Jakarta, ICMES. Komandan Angkatan Bersenjata Iran, Meyjen Abd al-Rahim Mousavi menanggapi keras sesumbar kepala staf militer Israel bahwa negara ilegal Zionis ini mampu menyerang Iran tanpa bantuan Amerika Serikat (AS).
Intelijen Israel memperkirakan kemungkinan negara ilegal Zionis ini memasuki perang nyata dan berskala besar di beberapa front pada tahun depan.
Arab Saudi memimpin upaya pengembalian Suriah ke Liga Arab, sebuah kebijakan yang sangat kontras dengan upaya berkelanjutan Barat untuk mengisolasi Presiden Suriah Bashar Al-Assad.
Berita Selengkapnya:
Tanggapi Jenderal Israel, Jenderal Iran: Rezim Zionis Terlalu Remeh untuk Dapat Menggertak Iran
Komandan Angkatan Bersenjata Iran, Meyjen Abd al-Rahim Mousavi menanggapi keras sesumbar kepala staf militer Israel bahwa negara ilegal Zionis ini mampu menyerang Iran tanpa bantuan Amerika Serikat (AS).
“Siapa pun yang memiliki sedikit pengetahuan tentang urusan militer akan memahami dengan baik bahwa ukuran entitas Zionis lebih kecil dari salah satu operasi kami dalam delapan tahun perang kami dengan rezim Saddam Hussein pada tahun 80-an di abad lalu,” tegas Mosavi, Senin (9/4).
Dia menambahkan, “Israel sedang tenggelam, efek keruntuhannya sudah jelas, dan terlalu remeh untuk menjadi ancaman bagi Iran.â€
Sebelumnya, Kepala Staf Militer Israel, Hersi Halevi, bersumbar, “Israel siap melancarkan serangan pencegahan terhadap Iran, bahkan tanpa bantuan AS.â€
Dia juga mengatakan, “Kami siap untuk bertindak terhadap Iran, dan tentara Israel memiliki kemampuan untuk menyerang baik di negara-negara yang jauh dan dekat,” tambah Halevy, dalam sebuah wawancara dengan Radio Militer Israel.
Dia menegaskan, “Tentara Israel akan sangat meningkatkan kemampuannya untuk melakukan serangan pendahuluan terhadap Iran, di tahun-tahun mendatang. Meskipun jaraknya jauh, serangan seperti itu akan sangat telak.â€
Dia menambahkan, “Kami tahu bagaimana bertindak sendiri. Kami adalah negara berdaulat yang berhak membuat keputusan sendiri. Akan baik bagi AS untuk berada di pihak kita, tetapi ini bukan kewajiban.â€
Senin lalu, militer Israel menyatakan, “Melalui perwakilannya, Iran sedang berusaha mengobarkan situasi di lapangan, dan sedang bekerja untuk mencegah bahaya.â€
Kepala Otoritas Intelijen Militer, Mayor Jenderal Aharon Halifa, pada upacara kelulusan untuk angkatan baru perwira intelijen, mengatakan, “Iran, dengan berbagai senjatanya, sedang mencoba mengobarkan medan dan menyulutnya.â€
Pejabat Iran telah memperingatkan bahwa setiap kesalahan oleh AS dan Israel akan ditanggapi dengan tanggapan Teheran yang menghancurkan dan menentukan. Mereka mengatakan Washington dan Tel Aviv sangat menyadari kemampuan dan kapasitas Teheran, dan mengingatkan bahwa Teheran tidak a berkompromi atau bercanda dalam urusan keamanan nasionalnya.
Iran mengatakan rezim Israel hanya bermain mulut karena tidak memiliki kekuatan dan kemampuan yang cukup untuk mengambil tindakan nyata terhadap Teheran. Iran juga memperingatkan bahwa negara republik Islam ini tidak akan ragu untuk menghancurkan Israel jika ada langkah ceroboh sekecil apa pun dari rezim Zionis. (fna/raialyoum)
Intelijen Israel: Akan Pecah Perang Besar Tahun Depan
Intelijen Israel memperkirakan kemungkinan negara ilegal Zionis ini memasuki perang nyata dan berskala besar di beberapa front pada tahun depan.
Menurut laporan Divisi Intelijen Staf Umum Militer Israel, seperti dilaporkan di surat kabar Haaretz, rangkaian peristiwa baru-baru ini di berbagai front dapat mendorong perang ini meskipun secara tidak disengaja, dan meski Iran, Hizbullah dan Hamas diyakini tidak tertarik pada konflik langsung dan komprehensif, tapi mereka bersedia mengambil risiko dan bertaruh dengan berani melakukan operasi yang lebih ofensif, karena mereka melihat Israel melemah akibat krisis internal.
Haaretz menyebutkan bahwa Masjid Al-Aqsa masih menjadi sumber “ledakan utama yang menyulut api,†terutama setelah diserbu oleh polisi Israel dan terjadi serangan mereka terhadap jamaah di dalamnya, yang kemudian memicu penembakan roket dari Libanon, Suriah dan Gaza, dan terjadinya operasi anti-Zionis Lembah Yordan dan Tel Aviv.
