Rangkuman Berita Utama Timteng Selasa 10 November 2020

anak yatim trumpJakarta, ICMES. Di tengah perhatian banyak orang di dunia tertuju pada hasil pilpres Amerika Serikat (AS) 2020, di media sosial, terutama Twitter, muncul tagar “anak-anak yatim Trump”.

Para pejabat negara-negara Arab Teluk mengaku khawatir orang-orang yang sepemikiran dengan mantan Presiden AS Barack Obama akan kembali ke Gedung Putih.

Seorang pejabat tinggi AS yang sedang berkunjung ke Israel menyatakan bahwa siapapun yang menjadi presiden di AS Washington tetap akan menekan Teheran dan berkeinginan untuk bernogosiasi dengan Iran.

Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan bahwa pasukan Azerbaijan dan Armenia akan menghentikan konfrontasi setelah menandatangani perjanjian untuk mengakhiri perang antara keduanya.

Berita Selengkapnya:

Warganet Sebut Beberapa Pemimpin Arab “Anak-Anak Yatim Trump”

Di tengah perhatian banyak orang di dunia tertuju pada hasil pilpres Amerika Serikat (AS) 2020, yang tergolong pilpres paling kontroversial, di media sosial, terutama Twitter, muncul tagar “anak-anak yatim Trump”.

Tentang fenomena itu, surat kabar Al-Sharq, Senin (9/11/2020), melaporkan bahwa begitu capres Joe Biden diumumkan sebagai pemenang,  “mulai terjadi tangisan dan ratapan Abu Dhabi dan Kairo” dalam bentuk yang bahkan “melebihi tangis dan ratapan para anggota Partai Republik sendiri”.

Menurut media yang berbasis di Qatar itu, warganet lantas memperolok orang-orang yang getol membela Presiden Petahana AS Donald Trump, dan menyebut mereka “anak-anak yatim Trump”.

Disebutkan bahwa orang yang membela itu antara lain Abdul Khaliq Abdullah, penasehat Putra Mahkota Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), Mohamed bin Zayed, karena dia menyebutkan alasan bahwa Trump berhak marah dan menggugat ke pengadilan.

Abdul Khaliq di Twitter antara lain menyatakan, “Jika kandidat Demokrat Joe Biden menang, maka kemenangannya lemah, membosankan, tak meyakinkan, dan Presiden Trump berhak marah dan merujuk ke pengadilan.”

Banyak warganet lantas memperoloknya, antara lain dengan menyatakan bahwa cuitan seperti itu bahkan tak diposting oleh para petinggi partai Republik AS sendiri atau bahkan “orang yang paling gila” kepada pemimpinnya di partai itu, dan Trump seolah pembela semua urusan Arab dan pendukung dunia Arab.

Menurut warganet Arab, bukan tak mungkin Biden akan “menjungkir balik surga Trump yang telah dinikmati Arab”.

Di Mesir, jurnalis Abdul Fattah Fayed menyatakan, “Anak-anak Yatim Trump sedang mengurung diri di negara-negara kita untuk berdoa demi Trump.”

Ada pula aktivis wanita Mesir, Menal, yang menyebut presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi sebagai anak yang paling Yatim. Wanita itu memperlihat karikatur Trump menunjuk ke El-Sisi sembari berucap, “Apa yang hendak dia lakukan sepeninggalku.”

Di Kuwait, aktivis Abdul Aziz Al-Qattan melontarkan pesan belasungkawa kepada rezim-rezim Arab penjalin hubungan dengan Israel sembari menyebut mereka “pengkhianat Arab dan Islam”.

Seperti diketahui, media AS Sabtu lalu melaporkan bahwa Joe Biden telah memenangi pilpres AS melawan saingannya dari Partai Republik, Donald Trump. Beberapa negara Arab lantas menyatakan selamat kepada Biden, meski sebagian di antaranya, termasuk Saudi dan UEA, tampak menunda waktu dan tidak segera menyatakan selamat. (alsharq)

Kepada Media Israel, Para Pejabat Arab Teluk Mengaku Kuatir AS Kembali kepada Kebijakan Obama

Para pejabat negara-negara Arab Teluk mengaku khawatir para pengikut atau orang-orang yang sepemikiran dengan mantan Presiden AS Barack Obama akan kembali ke Gedung Putih dengan kemenangan Joe Biden dalam pilpres AS 2020.

Seperti dikutip Al-Khaleej Online, Senin (9/11/2020), tanpa menyebutkan nama orang, kanal resmi Israel Kan melaporkan bahwa para pejabat senior di kawasan Teluk Persia khawatir akan kembalinya “orang-orang Obama” ke Gedung Putih selama era Biden.

Mereka juga mengungkapkan keprihatinan mereka ihwal kebangkitan kembali kelompok Islamis Ikhwanul Muslimin, yang dilarang di Arab Saudi dan UEA, serta pencabutan sanksi terhadap Iran dan cabang-cabangnya di kawasan.

