Rangkuman Berita Timteng Rabu 9 Januari 2019

erdogan soal khashoggiJakarta, ICMES: Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menolak keras desakan  Amerika Serikat (AS) agar Turki menjamin keamanan milisi Kurdi di Suriah utara ketika pasukan AS keluar dari Suriah.

Pasukan koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat (AS) masih aktif melancarkan serangan di Suriah sejak awal tahun 2019, meskipun Gedung Putih sudah mengumumkan keputusan untuk menarik pasukan AS dari Suriah.

Wakil Pertama Presiden Iran menyatakan bahwa AS tetap akan gagal mencapai tujuannya seandainyapun menghabiskan 10 kali lebih banyak daripada jumlah dana yang telah dihabiskan selama ini di kawasan Timteng.

Sekretaris Jenderal PBB meminta Dewan Keamanan PBB menyetujui pengerahan sekitar 75 pengawas di kota dan pelabuhan Hodeidah, Yaman, selama enam bulan untuk memantau gencatan senjata.

Berita selengkapnya:

Erdogan Menolak Desakan AS Agar Turki Menjamin Keamanan Kurdi Suriah

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menolak keras desakan  Amerika Serikat (AS) agar Turki menjamin keamanan milisi Kurdi di Suriah utara ketika pasukan AS keluar dari Suriah.

Penolakan itu dinyatakan Erdogan tepat ketika Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton sedang berada di Ankara, ibu kota Turki, Selasa (8/1/2019).

Kedua negara terlibat perselisihan tajam menyangkut milisi Kurdi Suriah Unit Perlindungan Rakyat (YPG). Ankara menganggap mereka sebagai pasukan “teroris”, sementara Washington membelanya karena banyak andil dalam perang melawan kelompok teroris ISIS.

Dalam beberapa minggu terakhir Ankara telah berulang kali mengancam akan melancarkan serangan untuk mengusir YPG dari Suriah utara.

Saat berada di Israel pada hari Minggu lalu Bolton mengatakan bahwa sebelum pasukan AS keluar dari Suriah harus ada kondisi tertentu, termasuk kepastian keamanan milisi Kurdi Suriah yang notabene sekutu AS.

Dalam sebuah pidato di Ankara usai pertemuan antara Bolton dan juru bicara kepresidenan Turki, Ibrahim Kalin, Selasa, Erdogan menyebut pernyataan Bolton itu “tak dapat diterima, dan tak dapat ditoleransi.”

Erdogan menegaskan, “John Bolton melakukan kesalahan serius…. Sementara orang-orang ini adalah teroris, sebagian orang mengatakan, ‘Jangan dekat-dekat dengan mereka, mereka orang Kurdi…’ Mereka mungkin juga orang Turki, Turkman atau Arab. Jika mereka adalah teroris, kami akan melakukan apa yang perlu, terlepas dari mana mereka berasal. ”

Dia menambahkan, “Kami akan segera bertindak untuk melenyapkan kelompok-kelompok teroris di Suriah.”

Di hari yang sama, Turki mengaku berharap kesediaan AS menarik senjata yang telah diserahkannya kepada milisi Kurdi di Suriah untuk perang melawan teroris.

Juru bicara Bolton Garrett Marquis menyebut pertemuan Bolton di Ankara “berbuah”. Namun,  Ibrahim Kalin menyangkal klaim AS bahwa Erdogan telah berjanji kepada Trump untuk menjamin keamanan milisi Kurdi setelah penarikan AS dari Suriah. (raialyoum)

Pasukan Koalisi Masih Lancarkan Serangan Di Suriah

Pasukan koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat (AS) masih aktif melancarkan serangan di Suriah sejak awal tahun 2019, meskipun Gedung Putih sudah mengumumkan keputusan untuk menarik pasukan AS dari Suriah.

Jadwal penarikan pasukan itu sendiri semakin kabur dengan adanya pernyataan-pernyataan terbaru yang beruntun dari Presiden AS Donald Trump.

Juru bicara Pentagon Sean Robertson kepada AFP, Senin (7/1/2019), mengatakan, “Pasukan koalisi terus memberikan bantuan kepada mitra Suriah kami dengan dukungan serangan udara dan serangan artileri di lembah Eufrat.”

Dia menyebutkan bahwa Pasukan Demokrasi Suriah (SDF), aliansi Kurdi dan Arab Suriah, yang didukung oleh AS telah membebaskan kota al-Kashmeh, provinsi Deir el-Zor, Suriah, dari tangan kelompok teroris ISIS pada 2 Januari 2019.

“Kami akan terus bekerja dengan koalisi dan mitra lokal kami untuk mengalahkan organisasi Negara Islam (IS/ISIS) secara permanen,” katanya, beberapa jam setelah Trump mengumumkan melalui Twitter-nya bahwa penarikan sekira 2000 personil Pasukan Khusus AS dari Suriah akan dilakukan “dengan kecepatan yang sesuai.”

