berlangsung di Suriah adalah AS, dan duta besar AS telah mengakui hal ini,” katanya.

Nasrallah melanjutkan dengan menekankan bahwa kawanan teroris bersenjata takfiri, yang berperang melawan pemerintah Suriah, hanyalah alat di tangan AS.

“ISIS hanyalah dalih  bagi pasukan AS untuk kembali ke Irak, dan mereka juga menggunakannya sebagai alasan untuk memasuki Suriah dan menduduki bagian negara ini yang terletak di sebelah timur [Sungai] Eufrat,” terangnya.

Menyinggung sanksi keras Washington terhadap Damaskus, Sayid Nasrallah mengatakan bahwa AS menerapkan sanksi dan apa yang disebut Caesar Act  setelah Washington menyadari bahwa opsi militer telah gagal dan posisi pemerintah Suriah terus membaik.

Sekjen Hizbullah memastikan AS yang menduduki daerah-daerah Suriah yang kaya minyak di seberang timur Sungai Eufrat, terus menjarah minyak Suriah.

Menurutnya, Suriah dan sekutunya dapat dengan mudah membebaskan wilayah timur Efrat.  

“Jika Amerika ingin berperang, kami akan menyambutnya, dan ini akan menjadi perang nyata yang akan mengubah semua keadaan,” tegasnya.

Mengenai Palestina, Sayid Nasrallah menepis klaim Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa Iran berada di balik gejolak perlawanan para pejuang Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat.

Dia menilai klaim demikian hanya membuktikan kebodohan para pejabat Israel, karena bangsa Palestina sudah berjuang bahkan sebelum kemenangan revolusi Islam Iran. (almayadeen)

Media Israel: Nasrallah Kontinyu Mengancam

Media Israel menyoroti pidato terbaru pemimpin Hizbullah Sayid Hassan Nasrallah, terutama ancamannya untuk menanggapi keras jika Israel melakukan upaya pembunuhan di wilayah Lebanon.

Perdana Menteri pendudukan Israel Benjamin Netanyahu Ahad lalu bersumbar bahwa siapa pun yang mencoba “merugikan” Israel melalui pendanaan operasi perlawanan atau cara lain “akan menanggung akibatnya.”

Saluran Kan Israel menyiarkan penggalan pidato Sayyed Nasrallah pada Senin malam (28/8), yang menegaskan bahwa upaya pembunuhan Israel di wilayah Lebanon berarti perang.  

Situs berita Yedioth Ahronoth menyebutkan bahwa Sayid Nasrallah mendukung Wakil Kepala Biro Politik Hamas, Saleh Al-Arouri, yang bekerja dari Lebanon, dan menekankan bahwa Hizbullah  “tidak akan membiarkan Lebanon menjadi arena pembunuhan.”

Sementara itu, Channel 13 Israel menyebutkan  bahwa Sekjen Hizbullah terus mengancam Israel, bahwa kali ini Nasrallah menyatakan Netanyahu menuduh Iran berada di balik gejolak resistensi di Tepi Barat, dan bahwa “kubu resistensi di  Tepi Barat sepenuhnya sejalan dengan keinginan rakyat Palestina.”

Sayid Nasrallah dalam pidato itu menyinggung ancaman para pejabat Israel, dan menyatakan bahwa Israel selama ini telah berulang kali pembunuhan namun masih tidak mampu mematahkan tekad kubu resistensi. (almayadeen)

Iran dan Irak Sepakati Perlucutan Senjata dan Relokasi Pemberontak Kurdi

Iran menyatakan pihaknya telah mencapai kesepakatan dengan Irak untuk perlucutan senjata dan relokasi pemberontak Kurdi di Irak utara dalam beberapa minggu.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanani, Senin (28/8), mengatakan bahwa pemerintah pusat Irak telah berkomitmen untuk melucuti senjata “kelompok teroris dan separatis” di wilayah Kurdi di Irak utara pada tanggal 19 September.

Dia juga mengatakan bahwa Baghdad menyetujui penutupan pangkalan-pangkalan kelompok pemberontak Kurdi di wilayah semi-otonom Kurdistan, dan para anggotanya akan dipindahkan ke kamp-kamp lain, yang lokasinya tidak dia ungkapkan.

“Berdasarkan informasi yang kami miliki, pemerintah Irak telah mengkomunikasikan isi perjanjian ini kepada otoritas wilayah Kurdistan Irak. Kami menunggu implementasi penuh dari perjanjian ini,” kata Kanani seraya menambahkan bahwa tenggat waktu itu tidak akan diperpanjang.

Teheran telah lama mengeluhkan aktivitas kelompok-kelompok Kurdi, yang beberapa di antaranya menyerukan pemisahan provinsi Kurdistan di barat laut Iran, yang berbatasan dengan Irak.

Populasi Kurdi tinggal di wilayah pegunungan di Iran bagian barat, Irak bagian utara, Suriah bagian timur laut, dan Turki bagian tenggara. Beberapa pihak menyerukan pembentukan negara pan-Kurdi.

Tahun lalu, ketika protes berkobar di seluruh Iran setelah kematian Kurd Mahsa Amini, warga Iran berusia 22 tahun, dalam tahanan polisi, Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) melancarkan beberapa putaran serangan udara mematikan dan serangan artileri terhadap posisi kelompok pemberontak Kurdi di Irak utara.

Kanaani mengatakan, “Berdasarkan hubungan persahabatan, persaudaraan, dan ketetanggaan yang kami miliki dengan pemerintah Irak, kami berharap noda gelap ini dapat dihilangkan dari suasana hubungan timbal balik.”

Associated Press mengutip pernyataan seorang pejabat anonim Irak yang mengkonfirmasi perjanjian tersebut.

Pejabat itu mengatakan kepada kantor berita bahwa pemberontak telah pindah ke sebuah kamp yang tidak disebutkan namanya di wilayah Kurdi Irak setelah dilucuti senjatanya.

AP juga melaporkan bahwa seorang pejabat pemerintah Irak telah mengkonfirmasi perjanjian tersebut.

Pada bulan Maret, kepala keamanan Iran saat itu, Ali Shamkhani, mengunjungi Irak untuk membahas masalah ini dan menandatangani perjanjian keamanan perbatasan yang menangani kelompok-kelompok bersenjata. (ptv/aljazeera)