Jakarta, ICMES. Koalisi faksi-faksi resistensi Palestina, Pasukan Nasional dan Islam Palestina, mengutuk kasus penggunaan anjing penyerang oleh tentara perempuan Israel untuk memaksa perempuan Palestina telanjang.
Iran mengecam keras pembukaan kedutaan besar (Kedubes) Israel di Bahrain, dan memperingatkan bahwa normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab tidak akan menyelamatkan rezim Zionis itu dari kehancuran.
Setidaknya 32 warga sipil tewas dan puluhan lainnya luka-luka dalam serangan artileri oleh tentara Sudan. Angka ini tergolong tertinggi dalam satu hari pertempuran sejak perang saudara pecah pada bulan April.
….
Berita Selengkapnya:
Israel Serang Kaum Perempuan, Para Pejuang Palestina Serukan Revolusi
Koalisi faksi-faksi resistensi Palestina, Pasukan Nasional dan Islam Palestina, mengutuk kasus penggunaan anjing penyerang oleh tentara perempuan Israel untuk memaksa perempuan Palestina telanjang. Koalisi itu menyerukan revolusi sebagai tanggapan atas penistaan rezim Zionis itu terhadap martabat orang Palestina.
Koalisi itu mengutuk “serangan brutal†pasukan Israel terhadap seorang wanita Palestina di lingkungan Bab Hutta, dekat pintu masuk Gerbang Al-Asad ke Kota Tua al-Quds, atas dugaan upaya penikaman terhadap tentara tersebut.
“Rezim pendudukan (Israel) telah melanggar semua garis merah dengan melakukan tindakan seperti itu, dan telah menodai semua tempat suci. Hal ini telah merusak martabat umat manusia dengan menyasar kehormatan perempuan Palestina yang merdeka,†kata kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan.
Koalisi itu menyerukan kepada seluruh kaum peduli kebebasan di dunia, lembaga-lembaga peduli HAM serta badan-badan internasional untuk bertindak melindungi warga Palestina dari agresi “fasis†Israel.
“Penjahat perang Israel harus diadili atas kejahatan mereka di hadapan pengadilan internasional,†tegas mereka.
“Eksekusi lapangan, penyerangan dan penghancuran yang dilakukan pasukan Israel di seluruh kota dan kamp kami tidak akan menggentarkan bangsa kami, dan tidak akan menghalangi mereka untuk melakukan perlawanan terhadap pendudukan Israel hingga kemenangan akhir,†lanjut mereka.
Sebelumnya, Hamas menyatakan bahwa serangan terhadap lima wanita Palestina di kota al-Khalil (Hebron), Tepi Barat, “menegaskan sekali lagi bahwa rezim Israel yang jahat tidak menghormati hukum atau konvensi internasional apa pun.â€
“Israel tidak tertarik pada hukum internasional yang melindungi orang-orang yang hidup di bawah pendudukan, sementara komunitas internasional terus mengabaikan kejahatan Israel yang terus berlanjut,†ungkap Hamas.
Faksi pejuang yang berbasis di Gaza ini juga menyatakan, “Hamas menekankan bahwa kejahatan ini adalah eskalasi serius yang tidak akan terjadi tanpa adanya pembalasan dari rakyat Palestina. Segala kejahatan Israel ditujukan untuk meneror rakyat Palestina dan menghentikan perlawanan serta perjuangan mereka demi kebebasan. Skema seperti itu pasti akan gagal, mengingat ketabahan rakyat Palestina.â€
Pada 10 Juli lalu menyerang gedung sebuah keluarga Palestina, setelah intelijen menuduh keberadaan senjata. Bangunan itu menampung 26 orang dari satu keluarga, termasuk 15 anak kecil dan remaja berusia antara 4 dan 17 tahun, menurut surat kabar berbahasa Israel Haaretz.
Seorang wanita Palestina di sana kemudian disuruh berjalan telanjang di depan tentara dan beberapa anggota keluarga setelah terjadi pertemuan antara wanita tersebut dengan anggota keluarga Palestina.
Menurut para perempuan di sana, tentara mengancam akan melepaskan anjing penyerang jika mereka tidak menuruti perintah mereka. Sejumlah pria Palestina menjadi sasaran penggeledahan tubuh tetapi tidak dipaksa membuka pakaian. (presstv)
Iran: Normalisasi Hubungan dengan Arab Tak Bisa Selamatkan Israel dari Kehancuran
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanaani mengecam keras pembukaan kedutaan besar (Kedubes) Israel di Bahrain, dan memperingatkan bahwa normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab tidak akan menyelamatkan rezim Zionis itu dari kehancuran.
Kanaani menyatakan demikian pada Selasa (5/9), sehari setelah Israel secara resmi membuka kedutaan besarnya di Manama di tengah protes dan amarah masyarakat Bahrain terhadap langkah tersebut.
