Rangkuman Berita Utama Timteng Sabtu 9 September 2023

Jakarta, ICMES. Iran mengutuk aksi pasukan Israel  menelanjangi lima wanita Palestina dalam penggerebekan di rumah mereka di Tepi Barat.

Otoritas Palestina mengiyakan pernyataan mantan kepala Mossad, Tamir Pardo, bahwa Israel menerapkan sistem “apartheid” di wilayah pendudukan Tepi Barat.

Bentrokan antarfaksi Palestina yang bersaing kembali berkecamuk di kamp pengungsi Palestina terbesar di Lebanon.

Berita Selengkapnya:

Iran Kutuk Aksi Tentara Israel Telanjangi Sejumlah Wanita Palestina

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanaani mengutuk aksi pasukan Israel  menelanjangi lima wanita Palestina dalam penggerebekan di rumah mereka di Tepi Barat, dan mengatakan bahwa tentara rezim Zionis itu, selain melakukan pembunuhan dan pembantaian, juga menderita penyakit mental dan moral.

Dilaporkan bahwa tentara Israel memasuki rumah keluarga Ajluni di kota Al-Khalil, Tepi Barat Selatan, pada dini hari tanggal 10 Juli.

Dua tentara wanita Israell menggelandang seorang ibu Palestina berusia 53 tahun, serta putrinya yang berusia 17 tahun, dan tiga menantu ibu itu yang semuanya berusia 20-an, masuk ke kamar anak-anak, dan memaksa mereka agar menanggalkan pakaian.

Sambil membawa senapan dan seekor anjing penyerang, tentara itu mengancam akan melepaskan anjing tersebut jika para wanita Palestina itu tidak mematuhi perintah untuk menanggalkan pakaian. Padahal tentara Israel sudah menggeledah tubuh para pria yang ada di sana ketika para wanita itu masih berpakaian.

Menyesalkan tindakan tersebut, Kanaani menyebut tentara Israel menderita berbagai “penyakit mental dan moral”.

“Tentara kriminal Israel tidak hanya menderita mania pembunuhan dan teror, tetapi juga berbagai bentuk penyakit mental dan moral kronis,” tulis juru bicara tersebut di ukannya di Twitter, seperti dikutip kantor berita Fars, Jumat (8/9).

“Kekurangajaran tak tahu malu yang dilakukan militer Israel terhadap beberapa perempuan Palestina dalam serangan terhadap Al-Khalil adalah perbuatan terkutuk dan mempermalukan para pendukung rezim itu,” imbuhnya.

Kanaani meminta PBB dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menjalankan kewajibannya terkait insiden tersebut.

Sejak awal tahun ini, tentara Israel telah menahan lebih dari lima ribu warga Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat di tengah meningkatnya serangan Tel Aviv terhadap kota-kota Palestina.

Menurut PBB, tahun 2023 sudah menjadi tahun paling mematikan bagi warga Palestina di Tepi Barat sejak PBB mulai mencatat jumlah korban jiwa pada tahun 2005. Lebih dari 225 warga Palestina telah dibunuh oleh Israel sejak awal tahun ini.

Tahun   2022, merupakan tahun paling mematikan dengan 150 warga Palestina gugur, 33 di antaranya adalah anak di bawah umur, seperti dilansir PBB.

Rezim ini menjadi lebih beringas dan kejam sejak Benjamin Netanyahu kembali berkuasa tahun lalu sebagai pemimpin kabinet koalisi sayap kanan.

Iran menyebut Israel sebagai biang kerok instabilitas dan ketidakamanan di Timur Tengah, namun juga memastikan bahwa barbarisme Israel yang didukung AS tidak akan mengubah nasib buruk yang membayangi rezim Tel Aviv. (fna)

Mantan Kepala Mossad: Israel Praktikkan Apartheid di Tepi Barat

Otoritas Palestina, pada hari Jumat (8/9), mengiyakan pernyataan mantan kepala Mossad, Tamir Pardo, bahwa Israel menerapkan sistem “apartheid” di wilayah pendudukan Tepi Barat.

Dalam sebuah wawancara dengan kantor berita AP yang diterbitkan pada hari Rabu, Pardo mengatakan, “Ada rezim apartheid di sini,” mengacu pada Tepi Barat yang diduduki Israel sejak perang tahun 1967.

Dia menambahkan, “Ketika dua orang diperlakukan di satu tanah berdasarkan dua sistem hukum yang berbeda, maka ini adalah sistem apartheid.