Para pejabat tersebut menilai ada ketidakpastian terkait kebijakan Biden di Timur Tengah.

Mereka mengatakan, “Kembalinya Biden ke kebijakan perdamaian terhadap Iran dan Ikhwanul Muslimin akan membawa negara-negara Teluk lebih dekat ke Israel dan memperkuat perjanjian normalisasi yang telah dicapai antara Israel, UEA dan Bahrain baru-baru ini.”

Meski demikian, mantan kepala Intelijen Umum Saudi Pangeran Turki Al-Faisal berkomentar bahwa Biden sebagai orang yang sangat berpengalaman menyadari kepentingan negaranya di Timur Tengah sehingga tetap akan menjadikan Riyadh sebagai mitra strategis terbesar bagi Washington.

Qatar, Kuwait, Oman, Bahrain, dan UEA telah menyampaikan ucapan selamat kepada Biden atas kemenangan dalam pilpres melawan Presiden Petahanan Donald Trump, sementara Arab Saudi menunda ucapan selamat selamat hingga Minggu malam.

Pada Sabtu malam, media AS mengumumkan kemenangan Biden di tengah keraguan Presiden Donald Trump tentang integritas pemilu. (alkhaleejonline)

Pejabat AS: Siapapun Presidennya, AS Ingin Berunding dengan Iran

Seorang pejabat tinggi Amerika Serikat (AS) yang sedang berkunjung ke Israel (Palestina pendudukan 1948) menyatakan bahwa siapapun yang menjadi presiden di Negeri Paman Sam ini, AS tetap akan menekan Iran dan berkeinginan untuk bernogosiasi dengan Iran.

Pejabat bernama Elliott Abrams itu, selaku utusan khusus AS untuk urusan Iran, Senin (9/11/2020), menyatakan bahwa dalam beberapa pekan mendatang negaranya akan meningkatkan sanksi terhadap Iran.

“Kami memiliki program sanksi tekanan maksimum. Jika Anda melihat pada bulan September dan Oktober, Anda akan melihat sanksi diberlakukan. Ini akan berlanjut pada November dan Desember, karena tak ada hubungannya dengan politik, tak ada kaitannya dengan pemilu. Itu adalah kebijakan luar negeri AS, dan itu didasarkan pada perilaku Iran, “katanya kepada beberapa wartawan Israel saat memberikan pengarahan di Tel Aviv.

Dia juga mengatakan, “Tak masalah siapa yang menjadi presiden pada 20 Januari, dalam arti akan tetap ada negosiasi dengan Iran. Itulah maksud pemerintahan Trump. Jadi itu bukan sumber perselisihan.”

Adapun mengenai perundingan nuklir Iran yang dinamai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) dan ditandatangani pada 2015 antara Iran dan enam kekuatan dunia, termasuk AS yang kemudian keluar darinya pada tahun 2018, Abrams mengatakan bahwa tidak akan mudah untuk menghidupkan kembali perjanjian tersebut.

“Saya tidak berpikir bahwa kembali ke JCPOA pada 2021 adalah prospek yang sederhana,” katanya.

Sejak AS keluar dari kesepakatan itu, Iran secara bertahap mengurangi kepatuhannya. Presiden terpilih AS Joe Biden mengatakan bahwa jika Teheran mematuhi persyaratan kesepakatan maka dia akan memperbarui komitmen Washington terhadap pakta tersebut.

Abrams berkunjung ke Israel manakala Menteri Pertahanan AS Mike Pompeo berencana berkunjung ke Israel untuk berunding dengan para pejabat rezim Zionis mengenai Iran. (timesofisrael)

Rusia Umumkan Perjanjian antara Azerbaijan dan Armenia untuk Hentikan Perang

Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan bahwa pasukan Azerbaijan dan Armenia akan menghentikan konfrontasi setelah menandatangani perjanjian untuk mengakhiri perang antara keduanya.

Presiden Rusia, Senin malam (9/11/2020), menyatakan perjanjian itu akan mengakhiri perang di wilayah Nagorno-Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan, dan bahwa dia mengandalkan kesepakatan yang dicapai untuk mengkondisikan solusi jangka panjang bagi krisis di Karabakh dengan cara yang mengakomodasi kepentingan kedua pihak.

“Gencatan senjata lengkap di Karabakh akan mulai berlaku pada pukul 00:00 waktu Moskow pada 10 November,” ungkap Putin.

Presiden Rusia meminta Armenia dan Azerbaijan melakukan pertukaran tawanan perang.

Sesuai kesepakatan itu, pasukan penjaga perdamaian Rusia akan memasuki wilayah Karabakh untuk mencegah terjadinya pertempuran antara kedua pihak.

Perdana Menteri Armenia merilis pernyataan tentang perjanjian itu dengan menyebutnya kesepakatan “menyakitkan”. Sejak pengumuman itu, aksi protes meletus di Yerevan, ibu kota Armenia, dari massa yang menentang perjanjian tersebut. (amn)