Oleh: Dina Y. Sulaeman (Direktur ICMES), disampaikan dalam Seminar Internasional “Perempuan, Masyarakat, dan Politik Internasional”, Unhas.*
Globalisasi adalah fenomena semakin terhubungnya antar-negara dan antar-individu di dunia, baik melalui hubungan ekonomi, politik, maupun sosial. Berkat kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi, lalu-lintas orang, barang, jasa, dan ide menjadi semakin mudah sehingga seolah-olah batas antarnegara menjadi kabur.
Di balik berbagai kemudahan dan kenyamanan hidup, serta ‘kemajuan’ yang diberikan oleh globalisasi, sesungguhnya ada masalah besar yang diderita oleh mayoritas manusia di bumi. Arus globalisasi didorong oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dunia (korporasi) yang ingin mencari profit yang lebih besar dengan cara menguasai sumber-sumber ekonomi di berbagai penjuru dunia. Dengan cara ini, akumulasi uang terbanyak berada di tangan segelintir manusia, sementara sebagian besar penduduk bumi harus bekerja keras memperebutkan sisanya.
Archer (2009) memetakan ada tiga dampak negatif globalisasi bagi perempuan. Secara umum, menurut Archer, dampak globalisasi memang beragam. Perempuan yang berada dalam tingkat ekonomi dan sosial tinggi lebih mampu meraih keuntungan dari globalisasi. Misalnya, mereka mampu berbisnis online dengan pendapatan yang sangat besar. Namun, bagi perempuan yang berada di tingkat ekonomi dan sosial yang lemah, globalisasi justru semakin memarjinalisasi dan memiskinkan mereka.
Pertama, kemudahan transportasi dan komunikasi yang dibawa globalisasi membuat perusahaan-perusahaan multinational (MNCs) leluasa membangun pabrik di tempat-tempat yang jauh, namun memberikan keuntungan yang berlipat-lipat. Misalnya, pabrik baju bermerek dari AS memilih membuat pabrik di Karawang karena upah buruh yang sangat murah. Baju yang mereka jual di pasar Eropa dan AS berharga sangat mahal, sementara buruh di Kawarang tetap miskin. MNC lebih memilih perempuan untuk direkrut sebagai buruh karena gajinya lebih murah, lebih ‘manut’ (tidak banyak protes), lebih mudah dimanipulasi, dan lebih sering berhenti bekerja (dengan alasan menikah atau punya anak) sehingga, perusahaan tidak terbebani oleh jaminan sosial dan kesehatan, atau pensiun. Karena MNC lebih superior, sewaktu-waktu dapat memindahkan pabriknya ke negara lain dengan alasan keamanan atau gaji buruh yang lebih murah, pemerintah pun menjadi inferior di hadapan MNC. Pemerintah berusaha memberikan pelayanan sebaik mungkin (antara lain pengurangan pajak, menekan standar upah minium, dan membuat aturan tenaga kerja yang membuat nyaman MNC), meskipun itu merugikan rakyatnya sendiri.
Kedua, globalisasi datang satu paket dengan liberalisasi ekonomi yang didorong oleh lembaga-lembaga finansial dunia seperti Bank Dunia dan IMF, serta WTO. Indonesia pada tahun 1997 menandatangani Letter of Intent dengan IMF yang di antara isinya adalah kesediaan Indonesia untuk menyerahkan mekanisme distribusi pangan kepada pasar; mencabut berbagai subsidi untuk petani, serta menghapus berbagai pembatasan dagang sehingga memberi kebebasan kepada para pengusaha untuk melakukan ekspor-impor sesuai dengan kebutuhan pasar. Selain itu, Indonesia juga berjanji melakukan pemotongan dan bahkan pencabutan subsidi dalam berbagai sektor, mulai BBM hingga pendidikan dan pelayanan sosial.
