Rangkuman Berita Utama Timteng Jumat 25 Maret 2022

Jakarta, ICMES. Rezim Zionis Israel mengaku mengambil posisi netral dalam krisis Ukraina dengan alasan khawatir jet tempurnya ditembak jatuh dan pilotnya ditawan di Suriah.

Pemerintah Suriah menyatakan negara yang dipimpin Presiden Bashar Al-Assad ini merupakan mitra Rusia dalam konfrontasi Rusia dengan Barat di tengah carut marut isu-isu internasional yang semakin tumpang tindih.

Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian dalam kunjungan ke Lebanon setelah ke Suriah membicarakan berbagai isu Timteng dalam pertemuan dengan para petinggi Lebanon.

Berbagai partai dan elemen politik Yaman menyerukan kepada rakyat Yaman untuk menyambut delapan tahun resistensi negara ini dengan mengikuti rapat-rapat akbar yang akan diadakan di alun-alun maupun tempat-tempat terbuka lainnya.

Berita Selengkapnya:

Takut Jet Tempurnya Jatuh di Suriah, Israel Mengaku Netral dalam Krisis Ukraina

Rezim Zionis Israel mengaku mengambil posisi netral dalam krisis Ukraina dengan alasan khawatir jet tempurnya ditembak jatuh dan pilotnya ditawan di Suriah.

Menurut surat kabar Israel Maariv, alasan itu disampaikan Menteri Luar Negeri Yair Lapid dalam pidato di depan Universitas Reichsman di Herzliya, Kamis (24/3).

Dia menjelaskan bahwa pendirian Israel mengenai Ukraina bertumpu pada kepentingannya dengan semua pihak dan apa yang menunjang keamanannya berkenaan dengan Suriah.

“Kita harus mempertahankan pendirian kami antara serangan di Ukraina dan kepentingan kami di Suriah,” katanya.

Dia melanjutkan, “Kita harus mencegah kemungkinan penembakan jatuhan atau penawanan pilot Israel di Suriah.”

Pernyataan ini mengacu pada kemungkinan Rusia menggunakan senjata canggih untuk menembak jatuh jet jetmpur Israel yang kerap melancarkan serangan ke posisi-posisi di Suriah, di mana Rusia sejauh ini tidak ikut campur, dan memasrahkan respons terhadapnya kepada pertahanan Suriah sendiri.

Lapid sebelumnya menyatakan bahwa Israel akan bekerja semaksimal mungkin untuk mencapai solusi damai di Ukraina, berkoordinasi dengan sekutu Amerika Serikat dan mitra Eropanya. (mm/raialyoum)

Suriah Mengaku sebagai Mitra Rusia dalam Konfrontasi dengan Barat

Pemerintah Suriah menyatakan negara yang dipimpin Presiden Bashar Al-Assad ini merupakan mitra Rusia dalam konfrontasi Rusia dengan Barat di tengah carut marut isu-isu internasional yang semakin tumpang tindih.

Dalam pertemuan khusus yang diselenggarakan oleh Persatuan Penulis Arab, Wakil Menteri Luar Negeri Suriah Bashar Jaafari mengatakan, “Ada arus informasi yang sangat besar, tapi kita kekurangan banyak pendidikan politik.  Barat berbohong kepada kita, dan kitapun hidup dalam kebohongan politik Barat. Ada problema pendidikan politik untuk apa yang terjadi di Ukraina.”

Dia menekankan, “Kita mengalami kedustaan Barat, dan Barat artinya ialah penjarahan kekayaan, aksi pendudukan, dan hasutan terhadap bangsa-bangsa lain, dan mereka selalu memusuhi simbol-simbol nasionalisme berbagai negara dan orang-orang yang mengerti politik berlandaskan prinsip, bukan bisnis.”

Jaafari juga mengatakan, “Kita selalu berada di persimpangan jalan. Penyebabnya adalah pemahaman politik di Suriah berasaskan prinsip. Apa yang praktis kurang dari kita sekarang di dunia meski terjadi gempita informasi yang sangat besar ialah kelangkaan informasi yang benar.”

Menurutnya, ada kemunduran yang menakutkan pada peran politik yang menunjang geopolitik, sementara isu-isu internasional semakin tumpang tindih, dan ada ketakutan akan geopolitik di seluruh dunia.

“Suriah adalah yang terbaik dalam memahami resiko geopolitik di antara sejumlah kecil negara, dan Suriah memiliki peran yang krusial dan historis,” klaimnya.  

Dia memastikan negaranya “tidak berdiri netral” untuk perkembangan di Ukraina, melainkan merupakan “mitra Rusia dalam konfrontasi langsung dengan Barat.”

“Rusia berdiri bersama kami, berperang bersama kami, jadi kami berada dalam satu kubu, dan kami bermitra dengan Rusia dalam setiap konfrontasi dengan Barat yang mengusik kami.”

Jaafari lantas menyebutkan bahwa pengalaman Ukraina “membuktikan kerapuhan sistem keamanan Eropa” ketika “Uni Eropa mengekor pada NATO” yang melakukan ekspansi ke timur tanpa mengindahkan kekhawatiran Rusia. (mm/rt)

Kunjungi Lebanon, Menlu Iran Adakan Pertemuan dengan Pejabat Lebanon dan Para Tokoh Pejuang Palestina

Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian dalam kunjungan ke Lebanon setelah ke Suriah membicarakan berbagai isu Timteng dalam pertemuan dengan para petinggi Lebanon.