Dalam pernyataan terbaru Trump mengatakan bahwa penarikan pasukan AS itu akan dilakukan selama beberapa waktu dan “pada langkah yang tepat.” (raialyoum)

Wapres Iran: AS Tetap Akan Gagal Seandainyapun Mengeluarkan Dana 10 Kali Lipat Di Timteng

Wakil Pertama Presiden Iran, Ishaq Jahangiri, menyatakan bahwa musuh-musuh negara republik Islam ini berusaha untuk menerapkan tekanan dan memberlakukan sanksi yang dapat mempengaruhi kondisi kehidupan masyarakat Iran dan berdampak pada keruntuhan ekonomi negara ini.

Namun, sebagaimana dilansir IRNA, dalam sebuah acara di Teheran, Selasa (8/1/2019), Jahangiri  memastikan bahwa musuh nomor wahid Iran, Amerika Serikat (AS), tetap akan gagal mencapai tujuannya seandainyapun menghabiskan 10 kali lebih banyak daripada jumlah dana yang telah dihabiskan selama ini di kawasan Timteng.

“AS menghabiskan US$ 7 miliar di kawasan tanpa keuntungan apapun, dan kalaupun menghabiskan 10 kali jumlah itu Washington tidak akan meraih tujuannya,” ungkap Jahangiri.

Dia mengingatkan bahwa kubu musuh Iran menggalang konspirasi untuk  menciptakan “masa depan yang gelap dan berkabut” bagi Iran.

Dia menambahkan bahwa kekompakan dan persatuan merupakan kunci perlawanan terhadap konspirasi itu, dan dalam rangka ini pula Iran perlu menggunakan teknologi modern yang relevan dengan dinamika sosial dan ekonomi saat ini.

Jahangiri menepis keras tuduhan AS bahwa Iran menginginkan senjata pemusnah massal dan menyulut persaingan senjata nuklir di Timteng. Menurutnya, Iran justru terus mengupayakan mekanisme penyelesaian aneka persoalan regional berdasarkan dialog, logika dan kerja sama. (raialyoum)

Sekjen PBB Minta Pengerahan 75 Pengawas Gencatan Senjata Di Hodeidah

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, Selasa (8/1/2019), meminta Dewan Keamanan PBB menyetujui pengerahan sekitar 75 pengawas di kota dan pelabuhan Hodeidah, Yaman, selama enam bulan untuk memantau gencatan senjata.

Dewan yang terdiri atas 15 negara itu harus mengambil tindakan atas permintaan Guterres pada 20 Januari 2019, yaitu tanggal berakhirnya masa berlaku mandat 30 hari untuk tim pemantauan awal yang dipimpin oleh Jenderal Patrick Cammaert dari Belanda.

Jumlah anggota tim pengawas yang dipimpin Cammaert di Hodeidah sejauh ini belum diidentifikasi. PBB menyebutkan bahwa tim itu tidak bersenjata dan tidak pula mengenakan seragam.

Pada akhir tahun lalu, Dewan Keamanan meminta Guterres merekomendasikan tim pemantauan lain yang jumlahnya lebih besar. Para diplomat mengungkapkan bahwa belum ada negara anggota Dewan Keamanan yang mengajukan draf resolusi untuk menyetujui usulan Guterres tersebut.

Dalam usulan Guterres kepada Dewan pada tanggal 31 Desember itu dia menyebut tim yang beranggotakan 75 orang itu sebagai “kehadiran ringan” untuk mengawasi kepatuhan terhadap perjanjian serta untuk menyusun argumen dan menilai fakta dan kondisi di lapangan.

“Juga akan diperlukan sumber daya dan aset yang memadai untuk memastikan keselamatan dan keamanan personel PBB, termasuk kendaraan lapis baja, infrastruktur komunikasi, pesawat terbang dan dukungan medis yang sesuai,” ungkap Guterres dalam usulan tersebut.

Dia mengatakan bahwa misi pemantauan lebih besar akan membantu menunjang “proses politik yang rapuh”. Proses ini  sendiri diluncurkan kembali oleh utusan PBB untuk Yaman, Martin Griffiths, yang mengupayakan putaran baru pembicaraan antarpihak Yaman pada bulan ini.

Griffiths dan Koordinator Bantuan Kemanusiaan PBB Mark Lowcock diperkirakan akan memberi pengarahan kepada Dewan Keamanan mengenai situasi di Yaman pada hari ini, Rabu (9/1/2019).

Guterres mengimbau negara-negara jiran Yaman membantu para pengawas dengan “memastikan keleluasaan dan kecepatan pergerakan dari dan ke Yaman” bagi individu, peralatan dan pasokan yang melewati perbatasannya, serta penempatan “personel, kendaraan, dan pesawat pendukung di wilayahnya.” (rt)