Pernyataan Pargo mengacu pada realitas bahwa warga Palestina yang ditangkap oleh tentara atau dinas keamanan Israel akan dirujuk ke pengadilan militer, sedangkan warga Zionis penghuni permukiman, yang justru dianggap ilegal oleh PBB dan khalayak internasional, dirujuk ke pengadilan sipil.

Pernyataan Pardo, kepala Badan Intelijen Luar Negeri antara tahun 2011 dan 2016, adalah kritik paling blak-blakan dari seorang mantan pejabat senior Israel terhadap praktik rezim ini di Tepi Barat, setelah praktik itu meningkat di bawah koalisi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu saat ini, yang merupakan kelompok paling kanan dalam sejarah negara Israel.

Penasihat politik di Kementerian Luar Negeri Palestina, Ahmed Al-Deek, mengkonfirmasi pernyataan Pardo, dan menyebutkan bahwa pernyaan serupa juga ungkapkan oleh “semakin banyak pejabat Israel.”

“Kami berharap hal ini mencerminkan awal kebangkitan masyarakat Israel untuk mendukung hak-hak rakyat Palestina dan memberikan tekanan pada pemerintah Israel untuk mengakhiri pendudukannya atas wilayah Palestina,” katanya kepada AFP.

Pada bulan April 2021, Human Rights Watch, yang berbasis di New York, AS, bergabung dengan sejumlah organisasi peduli HAM Palestina dan Israel dalam keputusan mereka menggunakan istilah “apartheid” dalam menggambarkan perlakuan sistematis rezim Tel Aviv terhadap warga Palestina dan Arab di Israel.

Pada tahun 2022, Amnesty International menuduh Israel melakukan “apartheid” terhadap warga Palestina dan memperlakukan mereka sebagai “kelompok etnis inferior.”

Israel melalui Menteri Luar Negerinya saat itu, Yair Lapid, menolak laporan tersebut dengan dalih bahwa laporan tersebut mengutip “kebohongan yang disebarkan oleh organisasi teroris.” (raialyoum)

Kontak Senjata Antarfaksi Palestina Kembali Berkecamuk di Lebanon

Bentrokan antarfaksi Palestina yang bersaing kembali berkecamuk di kamp pengungsi Palestina terbesar di Lebanon dengan menggunakan senjata berat dan menebarkan tembakan yang melukai sedikitnya 20 orang dan memaksa penduduk kamp dan daerah sekitarnya untuk mengungsi.

Puluhan keluarga telah lolos pada Kamis malam (7/9) dari pertempuran antara anggota gerakan Fatah dan kelompok garis keras dan sekarang sedang tidur di halaman masjid.

Pertempuran terjadi di kamp dengan luas sekira satu kilometer persegi dan menampung lebih dari 63.000 pengungsi yang terdaftar. Bentrokan itu merupakan bagian dari perebutan kekuasaan dan kendali selama puluhan tahun antara Fatah pimpinan Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan kelompok bersenjata, yang menyebut diri mereka sebagai kelompok Pemuda Islam Fatah.

Sebelumnya telah terjadi pertempuran jalanan selama beberapa hari di kamp Ein el-Hilweh antara faksi-faksi tersebut setelah Fatah menuduh kelompok itu menembak mati salah satu jenderal militer mereka pada tanggal 30 Juli.

Pertempuran jalanan itu menyebabkan sedikitnya 13 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka, dan memaksa ratusan orang mengungsi.

Gencatan senjata yang alot telah terjadi sejak 3 Agustus, namun bentrokan diperkirakan akan berlanjut karena kelompok tersebut belum menyerahkan tersangka pembunuh jenderal Fatah, Mohammad  Abu Ashraf  al-Armoushi ke pengadilan Lebanon seperti yang diminta oleh sebuah komite faksi-faksi Palestina awal bulan ini.

Sebuah komite faksi Palestina di Ein el-Hilweh mengumumkan pada hari Selasa bahwa pasukan keamanan gabungan mereka akan melancarkan serangan untuk mencari tersangka pembunuh.

Menjelang dini hari pada hari Jumat, pertempuran setidaknya telah mereda untuk sementara.

Kantor Berita Nasional Lebanon melaporkan 20 orang terluka, termasuk seorang pria lanjut usia, dan dilarikan ke rumah sakit semalaman. Belum ada laporan mengenai kematian dalam insiden kekerasan tersebut. (aljazeera)