Menurut Haaretz , Masjid Al-Aqsa akan tetap menjadi fokus perhatian hingga akhir Ramadan, apalagi bersinggungan dengan hari raya tiga agama, Paskah Yahudi, Paskah Kristen, dan Idul Fitri umat Islam.
Disebutkan pula bahwa eskalasi baru-baru ini terjadi sehubungan dengan perubahan lingkungan strategis Israel, karena berkurangnya minat AS terhadap apa yang terjadi di Timur Tengah, meningkatnya kepercayaan diri Iran, yang diekspresikan dalam upaya langsung untuk menantang Israel, dan peningkatan instabilitas di kancah Palestina.
Surat kabar itu mencatat bahwa Hamas menghindari konfrontasi militer di Gaza, tapi mencoba menyalakan front lain dengan berfokus pada serangan dari Al-Quds (Yerussalem) dan Tepi Barat, dan mendorong peluncuran serangan ini, pada saat Otoritas Palestina melemah akibat korupsi dan tenggelam dalam konflik yang semakin besar mengenai penggantian Presiden Mahmoud Abbas, yang digerakkan secara aktif oleh faktor-faktor eksternal, termasuk AS.
Di samping itu, kondisi frustrasi di kalangan generasi muda di Tepi Barat memperparah serangan anti-Israel, apalagi tersedia senjata dalam skala besar dan ada kemauan mereka untuk berperang dan keluar dengan senjata mereka di setiap operasi penembakan untuk membidik pasukan Israel, sehingga gesekan dan jumlah korban meningkat, dan suasanapun memanas.
Haaretz menyebutkan perkembangan tak biasa belakangan ini berupa penembakan roket dari Lebanon, dan serangan di Megiddo, dan menilai semua itu terjadi atas persetujuan Hizbullah, meskipun intelijen Israel tidak menyatakan demikian.
Para menteri Israel memberi tahu kabinet bahwa peluncuran roket itu dilakukan atas inisiatif Hamas di Lebanon, dan tampaknya diinstruksikan Saleh al-Arouri dan Khaled Meshaal, serta tampak pula bahwa Sekjen Hizbullah Sayid Hassan Nasrallah tidak mengetahui hal itu, sementara juga ada keraguan mengenai pengetahuan jajaran pimpinan di Gaza dikepalai oleh Yahya Sinwar dan Mohammad Al-Dhaif mengenai langkah tersebut.
Haaretz menyebutkan dugaan bahwa pertemuan antara Nasrallah, Ismail Haniyeh dan Saleh Al-Arouri bertujuan untuk menyepakati pengelolaan konflik dengan Israel. (raialyoum)
Saudi Pimpin Upaya Pengembalian Suriah ke Liga Arab, Meski Barat Tetap Ingin Kucilkan Damaskus
Arab Saudi memimpin upaya pengembalian Suriah ke Liga Arab, sebuah kebijakan yang sangat kontras dengan upaya berkelanjutan Barat untuk mengisolasi Presiden Suriah Bashar Al-Assad.
Kerajaan Saudi ingin mempercepat langkah ini sebelum KTT Arab di Riyadh bulan depan, sebuah rencana yang didukung oleh Uni Emirat Arab (UEA), yang telah mempelopori upaya normalisasi dengan Al-Assad dengan membuka kembali kedutaannya di Damaskus pada 2018.
Kembalinya Presiden al-Assad ke blok Arab tersebut akan menjadi puncak kegagalan kebijakan Barat terhadap Suriah dan kemenangan diplomatik, yang bukan hanya bagi Al-Assad, melainkan juga bagi para pendukungnya di Rusia dan Iran yang telah mati-matian membela Damaskus selama lebih dari satu dekade , menurut laporan surat kabar Inggris, The Telegraph.
Surat kabar Saudi Okaz pekan lalu menyebutkan bahwa setelah terjadi langkah dadakan pemulihan hubungan dengan Iran bulan lalu, Riyadh sekarang ingin berada di garis depan negara-negara yang mengambil inisiatif untuk menentramkan kantung-kantung konflik regional seperti Suriah, dan memastikan tidak ada yang mengganggu upaya ambisius untuk perubahan ekonominya.
Di pihak lain, AS dan Inggris terus memperingatkan sekutu mereka soal normalisasi dengan Assad. Juru bicara Kemlu AS mengatakan bahwa setiap interaksi dengan Suriah harus menguntungkan rakyat Suriah “bukan rezim Assadâ€, namun tidak jelas apakah negara-negara regional mengindahkannya.
Sejalan dengan laporan itu, lembaga pemberitaan Bloomberg, AS, mengutip pernyataan tiga orang yang mengetahui diskusi yang berkembang di Saudi dan keterangan seseorang yang dekat dengan pemerintah UEA yang mendukung rencana tersebut, bahwa Arab Saudi saat ini terus mengambil langkah-langkah yang akan dilakukan Liga Arab, yang memungkinkan pencabutan penangguhan keanggotaan Suriah saat tanggal KTT yang dijadwalkan di Saudi pada pertengahan Mei semakin dekat.
Sumber-sumber itu mengatakan bahwa AS mengetahui rencana tersebut, tapi menyadari ketidakmampuannya untuk menghentikannya. (raialyoum)