Perempuan adalah korban utama dari kebijakan ini karena di kalangan ekonomi lemah, perempuan sering berfungsi penghasil pangan (petani) atau penanggung jawab ketersediaan pangan dalam keluarga. Perempuan yang terbanyak membutuhkan pelayanan kesehatan (terutama masa kehamilan, melahirkan, dan pasca melahirkan, serta masa-masa perkembangan anak). Banyak penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penerapan sistem ekonomi neoliberal di negara-negara berkembang menambah beban yang jauh lebih besar terhadap perempuan (Benería, 2003).
Ketiga, kemudahan transportasi antarnegara semakin membuka peluang bagi perempuan dari suatu negara untuk mencari penghidupan yang lebih baik di negara lain. Namun, kondisi yang dihadapi oleh kaum perempuan terdidik dengan perempuan dari kalangan ekonomi lemah, sangat berbeda. Kaum perempuan ekonomi lemah umumnya bekerja di sektor pelayanan fisik (rumah tangga, restoran, pabrik) dengan beban kerja yang berat, kondisi pekerjaan yang tidak manusiawi, dan upah yang tidak sepadan. Kondisi yang jauh lebih buruk dialami oleh korban perdagangan perempuan; yaitu perempuan dikirim secara illegal ke negara asing untuk dipekerjakan secara paksa, umumnya di sektor prostitusi. Bisnis penyelundupan perempuan ini melibatkan uang milyaran dollar.
Saya ingin menambahkan dampak negatif keempat yang terlihat semakin marak akhir-akhir ini, yaitu semakin mengglobalnya ideologi kebencian. Perempuan menjadi pelaku dari fenomena ini, sekaligus sebagai korban. Kemudahan mengakses internet dan kepemilikan gadget membuat penyebarluasan ideologi kebencian menjadi sangat masif, dan bahkan dilakukan oleh kaum perempuan dari kalangan yang semula apolitis (misalnya, ibu rumah tangga). Dengan mudah mereka men-share narasi-narasi kebencian terhadap kelompok ‘liyan’ (kelompok yang berbeda, baik etnis, agama, atau mazhab). Ketika perilaku ini terjadi secara masif secara global, dampaknya sangat luar biasa. Kita bisa melihat arus manusia (laki-laki dan perempuan) yang bergabung menjadi jihadis di Suriah dan Irak (bergabung dengan kelompok ISIS, maupun kelompok teroris lain dengan nama-nama lain, semisal Jabhah Al Nusra, atau Al Qaida), datang tak putus-putusnya, bahkan tak mampu dicegah oleh negara.
Di media sosial, anasir-anasir ISIS perempuan bahkan secara aktif mempropagandakan ideologi kebencian (dengan menggunakan terma ‘jihad’ atau ‘surga’) untuk menarik perempuan dari berbagai penjuru dunia untuk datang bergabung. Melalui kampanye yang sangat masif di media sosial, mereka mengiming-imingi kehidupan bahagia bersama ISIS yaitu: menikah dengan mujahidin, memiliki rumah di negeri Islam, dan kesempatan untuk mengabdikan diri kepada agama Allah (jihad). Di antara anggota ISIS yang gencar membujuk kaum perempuan (dan sangat banyak followernya) adalah Al Khansa dan Umm Layth.
Isu yang paling sering mereka manfaatkan adalah isu Sunni-Syiah dan menyebut ‘jihad’ yang mereka lakukan adalah untuk membasmi kaum Syiah. Namun dalam praktiknya, yang dibantai ISIS adalah siapapun yang tidak mau bergabung dengan mereka: apapun agama, mazhab, dan etnis. Karena itulah kita saksikan korban pembantaian ISIS (dan kelompok teroris sejenis yang tidak menggunakan nama ISIS, tapi memiliki ideologi sejenis, yaitu takfirisme) sangat acak, Sunni, Syiah, Yazidi, Kristen, Kurdi, dll.