Mengutuk normalisasi hubungan negara-negara Muslim tertentu dengan Tel Aviv, Kanaani memastikan tindakan detente demikian tidak dapat menyelamatkan rezim Zionis dari nasib buruk yang dapat diperkirakan.
“Tindakan kompromi yang dilakukan segelintir negara Muslim dalam menangkap tangan kriminal Zionis tidak melemahkan tekad kuat bangsa Palestina untuk mewujudkan pembebasan tanah merek,†tandas Kanaani.
Dia menambahkan bahwa tindakan itu tak berguna dalam upaya untuk “menyelamatkan rezim Zionis yang sudah goyah dari ancaman disintegrasi”.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran juga menyebut normalisasi itu tidak ada hubungannya dengan aspirasi rakyat di negara-negara Muslim tersebut.
Dia mengutip protes yang penuh kemarahan di seluruh Libya menyusul publikasi berita mengenai terjadinya pertemuan rahasia baru-baru ini antara mantan Menteri Luar Negeri Libya Najla El Mangoush dan sejawatnya dari Israel Eli Cohen.
Demonstrasi tersebut, tegas Kana’ani, mencerminkan “dalamnya kebencian masyarakat regional terhadap rezim Zionis yang sedang merebut kekuasaan”.
Kanaani mengakhiri pernyataannya dengan mengingatkan bahwa normalisasi dengan Israel bertentangan dengan tanggung jawab kemanusiaan, moral, dan internasional negara-negara Muslim untuk mendukung hak-hak bangsa Palestina.
Pada tahun 2020, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain menandatangani perjanjian yang ditengahi Amerika Serikat dengan Israel untuk menormalisasi hubungan mereka dengan rezim Tel Aviv. Beberapa negara regional lainnya, seperti Sudan dan Maroko, segera mengikuti langkah yang sama.
Para pejabat Palestina mengecam kesepakatan antara negara-negara Arab dan Israel untuk membangun hubungan diplomatik yang normal, dan menyebut perjanjian itu sebagai pengkhianatan. (presstv)
Sedikitnya 32 Orang Tewas Akibat Serangan Terbaru dalam Perang Saudi di Sudan
Setidaknya 32 warga sipil tewas dan puluhan lainnya luka-luka dalam serangan artileri oleh tentara Sudan. Angka ini tergolong tertinggi dalam satu hari pertempuran sejak perang saudara pecah pada bulan April, ungkap kelompok aktivis Emergency Lawyers.
Pernyataan yang dirilis pada hari Rabu (6/9) menyebutkan bahwa penembakan pada hari Selasa terjadi di lingkungan Ombada di bagian barat Omdurman, sebuah lingkungan yang telah mengalami beberapa serangan mematikan.
Para aktivis HAM dan warga mengatakan bahwa tentara reguler dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang bertempur satu sama lain untuk menguasai negara telah menembakkan rudal ke daerah-daerah berpenduduk, menyebabkan ratusan korban sipil di ibu kota Khartoum dan kota-kota lain.
Meskipun RSF menguasai sebagian besar wilayah di Khartoum dan kota Omdurman dan Khartoum Utara yang merupakan ibu kota yang lebih luas, tentara memiliki keunggulan dalam artileri dan pesawat yang lebih berat.
Pada Rabu malam, penguasa militer Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, mengeluarkan dekrit konstitusi yang memerintahkan pembubaran RSF, ungkap Dewan Kedaulatan Pemerintahan. Belum ada reaksi langsung dari RSF.
Awal pekan ini, sumber-sumber militer mengatakan tentara telah mengerahkan sejumlah besar pasukan darat di Omdurman dan sedang mempersiapkan operasi besar untuk mencoba memutus jalur pasokan utama RSF ke ibu kota dari wilayah Darfur.
Relawan lokal melaporkan bahwa 19 orang tewas dalam serangan tentara di Ombada pada hari Minggu lalu. Warga mengatakan banyak orang meninggalkan lingkungan Ombada pada hari Rabu.
Aktivis dan warga juga menuduh RSF merusak rumah-rumah dengan menembakkan rudal anti-pesawat dan artileri, serta menjarah dan menduduki lingkungan sipil.
“Penggunaan artileri berat dan ringan di wilayah yang dipenuhi warga sipil adalah kejahatan perang… dan mencerminkan pengabaian terhadap nyawa mereka,†tegas Emergency Lawyers, yang merupakan kelompok aktivis hukum pro-demokrasi, pada hari Rabu.
Mereka mengatakan tentara dan RSF akan diadili.
Faksi-faksi tersebut, yang berselisih mengenai rencana yang didukung internasional untuk mengintegrasikan kekuatan mereka selama transisi menuju demokrasi, telah membantah bertanggung jawab atas serangan yang telah menewaskan warga sipil. (aljazeera)