Amir-Abdollahian yang memimpin delegasi Iran tiba di Beirut, Kamis (24/3),  dan dijadwalkan mengadakan pertemuan dengan Presiden Michel Aoun, Ketua Parlemen Nabih Berri, Perdana Menteri Najib Mikati, sejawatnya dari Lebanon Abdallah Bou Habib serta sejumlah tokoh politik.

 â€œKami menyatakan sekali lagi bahwa kami siap untuk melanjutkan dukungan kami dan kerjasama perdagangan dan ekonomi yang penting dengan Lebanon,” ujarnya.

Dia menceritakan bahwa dalam pertemuan dengan Mikati di sela-sela Konferensi Keamanan Munich ke-58 sebulan yang lalu dia memberi tahu Mikati kesiapan Iran membangun dua pembangkit listrik 1.000 megawatt di Lebanon serta mengembangkan kerjasama perdagangan dan ekonomi.

“Republik Islam Iran telah membuktikan bahwa ia akan tetap bersama teman-temannya di hari-hari yang sulit,” ungkapnya.

Dia juga memuji resistensi Lebanon terhadap Israel dan kawanan teroris dengan mengatakan, “Nama Lebanon terkait dengan perlawanan. Jika bukan karena resistensi Lebanon dan rakyat Lebanon, Beirut sekarang sudah berada di bawah sepatu penjajah rezim palsu Israel. Jika bukan karena resistensi dan pembela tempat-tempat suci, DAESH (ISIS) sekarang sudah eksis di kawasan kita, dan kawasan ini akan mengambil bentuk yang berbeda.”

Amir-Abdollahian mengadakan pertemuan dengan sejumlah petinggi faksi-faksi pejuang Palestina, termasuk pemimpin Jihad Islam Ziyad al-Nakhalah dan pejabat senior Hamas Mousa Mohammed Abu Marzook, di Kedubes Iran di Beirut.

“Republik Islam Iran dengan lantang mendukung pembentukan negara Palestina bersatu di seluruh tanah bersejarah Palestina, dengan al-Quds sebagai ibu kotanya,” tegasnya pada konferensi pers.

“Rencana politik Republik Islam Iran untuk Palestina telah terdaftar di PBB. Sementara kami melihat perlawanan sebagai satu-satunya pilihan untuk pembentukan negara Palestina bersatu, kami percaya bahwa penyelenggaraan referendum warga pribumi Palestina, Muslim, Yahudi dan Kristen dapat menentukan masa depan politik Palestina melalui pemungutan suara langsung dari rakyat Palestina,” terangnya.

Mengenai hubungan Iran dengan Arab Saudi, Menlu Iran mengaku pihaknya telah menangkap pernyataan kontradiktif dari Arab Saudi terkait dengan pembaruan hubungan bilateral.

“Republik Islam (Iran) menyambut baik kembalinya hubungan bilateral dengan Arab Saudi. Namun, pesan beragam telah diterima dari Kerajaan. Kami berharap Saudi akan bertindak untuk kepentingan kawasan,” katanya.

Arab Saudi dan Iran telah memulai pembicaraan langsung dengan mediasi Irak di Baghdad pada tahun lalu dalam upaya menyelesaikan perselisihan antara keduanya. Menlu Irak mengatakan bahwa putaran kelima pembicaraan akan dimulai pada 16 Maret. Namun, media Iran belakangan melaporkan bahwa Teheran menangguhkan pembicaraan dengan Saudi.

Penangguhan itu dilakukan setelah Saudi pada awal bulan ini mengaku telah mengeksekusi 81 orang dalam eksekusi massal terbesar dalam beberapa dekade. Para aktivis mengatakan 41 tereksekusi berasal dari wilayah Qatif yang mayoritas penduduknya bermazhab Syiah. (mm/presstv)

Sambut 8 Tahun Perang, Rakyat Yaman akan Gelar Rapat Akbar

Berbagai partai dan elemen politik Yaman, Kamis (24/3), menggelar kegiatan yang terpusat dalam rangka menyambut delapan tahun pertahanan bangsa negara ini melawan agresi koalisi Saudi-UEA yang didukung Barat.

Pada kegiatan itu mereka menyerukan kepada rakyat Yaman untuk menyambut momen itu dengan mengikuti rapat-rapat akbar yang akan diadakan di alun-alun maupun tempat-tempat terbuka lainnya pada hari Sabtu (26/3).

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, dalam rapat-rapat demikian rakyat Yaman menegaskan dukungannya kepada perjuangan tentara Yaman dan pasukan Ansarullah melawan invasi dan agresi musuh-musuhnya.

Berbagai partai dan elemen politik Yaman menyatakan bahwa pihak agresor telah menolak sejumlah inisiatif Sanaa, dan bahwa perdamaian harus bertolak dari komitmen penghentian agresi dan blokade, penarikan semua pasukan asing, pembayaran ganti rugi dan penyelenggaraan rekonstruksi.

Sejak Maret 2015 pasukan koalisi Arab yang dipimpin Arab Saudi dan didukung AS, Israel dan negara-negara Barat melancarkan intervensi militer ke Yaman dengan dalih membela presiden pelarian Mansour Hadi.

Saudi dan sekutunya semula mengira tentara Yaman dan Ansarullah dapat segera dikalahkan, namun mereka lantas menelan pil pahit setelah melihat tentara Yaman dan Ansarullah justru semakin kuat sehingga sekarang perang yang telah menjatuhkan ratusan ribu korban tewas ini memasuki tahun kedelapan.  (alalam)