Ironisnya, yang menjadi korban terbesar dari penyebaran ideologi kebencian yang sangat masif ini justru kaum perempuan. Menurut data UNHCR, saat ini ada 2,2 juta pengungsi Suriah, 51,3% adalah perempuan. Kaum perempuan Suriah yang semula hidup nyaman di negara berhaluan sosialis (sekolah, kesehatan gratis, dan berbagai subsidi) kini harus menderita kemiskinan, kelaparan, pelecehan seksual, dan banyak gadis-gadis muda yang dinikahkan paksa kepada laki-laki asing yang datang dari berbagai negara Arab Teluk dengan imbalan uang.
DATA PBB: TAKFIRI MENGGUNAKAN PEMERKOSAAN SEBAGAI STRATEGI PERANG
Data terbaru PBB yang dirilis Senin (13/9/2015) mengungkap fakta bahwa pemerkosaan telah menjadi taktik perang kelompok jihadis, seperti ISIL dan Boko Haram, dan 11 kelompok lainnya. Disebutkan dalam laporan itu bahwa sepanjang tahun 2014 aksi pemerkosaan, perbudakan seks, kawin paksa, telah digunakan oleh kelompok teroris sebagai salah satu taktik teror mereka.
Menurut laporan ini, penyerangan seksual yang terjadi di Irak, Suriah, dan Nigeria bukanlah kebetulan, melainkan sangat terkait integral dengan strategi objektif, ideologi, dan pendanaan kelompok-kelompok teroris itu. Pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya juga digunakan untuk menarik bergabungnya pasukan baru, meneror masyarakat, serta mendapatkan penghasilan dengan cara menjual perempuan-perempuan untuk dijadikan budak seks.
THINK GLOBALLY, ACT LOCALLY
Salah satu dampak positif era globalisasi adalah semakin mudahnya komunikasi antarmanusia di berbagai penjuru dunia sehingga membuka jalan bagi terbentuknya gerakan kaum perempuan secara global. Sejak tahun 1990-an, kaum perempuan dari berbagai negara sudah mulai berjejaring secara internasional untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan mencari jalan keluar dari berbagai problem yang ditimbulkan oleh globalisasi. Mereka mengadakan sejumlah konferensi perempuan internasional yang hasilnya mampu mempengaruhi berbagai organisasi internasional maupun masyarakat sipil untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap nasib perempuan Perhatian besar itu muncul di antaranya dalam berbagai program PBB. Misalnya, sejak tahun 2000 telah menetapkan 8 target pembangunan millenium (Millennium Development Goals-MDGs) yang harus sudah tercapai pada tahun 2015 dan kedelapan target itu sangat berkaitan erat dengan perempuan.
Globalisasi memang membawa dampak negatif bagi kaum perempuan, khususnya kalangan miskin dan masyarakat terdampak konflik. Namun di saat yang sama, globalisasi juga memberi peluang bagi kaum perempuan yang terdidik untuk melakukan perlawanan dan pembelaan bagi saudari-saudarinya yang menjadi korban globalisasi. Yang perlu dilakukan sekarang adalah aksi-aksi lokal yang diletakkan dalam kerangka global.
Misalnya, kesadaran bahwa Indonesia terpaksa impor 65% pangannya adalah bagian dari liberalisasi ekonomi, dapat disikapi dengan menggerakkan upaya kembali kepada pangan lokal dan memproduksi pangan secara mandiri. Langkah ini sudah dilakukan oleh berbagai LSM, seperti Youth Food Movement, Solidaritas Perempuan, atau Indonesia Berkebun. Khusus tentang isu jihad, kaum muslimah Indonesia perlu mempelajari peta politik global sehingga mampu mengenali siapa musuh yang sesungguhnya, dan tidak asal share yang ternyata berakibat pada hancurnya kehidupan jutaan perempuan di Timteng dan Afrika. []
*Makalah ini disampaikan dalam Seminar Internasional “Perempuan, Masyarakat, dan Politik Internasional” (diselenggarakan oleh Human Imparsial Institute, ICRO, Himpunan Mahasiswa Islam FH Unhas) pada 9 April 2019 di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.